Restless (Part 4)

A Story by Pseudonymous

Title: Restless || Main cast: 2PM’s Wooyoung & SNSD’s Taeyeon || Genre: Romance & Life || Length: Chapter || Disclaimer: Terinspirasi dari film dengan judul yang sama || Credit Poster: Tumblr || Previous part: Part 1, Part 2, Part 3

***

“Ia mimisan lagi?”

Tuan Jang mengangguk. “Ya. Apakah itu menandakan sesuatu yang buruk?”

“Tidak, tidak.” Dokter Junsu menggeleng. “Mimisan adalah bagian dari Leukemia, jadi itu sangat wajar. Hanya saja, Wooyoung semakin sering mimisan akhir-akhir ini dan serum-serum yang kuberikan sepertinya tidak banyak menolong.”

“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Dokter Junsu menggaruk-garuk tengkuknya, lalu mendesah. “Aku akan menyuruh Tiffany untuk memberinya serum lagi untuk malam ini. Yang paling penting, biarkan Wooyoung istirahat lebih banyak di rumah sakit. Ia tidak boleh keluar lagi, apalagi di udara musim gugur seperti ini.”

Tuan Jang mengangguk. “Baiklah.”

“Dan, tuan Jang,” lanjut dokter Junsu. “Sepertinya kita harus segera bersiap-siap.”

Tuan Jang merengut. “Bersiap-siap untuk apa?”

“Sepertinya jadwal kemoterapi Wooyoung akan segera dimajukan lebih awal.”

***

Kamar rawat Wooyoung sesenyap kuburan. Nyonya Jang duduk dengan canggung di samping meja, sementara Wooyoung duduk bersandar di atas tempat tidur sambil menulis sesuatu. Jika nyonya Jang terlihat gelisah dan resah, justru sebaliknya, Wooyoung bersikap sangat tenang, cenderung cuek dan tidak peduli dengan keberadaan ibunya di sana.

Nyonya Jang yang mulai tidak tahan, mulai mendekat dan melihat-lihat kegiatan Wooyoung. “Apa yang sedang kau tulis?” tanyanya. Senyuman kaku berkedut-kedut di seputar bibirnya.

Wooyoung ragu-ragu. Lalu, meski tahu kedengarannya mungkin konyol, ia berkata, “Rencana kehidupanku.”

“Rencana kehidupan?” Nyonya Jang mengangkat kedua alisnya dan tertawa. Wooyoung mendelik kesal kearahnya dan itu membuatnya diam.

Keheningan itu berlanjut dan terus berlanjut. Wooyoung terus menulis dan ibunya berdiri mondar-mandir di ruangan itu. Nyonya Jang merasa marah pada dirinya sendiri. Mengapa ia harus merasa canggung dengan anaknya sendiri? Tapi, ia tidak menyerah dan kembali menghampiri Wooyoung. Nyonya Jang duduk di tepi ranjang dan mengamati tulisan Wooyoung.

“Apakah selama ini ayahmu menjagamu dengan baik selama di rumah sakit?” tanyanya. Suara nyonya Jang nyaris terdengar seperti sebuah bisikan.

Wooyoung berhenti menulis dan mendongak. “Tidak juga. Ayah lebih banyak menghabiskan waktu di gereja untuk berdoa demi kesembuhanku. Tapi, itu lebih baik. Aku tidak suka terlalu diperhatikan. Aku bukan anak kecil lagi.”

Nyonya Jang mengangguk-angguk saja seperti itu. Ia benci dianggap seperti anak kecil, tapi cara bicaranya masih saja seperti anak kecil. Nyonya Jang meraih pipi Wooyoung dan mengusapnya sekilas. Wooyoung terlihat agak terkejut dengan usapan itu, tapi tidak berniat untuk menolaknya.

“Maafkan Ibu.” Nyonya Jang tersenyum sedih. “Maafkan Ibu karena tidak bisa ada bersamamu saat kau sakit.”

Wooyoung terenyuh. Ia sangat ingin menangis, menghambur ke dalam pelukan ibunya, lalu terisak-isak di sana. Memohon agar ibunya jangan pergi dan tetap di sini bersama ayahnya. Tapi, tidak bisa. Wooyoung tahu ada satu keluarga kecil lainnya yang masih menunggu kepulangan ibunya. Suami baru ibunya dan adik tirinya yang masih kecil. Wooyoung memilih untuk tidak bersikap egois dan mengalah pada keadaan. Itu bukan sifatnya, tapi ia terpaksa melakukannya.

“Tidak apa-apa,” katanya. “Aku akan baik-baik saja,” lanjutnya sambil memaksakan sebuah senyum.

Ibunya hendak memeluk Wooyoung, namun pintu tiba-tiba saja terbuka dan ayahnya menjulurkan kepala.

“Namjoo,” panggilnya. Tuan Jang sempat terdiam beberapa saat, menyaksikan keakraban yang tidak biasa itu, lalu melanjutkan ucapannya, “Kita perlu bicara sekarang. Di luar. Berdua.”

Nyonya Jang mengangguk pada mantan suaminya, lalu beranjak meninggalkan Wooyoung sendiri di kamar itu.

***

“Aku ingin minta maaf,” ucap nyonya Jang dengan nada sesal.

Tuan Jang mengangkat alis. “Soal apa?”

“Soal reaksiku saat Wooyoung mimisan tadi. Sungguh, aku tidak bermaksud untuk bersikap seperti itu, tapi..” Nyonya Jang menggeleng dan meringis. “..tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku di luar kontrol. Aku tahu Wooyoung akan membenciku dengan sikapku itu, tapi aku hanya sangat terkejut dan tidak menyangka bahwa Wooyoung sakit parah dan—”

Nyonya Jang mulai terisak dan terus menggumam.

“Namjoo..” Tuan Jang mulai merasa iba. “Tidak apa-apa.”

“Tidak, tidak.” Nyonya Jang mengangkat wajahnya yang basah. “Aku sungguh merasa bersalah, Junsang. Aku tidak bersamanya ketika ia seharusnya membutuhkanku sebagai ibu.”

Nyonya Jang terus mengoceh dan itu membuat tuan Jang tidak tahan. Pria itu mengguncang bahu mantan istrinya dan berkata, “Namjoo, ini bukan salahmu. Sudah takdir Tuhan bahwa Wooyoung sakit. Dan kau tidak perlu merasa bersalah.”

Nyonya Jang berhasil menenangkan diri dan menarik napas dengan tersendat-sendat. Ia menggenggam tangan mantan suaminya dan memohon, “Lakukan apa pun untuk kesembuhan Wooyoung, Junsang. Lakukan apa pun untuk kesembuhannya.”

Tuan Jang balas menggenggam tangan wanita itu. “Ya, aku akan melakukannya.”

***

Wooyoung sedang memindah channel TV ketika ayahnya masuk, seorang diri.

“Dimana Ibu?”

“Ia pamit pulang tadi dengan terburu-buru karena harus mengejar kereta terakhir malam ini,” sahut ayahnya. “Bagaimana perasaanmu? Baik?”

Wooyoung mengedikkan bahu. “Apa kata dokter soal mimisanku?”

Ayahnya duduk di tepi tempat tidur dan mengerutkan bibir. “Ia hanya bilang akan memberimu serum besok pagi dan kau harus lebih banyak beristirahat di rumah sakit.”

“Apa?” Wooyoung bangun dari tempat tidurnya. “Apakah itu artinya aku tidak boleh keluar rumah sakit lagi?”

“Ya.”

“Walau hanya untuk sekedar jalan-jalan menghirup udara segar?”

“Ya, Sayang.” Tuan Jang mengangguk tegas.

Wooyoung memutar bola matanya dan menghela napas. Ia melipat kedua lengan di atas dada dan memalingkan wajah. “Seharusnya aku menyetujui permintaan Ibu untuk membawaku pulang,” gerutunya. “Dengan begitu, aku tidak akan mati kebosanan dengan hanya diam di rumah sakit.”

“Ini untuk kebaikanmu, Wooyoung,” kata ayahnya. “Kau harus banyak istirahat. Lagipula, kau sebenarnya kemana saja seharian ini?”

Roman wajah Wooyoung berubah tegang. Ia menarik selimut dan berbaring di tempat tidur. “Tidak kemana-mana.”

***

Paginya, Wooyoung dibangunkan lebih awal oleh Tiffany. Tiffany masuk ke kamarnya dengan membawa serum-serum itu dan infuse. Tuan Jang telah menghilang seperti biasa. Ketika Wooyoung bertanya dimana ayahnya, Tiffany bilang sedang mengobrol dengan dokter Junsu. Tiffany menyuruh Wooyoung melepas T-shirt-nya agar ia bisa mengakses Hickman Line yang ada di dada Wooyoung.

“Apa saja kegiatanmu belakang ini, hm?” tanya Tiffany sambil duduk di samping Wooyoung untuk mengambil sampel darah.

Wooyoung tidak tahu Tiffany mengharapkan jawaban apa darinya. Ia memikirkan segala sesuatu yang terjadi—catatannya soal rencana kehidupan, hal-hal yang mulai ia lakukan bersama Taeyeon, dan ucapan ibunya bahwa pendapat dokter keliru dan barangkali ia akan semakin membaik.

“Tidak ada,” sahutnya.

“Ehm…”

Tiffany hanya menggumam dan sibuk mengurus serum itu. Warnanya kuning dan kenyal-kenyal, diwadahi dalam kantong plastik, seperti infuse. Kantong-kantong ini dicantelkan di tiang logam—tiang infuse. Lalu, isinya dialirkan ke dalam tubuh, melalui Hickman Line. Serum itu gunanya untuk membekukan darah dan menghentikan darah kalau terluka. Dan sementara menunggu isi serum itu habis, Tiffany duduk bersama Wooyoung di tepi ranjang.

“Aku melihatmu bersama seorang gadis kemarin sore,” kata Tiffany sambil menyeringai.

Wooyoung menatapnya dengan wajah merah. “Bagaimana kau tahu?”

“Aku hanya melihat kalian berdua tanpa sengaja. Aku mengenal gadis itu. Namanya Taeyeon. Aku yang merawat ibunya ketika beliau sakit.”

Wooyoung hanya mengangguk.

“Apakah kau menyukainya?” lanjut Tiffany dengan selidik dan seringai di wajahnya.

Wooyoung mendongak, melihat serumnya. Masih banyak. Itu artinya Tiffany masih punya banyak waktu untuk terus menanyakan hal-hal itu padanya yang justru membuatnya tidak nyaman.

“Menurutmu?” sahut Wooyoung, tanpa minat.

Tiffany mengedikkan bahu. “Menurutku, kau menyukainya,” katanya sambil terkekeh.

Wooyoung diam lagi. Ia menunduk dan memandangi kakinya yang menggantung di atas lantai.

“Ada apa?” tanya Tiffany prihatin.

Wooyoung mendesah. “Noona, menurutmu, apakah aku benar-benar bisa menyukai Taeyeon? Maksudku.. Ehm, aku..”

Wooyoung berhenti. Tiffany menatapnya sedih. Ia mengerti maksud perkataan Wooyoung sekarang.

Tiffany tersenyum sendu dan meraih tangan Wooyoung, lalu menggenggamnya erat. “Kalian pasti bisa bersama. Aku yakin.”

***

Wooyoung sedang berbaring di tempat tidur. Pintu kamarnya sengaja dibuka agar ia bisa melihat ke koridor. Ia tidak membaca atau menonton TV. Wooyoung hanya memandangi pantulan lampu-lampu di lantai rumah sakit, merasa bosan, lelah, dan agak berat. Ayahnya baru saja pergi ke gereja dan sudah memperingatkan padanya tadi sebelum pergi bahwa ia tidak boleh lagi keluar rumah sakit. Ayahnya sudah berpesan pada seluruh perawat untuk mengawasinya dan mencegatnya kalau ia hendak kabur.

Wooyoung mengerang dan bangkit dari tempat tidur. Ia melihat tulisannya di atas kertas. Masih banyak yang harus dilakukan bersama Taeyeon, tapi keadaan menjadi seperti ini. Aku harus menemukan cara untuk kabur, pikirnya.

Ia merangkak turun dari tempat tidur, lalu mengintip di ambang pintu. Meja perawat yang mesti dilewatinya untuk berhasil kabur masih dijaga oleh dua orang perawat. Sial, umpatnya. Wooyoung bertahan di sana dan terus menunggu.

“Ayo, pergilah! Pergi dari situ!” bisiknya.

Tak berapa lama kemudian, Wooyoung melihat salah seorang perawat itu mengangkat telepon. Ia mengangguk-angguk, lalu menutup telepon dengan raut panik. Perawat itu memberitahu rekannya, lalu mereka berlari meninggalkan meja perawat. Wooyoung berseru gembira dan punya kesempatan untuk kabur.

Ia mengendap-endap keluar dari kamar dan mengawasi kedua perawat itu dari belakang. Kedua perawat itu masuk ke dalam salah satu ruangan—yang pernah dimasuki Wooyoung ketika ia memeriksakan diri sebelum masuk ke rumah sakit. Karena penasaran dengan apa yang terjadi—melihat kedua perawat itu terlihat panik, Wooyoung mendorong pintu itu dan mengintip ke dalam.

Seorang gadis berumur empat belas tahun—mungkin—duduk di tengah-tengah ruangan bersama beberapa orang perawat dan seorang dokter. Mereka semua mengenakan pakaian serba putih dan masker penutup hidung. Awalnya Wooyoung tidak tahu apa yang terjadi, karena gadis itu menangis dan menjerit-jerit kesakitan. Beberapa perawat mencoba menahan tubuhnya, sementara sang dokter bersiaga di sisi gadis itu, memegang sebuah suntikan.

Hal yang baru Wooyoung sadari, gadis itu tidak memiliki rambut. Kepalanya yang botak itu ditutupi oleh ice cap berwarna cokelat. Tubuh gadis itu penuh dengan lebam dan sangat kurus. Wooyoung sampai-sampai harus merasa khawatir kalau perawat-perawat itu menahan lengan gadis malang itu terlalu keras, lengannya bisa-bisa putus saking kurusnya.

Wooyoung terus mengamati gadis itu. Ia terus berteriak dan berteriak lebih keras saat dokter mulai menyuntikkan cairan itu ke tubuhnya. Beberapa menit kemudian, gadis itu mulai melemah dan akhirnya jatuh pingsan. Wooyoung menelan ludah dan mundur ke belakang. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya dengan takut. Tidak lama lagi, kursi yang didudukki gadis itu, akan menjadi tempatnya dalam beberapa hari ke depan.

***

Taeyeon berjalan ke dermaga sendirian, mengusik seekor bangau yang tengah bermalas-malasan dengan nyaman di tepi sungai di bawah matahari sore. Taeyeon memandangi bangau yang terbang, terhuyung-huyung dan mengantuk, rendah di atas air.

“Tumben sekali kau datang telat.” Taeyeon menoleh kearah Wooyoung. “Apa yang membuatmu telat datang?”

Wooyoung duduk di atas rumput, berbaring sampai punggungnya basah terkena rumput yang lembab. “Aku dilarang keluar dari rumah sakit lagi, maka dari itu aku harus bertahan beberapa menit sampai perawat-perawat itu lengah.”

Taeyeon tertawa kecil. “Rumah sakit itu lebih mirip penjara sekarang.”

“Bukan hanya itu,” timpal Wooyoung.

“Apa?”

“Aku melihat seorang pasien yang sedang menjalani proses kemoterapi tadi,” lanjutnya. “Rasanya.. sepertinya..”

“Sangat menyakitkan,” sambung Taeyeon lirih.

Wooyoung mengangguk setuju. Ia memandangi punggung Taeyeon yang sedang membelakanginya. “Melihatnya saja sudah membuatku kesakitan, bagaimana jika aku sendiri yang harus duduk di sana dan menjalaninya?”

Taeyeon diam saja dan tidak menanggapinya. Gadis itu sedang sibuk memutar-mutar lempengan batu di tangannya. Selanjutnya, setetes air mata jatuh ke atas batu, membuat setitik warna kontras gelap di atasnya. Taeyeon melempar batu itu ke sungai, mengambil batu yang lain dan terus melemparnya ke kejauhan. Sementara itu, Wooyoung memandanginya dengan bingung.

“Taeyeon, kau baik-baik saja?”

Tidak. Taeyeon terus melempar batu hingga menimbulkan suara percikan air yang sangat berisik dan ramai. “Ya, aku baik-baik saja.” Suaranya yang bergetar tersamar oleh keributan itu.

Bagaimana bisa Taeyeon terus—berpura-pura—bersikap tenang setelah mengetahui pemuda yang akhir-akhir ini membuat jantungnya terus berdegup di atas normal, sedang diambang garis antara kehidupan dan kematian? Walau ia terus mencoba memberi sugesti kepada dirinya sendiri bahwa ia masih punya sembilan belas hari lagi, tapi tetap saja kekhawatiran akan waktu yang cepat berlalu membuatnya menggigil ketakutan.

***

Sepuluh hari telah berlalu. Mereka telah melakukan banyak hal dalam sepuluh hari itu—piknik, bersepeda keliling taman, bermain game, dan sebagainya. Wooyoung juga berulang kali berhasil memperdaya para perawat agar bisa melarikan diri dan pulang sebelum petang agar ayahnya tidak curiga. Hanya tersisa beberapa hal yang harus dilakukan lagi untuk menyelesaikan daftar itu. Wooyoung masih bertekad untuk mewujudkan sisanya walau ia mulai merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Mimisannya semakin sering dan ia selalu merasa mudah lelah.

Sayangnya, keesokan paginya, keadaannya menjadi lebih buruk. Wooyoung tidak sanggup lagi bangun dari tempat tidur dan tulang-tulangnya terasa sakit. Ayahnya sudah melaporkan hal ini pada dokter Junsu dan dokter Junsu mengatakan bahwa proses kemoterapi itu akan dilakukan hari itu juga.

***

Dengan duduk di kursi roda, ia dibawa oleh Tiffany menuju ruangan yang pernah ia kunjungi—tempat dimana ia pernah melihat pasien lainnya dikemo. Sesaat sebelum memasuki ruangan kemoterapi, ayahnya datang memegang tangannya.

“Ayah tahu kau kuat, Nak,” bisik ayahnya. Suaranya bergetar, seperti ingin menangis. “Ayah akan menunggu di sini. Jika kau bisa sembuh dan bertahan, ayah janji akan mengikuti apa pun yang kau inginkan.”

Wooyoung hanya tersenyum dan ayahnya melepas Wooyoung dengan perasaan cemas sekaligus tegang.

Saat masuk ke dalam ruangan itu, Wooyoung merasa bagaikan makhluk asing. Ruangan itu kosong, dan jika ada seseorang yang berteriak kencang, mungkin suaranya akan menggema dan memantul di antara dinding-dinding itu. Beberapa orang perawat lainnya berada di sana dengan mengenakan setelah berwarna putih. Wooyoung sudah tahu tujuan keberadaan mereka—menahan tubuhnya jika ia menegang lagi.

Tiffany dan dokter Junsu sedang mempersiapkan obat-obat itu. Lalu, tak berapa lama kemudian, dokter Junsu menghampiri Wooyoung.

“Rasanya mungkin akan sangat sakit, tapi aku tahu bahwa kau adalah pemuda yang kuat, Wooyoung. Kau ingin sembuh, kan?”

Wooyoung mulai berkaca-kaca dan ia mengangguk mantap. Aku sangat ingin sembuh.

“Kalau begitu, kau harus bertahan. Oke?”

Wooyoung mencoba tersenyum. Ia mulai berdoa dalam hati dan memejamkan mata untuk mengatasi rasa takutnya. Tibalah saat dimana obat itu telah siap. Obat-obat itu dimasukkan lewat jarum yang disuntikkan ke alat infuse. Dan dari alat infuse itu, obat keras itu menyebar ke seluruh tubuh Wooyoung. Saat jarum itu tersuntik, Wooyoung bisa merasakan cairan itu mendesak masuk ke dalam pembuluh darahnya.

Awalnya tidak terasa sakit, tapi perlahan ia mulai merasakan lengannya dingin dan seperti ditusuk-tusuk. Wooyoung mulai menggigil dan mengantuk. Lalu, tak berapa lama kemudian, tertidur.

***

Wooyoung terbangun oleh suara ayah dan ibunya yang sedang mengobrol. Ia membuka mata dan sadar bahwa ia sudah berada di dalam kamar. Proses kemoterapi itu ternyata memakan waktu satu jam dan Wooyoung baru ingat bahwa ia sudah janji bertemu dengan Taeyeon sejak setengah jam yang lalu. Tadinya, ia pikir, proses kemoterapi itu tidak akan lama, sehingga ia masih punya kesempatan untuk bertemu dengan Taeyeon setelah proses itu selesai. Namun, ini sungguh di luar dugaannya dan membuatnya panik. Yang paling ia takutkan adalah membuat Taeyeon menunggu dan merasa kecewa.

“Kau sudah bangun?” Ayahnya bertanya dengan mimik khawatir. “Bagaimana perasaanmu?”

“Ehm, aku—” Wooyoung tiba-tiba memperdengarkan suara ingin muntah. Ia merasa sangat mual.

Wooyoung berlari menuruni tempat tidur dan menuju kamar mandi. Ia muntah di atas wastafel, sementara kedua orangtuanya memandanginya dengan sedih di ambang pintu. Setelah merasa lebih baik, Wooyoung mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda dari tubuhnya. Ia menatap cermin dan melihat sosok dirinya yang tanpa rambut. Ia mengusap kepalanya yang kini botak dan air mata itu jatuh luruh tak tertahankan.

***

Sudah beberapa terakhir ini Taeyeon tidak lagi bertemu dengan Wooyoung. Taeyeon berulang kali merasa sangat kecewa, tapi tetap menaruh harapan bahwa Wooyoung akan menemuinya. Maka ia tetap datang ke taman dan menunggui Wooyoung, namun tetap saja sia-sia. Hal itu mengundang kecurigaan dan kekhawatiran darinya.

“Apakah Wooyoung baik-baik saja?”

***

“Aku ingin minta tolong,” kata Taeyeon pada Yisook di dapur.

“Minta tolong?”

Eonnie, kau mengenal seorang perawat yang bekerja di rumah sakit Seongmo, kan?”

“Ah.” Yisook berseru sambil berpaling dari wajan. “Tiffany. Ya, ia yang pernah merawat Ibu. Ada apa?”

Taeyeon terlihat ragu-ragu, tapi akhirnya mengucapkan permintaannya. “Aku ingin kau menghubunginya.”

Yisook mengernyit. “Untuk apa?”

“Aku ingin kau menanyakan kabar seorang pasien yang menderita Leukemia di sana.”

Yisook mematikan kompor dan duduk bergabung bersama adiknya di meja pantry. “Siapa?”

“Namanya Jang Wooyoung.”

***

Sesuai dengan permintaan adiknya, Taeyeon menelepon Tiffany setelah makan siang. Yisook berdiri lama sekali di lorong. Lalu, ia masuk dan duduk di depan meja, memandangi Taeyeon tanpa mengatakan apa-apa. Taeyeon saat itu sedang mencoba mengingat-ingat isi daftar Wooyoung yang belum sempat mereka selesaikan.

“Taeyeon,” panggil Yisook.

“Wooyoung kenapa?” tanyanya.

Taeyeon tidak mau memberikan jawaban yang jelas. “Ehm..” Ia menggumam cukup lama dan akhirnya berkata, “Justru itu yang ingin kubicarakan denganmu.”

Taeyeon mengangkat wajah. Yisook tampak serius. Ia memilin-milin ujung celemeknya, memutar-mutarnya, terus menerus.

“Apa?” desak Taeyeon. “Eonnie, apa?”

Yisook menarik napas panjang. “Taeyeon, Wooyoung sedang menjalani proses kemoterapi. Tiffany bilang Wooyoung mungkin sudah memberitahumu bahwa seharusnya jadwal kemoterapinya dilaksanakan masih beberapa hari lagi, tapi karena ada kejadian yang tidak terduga, maka jadwal itu dimajukan lebih awal.”

Taeyeon melongo. Tidak tahu mesti mengatakan apa. “Karena ada kejadian yang tidak terduga? Tapi, tidak mungkin! Padahal ia baik-baik saja beberapa hari yang lalu. Apa yang terjadi padanya?”

“Aku juga tidak tahu dengan pasti. Tapi Tiffany bilang Wooyoung masih harus banyak istirahat dan ia tidak bisa bertemu denganmu karena harus mempersiapkan diri untuk menjalani proses yang kedua.”

Taeyeon masih melongo. Tidak mengira hal ini akan terjadi. Di dalam perutnya serasa ada lubang kecil yang dibuka. Maksudnya, ia tahu bahwa Wooyoung sakit cukup parah, namun tidak menyangka akan secepat ini.

“Ia akan baik-baik saja,” kata Taeyeon.

Yisook tidak mengatakan apa-apa.

“Ia akan baik-baik saja,” katanya lagi.

***

Tiga malam penuh berlalu. Wooyoung masih menjalani proses kemoterapi untuk yang kedua kalinya. Taeyeon ingin saja mengunjungi Wooyoung dan melihat keadaannya, tapi ia terlalu takut karena masih merasa trauma dengan rumah sakit itu setelah menyaksikan ibunya meninggal di sana. Jadi, ia mencari jalan yang lebih aman dengan terus mendesak Yisook untuk menanyakan kondisi Wooyoung pada Tiffany. Tapi, Yisook mulai menolak. Katanya Tiffany sudah cukup repot saat ini dan sebaiknya tidak diganggu. Tapi, Taeyeon tetap bersikeras.

“Lalu, bagaimana? Aku kan khawatir. Kalau kau tidak mau membantuku, biar aku yang datang ke rumah sakit,” ujar Taeyeon.

“Tidak,” tukas Yisook. “Keadaannya sangat parah, Taeyeon. Wooyoung tidak akan ingin kau menjenguknya. Dan aku juga tidak mau kau tertular apa pun, oke?”

Taeyeon ingin menjerit. Ini sungguh tidak adil. Ia mungkin memaklumi kalau Yisook tidak mengizinkannya pergi kalau memang keadaan Wooyoung sedang tidak memungkinkan, tapi kalau ia tidak boleh pergi karena takut ia jadi sakit karena tertular, itu jahat sekali. Pokoknya tidak masuk akal.

“Wooyoung pasti ingin aku datang ke sana, pasti!”

“Taeyeon.” Yisook mengulurkan lengan untuk menenangkan Taeyeon, tapi Taeyeon menjauh.

“Tidak!” Taeyeon berteriak dan menangis. “Ini tidak adil!”

Yisook menghela napas. “Tidak,” katanya letih. “Memang tidak adil, tapi begitulah keputusannya, dan kau mesti menerimanya.”

“Kau tidak mengerti!” Taeyeon menjerit. “Aku lelah harus mencintai seseorang yang tidak pernah bisa menjadi milikku untuk waktu yang lama! Tuhan selalu mengambil mereka dengan cepat, tapi Ia memberiku kesempatan untuk mencintai orang-orang itu dengan sepenuh hati. Tapi, jika Ia mengizinkanku untuk mencintai, mengapa Ia harus mengambil cinta itu begitu cepat?!”

Yisook diam saja. Mengamati adiknya dengan raut sedih.

Taeyeon mengusap air matanya. “Apakah masuk akal jika kita mencintai seseorang tanpa harus merasa takut kehilangan mereka?”

Yisook masih diam. Tidak bisa berkata apa-apa. Sesungguhnya, ia hanya takut kalau Taeyeon akan mengalami depresi yang sama jika ia kehilangan Wooyoung dengan cara yang sama.

“Aku akan tetap pergi ke rumah sakit!” tegas Taeyeon. “Aku akan tetap pergi.”

To be continued…

***

NB: Part selanjutnya adalah part terakhir & akan saya protect. Password hanya akan diberikan kepada readers yang meninggalkan komentar di setiap part, selain dari itu saya anggap silent reader atau reader numpang lewat. Password hanya bisa diminta melalui e-mail saya (gelandanganibukota@hotmail.com). Thanks 🙂

76 thoughts on “Restless (Part 4)

  1. haaa keren bgt, aku beneran suka sama ff yg author bikin. ngena bgt ceritanya.. penasaran bgt terusan nya dan smg hasilnya happy ending yaa..

  2. ya ampuuuunnnnn, paling suka sama ff2 bikinan author… bahasanya tuh keren banget, aku suka banget 🙂
    kasian banget taeyeon & wooyoung, semoga mereka bisa bersatu 😥

  3. “Wooyoung mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda dari tubuhnya. Ia menatap cermin dan melihat sosok dirinya yang tanpa rambut. Ia mengusap kepalanya yang kini botak dan air mata itu jatuh luruh tak tertahankan.” astaga ini buat aku berkaca kaca banget._. jadi inget surat kecil untuk tuhan bagian kepalanya mulai rontok.

    dan soal Taeyeon & Wooyoung, aku selalu suka waktu mereka habisin waktu kejar keinginan Wooyoung, bagian yang manapun itu haha. Tapi ini bagus banget buat ngajarin kita tentang betapa berharganya tiap hembusan nafas itu. *oke ini lebay*

  4. Aku reader baru^^. Suka banget sama ffnya apalagi ini wootae. Sedih tapi seru bangeet.

  5. Wooyoung kasian banget harus menahan sakit yg bnar” sakit….
    Tae juga kasian harus mencintai orang yg punya penyakit yg sama 😦 smangat untuk keduanya….

  6. aku reader baru nih,,salam kenal:) seru banget ceritanya baru nemu dan baca yg part ini jadi penasaran sama part yg sblumnya pasti gk kalah kren:p

Leave a reply to bella Cancel reply