Horns of Dilemma [Part 1 of 2]

horns of dilemma

Title : Horns of Dilemma || Author : brokenpetals [Minrin1004] || Genre : Life, Romance || Main Cast : Tiffany Hwang, Nichkhun Horvejkul || Length : Two-shot || Rate : PG-15 || Artwork : Minrin1004 ||


Author’s POV

Wajahnya ayu duduk menunduk di bangku usang, berteman angin yang mendesah samar ditengah taman. Tiffany, begitulah namanya dipanggil orang. Ia disana sendirian, memunggungi gedung besar bercat putih bertulis dua kata sederhana, Rumah Sakit.

Beberapa jenis burung saling menyahut mengusir sepi, mungkin juga mencoba menghibur hati pemilik mata yang kini terlalu rumit untuk sekedar ditebak apa isinya.

Dan di antara sepi itu ibunya memanggil, “Tiffany,” suaranya terpendam angin.

Entah sudah berapa lama wanita separuh baya itu berdiri di belakang, hanya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa putrinya disitu baik-baik saja. Dan Tiffany lantas menoleh, tersenyum pilu menampilkan seraut wajah kacau dengan mata yang sembab basah.

“Kau datang, bu?” jawab Tiffany membuat senyum kecil sembari menyeka air matanya.

Ibunya lantas mengangguk, melangkah mendekat dan duduk tepat di sisi putrinya. Senyumnya tipis berhias seulas lipstik sederhana. Dengan tangan tuanya ia menyisiri rambut coklat panjang milik anaknya yang kini kusut diurai asal.

“Jangan begini,” ujarnya serak.

Mendengarnya Tiffany lantas tertawa kecil, mencoba terlihat senatural mungkin dengan sedikit menutup mulutnya. Namun ibunya tahu anak itu sudah hancur sampai ke akar, maka ia menarik sosoknya masuk ke dalam pelukannya.

Dan pada akhirnya sosok itu diam, mungkin ingin menguatkan diri sendiri yang sudah serapuh ranting kering. Tiffany melingkarkan tangannya di pinggang ibunya, membiarkan hangat tubuhnya menyatu dengan hangat lain yang rasanya begitu nyaman.

“Akulah yang paling mengerti kamu, Tiffany,” ujar sang ibu mengusap punggung putri cantiknya.

Tiffany lantas mendesah lelah, menahan isaknya sendiri yang sudah sampai di ujung tenggorokan. Tangannya meremas sapu tangan basah yang belum sedetik pun lepas dari genggamannya semenjak kemarin pagi, mencari-cari sebuah tempat kering untuk menampung air matanya yang baru saja jatuh.

“Aku hancur.

Aku selalu kalah saat aku melihat wajahnya, bu. Aku sudah menunggunya selama bertahun-tahun. Ini bukan waktu yang singkat. Dan pada akhirnya aku bisa melahirkan putraku sendiri, putraku yang ternyata sakit. Hatinya kelainan, bu. Ia tak sempurna.

Mereka bilang ia hanya bisa bertahan beberapa hari. Dan itu cukup membuatku sakit. Ini tepat hari ketiga, dan kenyataannya aku belum juga siap. Masih banyak cita-citaku yang terlanjur kugantung tinggi terhadapnya.

Aku ingin mendengarnya memanggilku ibu, atau aku memegang tangannya saat ia mencapai langkah pertamanya. Mengusap punggungnya saat ia cegukan, atau memeluk tubuhnya saat malam mulai dingin. Aku ingin ada sebagai sosok ibu yang utuh baginya, dan aku ingin dia jadi putra yang kubanggakan pada akhirnya.

Bukankah pahit jikalau harus berpisah bahkan disaat matanya belum bisa melihat aku?

Aku hanya ingin punya kesempatan,bu. Bisakah aku punya satu?”

Kalimatnya berakhir disambut angin yang meniup dedaunan dari satu pohon besar, serasa ikut kasihan pada satu wanita yang kini terjatuh kalah oleh takdirnya. Tiffany mengepalkan kedua tangannya.

“Satu-satunya cara adalah donor. Tapi mereka bilang resikonya besar. Nichkhun bilang dia akan melakukannya, karena hasil tes itu menunjukkan kecocokan. Tapi aku tak—” ujar Tiffany terputus.

Panas tubuhnya serasa menggumpal di dalam dadanya. Tiffany menggebuk dadanya sendiri yang sudah terlanjur berselimut nyeri. “Aku terlalu takut untuk mengambil resiko kehilangan salah satu dari mereka. Aku tak, mau,” lanjutnya pedih.

“Ia ayahnya. Aku sangat mengerti kenapa ia bisa sengotot itu,” jawab ibu.

Di bawah langit mendung kedua perempuan cantik itu saling menguatkan. Yang satu hancur dan yang satu lagi mencoba merangkai serpihannya. Lalu sang ibu mengangkat pundak putrinya, memaksa dagu itu terangkat dari tunduknya.

“Kau tak akan pernah tahu akhirnya sebelum kau membuat keputusan, angkat dagumu dan hadapilah apa yang ada,”

***

Ketukan sepatu hak terdengar nyaring di koridor kosong. Tangannya bergetar berikut pula bibir pucatnya. Tiffany menggumamkan beberapa doa sebelum langkahnya berhenti di depan pintu putih dengan tulisan nama seorang dokter. Ia mengetuknya tiga kali, lalu seorang bruder membuka pintunya.

“Tiffany Hwang?” sapa sang dokter melongokkan kepalanya.

Ia tersenyum kecil lalu duduk tepat di hadapannya, hanya terpisah sebuah meja yang dipenuhi dengan banyak map dan kertas-kertas resep.

“Mm, kau mau minum?” tawar sang dokter ramah.

Tiffany menggelengkan kepalanya lemas. Matanya masih kosong melompong saat akhirnya ia mengusap wajah dan kepalanya, berharap setiap usapannya bisa menghilangkan satu saja beban yang rasanya sudah berkerak di dalam sana.

“Aku kesini untuk putraku,” Tiffany berkata sambil menunduk.

Bagai tertiup angin, senyum si dokter hilang dari wajahnya. Ia lantas berjalan menuju wanita yang telah menjadi sahabatnya semenjak mereka menginjak bangku sekolah tinggi itu.

“Aku, turut prihatin,” ujarnya lemas mengusapi punggung Tiffany.

Lagi-lagi ia hanya tersenyum kecil, menepis halus tangan yang tengah membagi hangat sayangnya untuk sahabat terbaiknya.

“Jadi kau sudah membuat keputusan?”

Tiffany mengangguk.

“Kalau begitu tanda tangan disini,”

Selembar kertas terulur kearahnya, menampilkan beberapa kalimat yang menunjukkan beberapa syarat dan ketentuan. Disana ia laksana tengah berdiri di sebuah ambang, di tengah pintu yang memaksanya jatuh ke jurang atau ke laut tak berdasar.

Sesaat yang lain ia meraih bolpoin hitam yang juga terulur bersama kertasnya. Ia mengusap pipinya yang basah. Dengan keyakinan yang tersisa ia membubuhkan tanda tangannya.

Tiffany mengangkat kepalanya dan mendapati sahabatnya tengah menatapnya lekat,

“Kau dan Nichkhun adalah orang tua yang sempurna,” ujar si dokter sambil tersenyum.

***

Tiffany’s

snsd tiffany (3)

 “Karena kau adalah sebongkah permata. Permata berharga yang bisa dengan bangga kukatakan adalah milikku.

Love of a mother can’t be measured even by heavens and hells. It’s literally more than that.”

***

Next stop = Nichkhun’s part.

37 thoughts on “Horns of Dilemma [Part 1 of 2]

  1. “terharu”
    1 kata yg untuk menggambarkan crita d ff ini…

    Bahasa penulisanny good…Ikut nyesek jg ktika seorang ibu harus memilih untuk mnyelamatkan anaknya…Good story… 🙂

  2. daebak banget ceritanya 🙂 terharu jadinya, jd bayangin nichkhun oppa nikah sama tiffany eonni beneran deh hehe

  3. bgs bgt ffnya, feel nya dpt bgt.. bkin terharu, please jgn sad ending jgn ada yg mninggal.. aq pngen mreka jdi kluarga yg bahagia & utuh.. next yaa

Leave a reply to hWang Ri Ra Cancel reply