(Oneshoot) 01:01 (Never Ever)

Poster ff Never Ever

A fanfiction by

astriadhima

01:01

Never Ever

#Inspired by the song Never Ever – Jiyeon

Main Cast : Jiyeon [T-ARA], Myungsoo/L [INFINITE]

Genre : Surealism, Romance, Angst, slight! Horror and Psycho

Rate : PG – 13

Length : Oneshoot (3050 word+)

Summary : Tepat pukul 01:01 siang Jiyeon selalu terbangun. Lalu tanpa diaba-aba ia akan melakukan hal yang sama setiap hari. Bahkan disuatu hari ia bisa melakukan hal yang sama berulang kali. Hingga mimpi buruk menghantuinya. Ia tak ingin Myungsoo pergi. Ia sangat ketakutan. Dan saat itu, jarum jam berhenti tepat pukul 01:01 malam.

©pinkmonster

 

 

 

Lantai putih serta ruangan yang lembab membiaskan kesan terasing yang kental. Bau kasur lapuk yang mulai menguar menjadi satu-satunya objek yang masih dapat dirasakan adanya. Juga kain rajut itu yang selalu menemani hari-hari si gadis −Jiyeon− nama gadis itu. Ia menekuk kaki, menyandarkan dagu runcingnya di tempurung lutut. Mulutnya terkatup dan terbuka mengisyaratkan ketatukan. Pun rambut serta wajahnya yang mulai berantakan, ia sangat ketakutan.

the sun comes up after the rain
today’s weather is just like how i feel
foggy, then clear. tears come out then
I go back act normal

01:01

Jiyeon tersadar. Sinar mentari yang mulai memanas menusuk-nusuk wajahnya. Ia segera bangkit. Membiak selimutnya asal, lalu berlari. Gadis itu tertawa, entah apa maksudnya. Benda mengkilap di atas meja membuatnya tertarik. Diangkatnya benda itu perlahan hingga sinar mentari memantul di permukaannya. Pisau ini cukup tajam, batinnya. Ia memotong-motong sayuran. Entah datang dari mana, sayur-sayur busuk itu sudah berjajar rapi di meja Jiyeon. Bercak-bercak kuning dan juga rupanya yang mulai layu tak membuat gadis itu patah semangat. Ia mengiris timun secara melingkar lalu memanjang. Tak sengaja gadis itu menelengkan kepala, terlena rupanya. Setelah ia memotong mentimun, paprika, tomat, dan lobak, sesuatu menyadarkannya. Ia berjalan kearah jendela.

Satu pot bunga bertengger manis di mulut jendelanya. Kelopaknya yang berwarna oranye segar membuat iris Jiyeon merekah. Ia memandangi pot itu sekilas. Pergelangan tangannya meraba ujung meja dan menemukan teko kecil disana. Diarahkannya teko itu diatas bunga. Mengayunkannya hingga cairan bening di dalamnya mengucur membasahi kelopaknya. Jiyeon ingin berseru, namun ia terlampau lemah. Sebagai gantinya mulutnya berkecap pertanda senang.

Air bergolak didalam tekonya. Jiyeon menengok isinya dengan sebelah mata. Matanya yang cukup lebar menangkap isi teko itu yang mulai habis. Bibirnya mengerucut. Lalu ia lemparkan teko itu hingga menimbulkan bunyi prang keras.

Aarrggh!

Teriakannya tertahan. Pecahan kaca yang berasal dari jendelanya tak sengaja ia sentuh. Ujung runcingnya merobek ari diujung telunjuknya. Ia menggigit jarinya. Menyedot darahnya lalu meludahkannya keluar. Kepalanya menggeleng kesakitan. Dihantamkannya telunjuk itu ke atas meja. Buk buk buk.

 

Jiyeon tak sengaja tertidur. Luka diujung telunjuknya telah mengering. Malah, memar kebiruan nampak diseluruh jarinya. Apa yang telah ia perbuat?

Beberapa sekon kemudian, ia mendongak. Menerjapkan matanya lalu berdiri. Sinar bulan yang keperakan memantul melewati celah jendela rusaknya. Batinnya muai berseru. Ia senang bukan kepalang. Kedua kakinya berjingkat-jingkat manis. Mengangkat tumitnya hingga ia setengah berjinjit. Ia mengayunkan pergelangan tangannya. Kanan kiri kanan kiri. Senyumnya tak pernah pudar.

Ia meraih sebuah syal rajutan di atas kasurnya. Syal itu berwarna merah dengan ujungnya yang masih belum selelsai. Jarum rajut serta wol masih menggantung di pangkalnya. Jiyeon merasa ia harus segera menyelesaikannya. Dirajutnya benang itu. Jarum rajutnya terbenam dan timbul. Ah, Jiyeon sangat menyukai itu.

Tok tok tok

Ujung jari seseorang terdengar bertubrukan dengan daun pintunya. Jiyeon tersadar, menolehkn kepalanya sembilan puluh derajat. Senyumnya lamat-lamat terlihat. Rajutannya terlempar asal. Ia meraih kenop pintu lalu membukanya dengan tempo cepat.

Ta dah!

Jiyeon berhambur ke dada bidang orang itu. Memeluknya, membenamkan parasnya di sela-sela sweater orang itu dengan rindu. Sesekali Jiyeon menggoyangkan kepalanya. Ia sangat senang.

Myungsoo datang.

“E..el!” rintih Jiyeon tatkala pemuda bernama Myungsoo itu mengusap ujung kepalanya. Pun juga senyumnya yang manis tak henti-hentinya membuat Jiyeon tersenyum.

“Apa kau baik-baik saja?” Pemuda itu mengucapkan katanya yang pertama. Dibalas dengan anggukan semangat Jiyeon yang tak henti-hentinya membuat pemuda itu sumringah. Jiyeon menarik tangan kanan Myungsoo hingga membuatnya memasuki rumah si gadis. Ruangan tanpa lampu itu masih tetap terang karena sinar rembulan meneranginya setiap malam. Di dalam kegelapan, Myungsoo masih bisa menyadari jari-jari Jiyeon yang membiru. Saat gadis itu berjalan, Myungsoo menariknya. “Ada apa dengan jari-jarimu?” Secepatnya gadis itu menggeleng. Menarik tangannya lagi lalu kembali berjalan.

Dipungutnya syal merah itu dibawah kasurnya. Menunjukkan pada Myungsoo dengan senyuman khas anak kecil. Myungsoo kembali mengusap pucuk kepala Jiyeon. Gadis itu terpejam menikmati. “Jiyeon, lain kali saat aku tak bersamamu, jangan pernah menyakiti dirimu lagi ya.”

Perkataan Myungsoo membuat senyum di paras Jiyeon menguap. Gadis itu menampik tangan Myungsoo yang ada di kepalanya. Ia berjalan mundur sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“…”

Ia menekuk lutut sambil memegangi kepalanya. Jiyeon selalu begitu saat Myungsoo mengatakan sebuah kata perpisahan. Tidak secara jelas memang. Namun saat Myungsoo mengatakan sesuatu yang mengisyaratkan bahwa ia tak mungkin bisa menjaga Jiyeon setiap waktu, gadis itu selalu bingung dan ketakutan. Ia selalu menutupi kedua telinganya, berharap Myungsoo tak mengatakan apapun lagi. Dan Myungsoo sudah terbiasa menghadapinya.

 

Malam semakin menjadi. Sinar rembulan mulai ditutupi dengan awan kelabu yang mengerikan. Cumulus itu mulai berarak menutupi cakrawala, siap meluncurkan butir-butir yang akan membasahi bumi. Bau-bau tanah yang mulai lembab mulai tercium hingga ke rumah Jiyeon. Disudut ruangan Myungsoo sibuk mengiris sayuran. Kali ini sayuran yang lebih segar. Sayur Jiyeon yang telah busuk sudah terongok di mulut tempat sampah, menunggu bakteri mengurainya. Tutup panci yang meletup-letup menyebarkan bau sup daging yang mulai masak. Myungsoo mengangkat tutupnya lalu mencicipi beberapa tetes kuah sup. “Cpp..”

“Jiyeon, datanglah kemari.”

Dentuman kaki Jiyeon terdengar bersemangat di balik Myungsoo. Setelah dipanggil, gadis itu segera menghampiri Myungsoo tanpa memperdulikan apapun yang sedang ia kerjakan. Lalu ia berdiri di sebelah Myungsoo untuk menerima perintah selanjutnya.

“Buka mulutmu.” Perintah Myungsoo sembari menyuapi Jiyeon dengan kuah sup dagingnya.

“Bagaimana?”

Jiyeon mengangguk mantap. “Katakan sesuatu?” pinta Myungsoo. Gadis itu malah menepukkan kedua tangannya lalu mengangguk lagi.

 

Setelah makan malam bersama Jiyeon dan mengganti sayur-sayur di dapurnya, Myungsoo berkemas. Jiyeon tampak murung dan gelisah di kursinya. Ia sama sekali tak berani bangkit karena Myungsoo melarangnya. Ia bilang “Selama aku mencuci dan berkemas, jangan menggangguku. Duduk saja.” Dan gadis itu menyetujui tanpa ada penolakan. Myungsoo memasukkan buku-buku cerita yang dibawanya ke dalam tas. Hingga buku terakhir, Jiyeon tetap gelisah. “Besok aku akan datang lagi.” Jiyeon terdongak. Matanya membelalak. Ia sangat benci saat Myungsoo harus mengatakan perpisahan dengannya.

Ia sesenggukan. Kedua tumitnya berdentum-dentum gelisah. Hingga Myungsoo membuka pintu, Jiyeon langsung menghambur memeluknya dari belakang. “El..El..”

Myungsoo menampiknya. Tanpa menoleh ke belakang ia berjalan melewati hujan. Jiyeon tak tahan. Air mata di pelupuknya sudah mengucur deras. Teriakannya tersenggal di tenggorokan. Jikalaupun bisa, gadis itu sangat ingin berlari. Berlari mengejar Myungsoo di ujung sana. Beriringan bersamanya di kala hujan dan memeluknya sebagai sumber kehangatan. Entah apa itu yang dinamakan cinta, Jiyeon tak pernah tahu. Yang jelas ia hanya tahu besok Myungsoo akan mengunjunginya lagi. Sesederhana itu.

01:01

Kicauan burung membangunkan Jiyeon dari tidurnya. Dengan malas ia bangkit sambil mengucek matanya sesaat. Huft, kenapa hari-harinya selalu berjalan dengan cepat. Ia berjalan kearah meja lalu memotong sayurnya. Pisaunya agak berbeda hari ini. Beberapa karat nampak menghiasi ujung-ujung pisaunya. Jiyeon sebal, paprika itu tak terpotong rapi. Karena karat yang mengganggu itu, paprikanya jadi terlihat buruk. Potongannya tak rapi. Bagaimana jika Myungsoo nanti memarahinya?

Lalu ia beralih menuju pot bunga yang ada di jendelanya. Kuncupnya sedikit layu karena sinar mentari tak henti-hentinya menerpa. Jiyeon mengambil teko di ujung meja. Menyirami bunga itu dengan sayang. Oh, hampir ia lupa. Tekonya terjatuh bergelentang. Ia buru-buru mengambil syal nya lalu mulai merajut. Timbul dan tenggelam, jarumnya terlihat bersemangat. Jiyeon tak henti-hentinya tersenyum.

Tunggu, apa Jiyeon pernah melakukan ini sebelumnya?

Mungkin hanya dejavu

Setelah menyelesaikan beberapa senti syal, gadis itu terpejam dengan jarum yang masih ada di genggamannya. Dengkuran halusnya mengisyaratkan bahwa ia sedang berada di lautan mimpi kala itu.

 

Ia tersadar. Seperti biasa saat ia bangun, ia akan langsung berlari menju meja dapurnya. Menjumpai beberapa sayuran busuk lalu memotong-motongnya. Ia berlatih seperti itu setiap hari. Myungsoo bilang jika ia bisa memotong sayuran dengan baik, ia boleh memasak sendiri. Memasak untuk dirinya dan Myungsoo tersayang. Lalu setelah pekerjaannya selesai, ia akan menyirami sebuah bunga yang berdiri kokoh di jendelanya. Astaga! Apa yang terjadi?

Saat Jiyeon mengucurkan airnya, tiba-tiba saja bunga itu mengkerut. Mengecil dan layu. Jiyeon memekik. Tekonya terjatuh. Ia melihat jarum jam yang ada di ruangannya berhenti. Lalu tanpa diaba-aba memutar kearah yang salah. Arah kiri. Apa ini? Apa waktu sedang mundur?

Semua berhenti dihadapan matanya. Ia mendongak. Menatap langit-langitnya yang terlihat aneh. Beberapa butiran air terjatuh dari sana. Membasahi pipi Jiyeon. Ia tak tahu dari mana asalnya.

Ia terbangun. Kepalanya serasa berputar. Lalu seperti kakinya berjalan sendiri, Jiyeon berjalan kearah meja. Memotong sayurnya. Setelah itu ia menyambar teko dan menyirami bunganya. Setelah selesai ia beralih pada syal merahnya. Kenapa waktu terasa sangat cepat. Ia tersentak, ada yang salah dengan dirinya. Ia menatap sebuah kaca disamping kasurnya. Kaca itu bergetar kecil. Oh, dia baru menyadari. Jarum jam nya tak berputar sama sekali. 01:01

Lalu ia bangkit. Dindingnya berubah. Putih dan kasar. Pandangannya mengabur dan kulitnya terasa dingin. Ada apa ini?

Dengan bingung ia mengawasi seluruh benda disekitarnya memutih. Benda yang ada di dalam rongga dadanya serasa bergemuruh. Ia mulai khawatir. Siluet seseorang tertangkap inderanya. Dengan seksama Jiyeon mengawasinya. Mempelajari setiap lekuk tubuh seseorang itu. Ia mengenakan setelan jas serba putih. Menyembunyikan jarinya ke dalam saku. Dan Jiyeon tak bisa mempelajari apapun lagi. Wajahnya kabur dan itu sangat mengerikan. Erangan muncul dari bibir tipis Jiyeon. Ia terus berteriak meskipun tak satu suara pun terdengar dari bibirnya. Ia menutup telinga.

Ia terbangun lagi. Ia tak tahu mengapa telinganya terasa sakit. Sambil berdehem, Jiyeon berjalan kearah meja. Memotong sayurnya. Ia teringat akan bunganya yang setiap hari menunggu di jendela. Oh, kenapa bunganya bersedih? Layu. Jiyeon mengangkat tekonya. Berusaha agar bunga itu tak bersedih lagi. Namun sayang, bunganya malah membusuk. Jiyeon menjerit.

Seperti sebelumnya, jam yang ada di ruangannya tak bergerak. Tepat pukul 01:01malam.

Ia mendongak, berjaga-jaga apa hari ini akan sama dengan hari-hari sebelumnya. Dan benar, bulir-lir air mengucur bahkan lebih deras.Air itu membasahi bahu Jiyeon tanpa permisi. Jiyeon merasa sangsi. Ada apa dengan hari-harinya.

Bulu kuduknya meremang, Ia merasa ada orang lain dalam rumahnya. Dan benar, saat ia menoleh, seseorang menggunakan payung hitam tengah mengawasinya. Meski wajahnya tertutup payung, Jiyeon masih bisa merasakan seseorang itu tengah mengawasinya. Ia sangat rapi, mengenakan setelan jas mahal hitam. Sepatunya licin mengkilap. Pun bibirnya yang tipis, sepertinya ia pria yang tampan. Jantungnya kembali bergemuruh. Kenapa ia merasa pernah melihat bibir itu sebelumnya. Bibir yang tak pernah absen membacakan cerita untuknya, menenangkannya dikala ia panik, dan mengucapkan serentetan kata-kata perpisahan. Jiyeon mengenalnya.

Myungsoo

Seseorang yang diyakini Jiyeon sebagai Myungsoo itu berbalik. Berjalan meninggalkannya tanpa berkata sepatah katapun. Jiyeon mulai menangis. “E..el” ia memanggil Myungsoo dengan sekuat tenaga. Ia ingin meraihnya. Membawanya kembali dan memeluknya. Ia berjalan lurus menembus kabut hingga ujung payung Myungsoo sudah tak terlihat lagi.

Apa Myungsoo meninggalkannya?

Apa Myungsoo sudah pergi?

hoping it was just a dream after I blink
i fall back asleep after getting tired of praying
again and again, the same nightmare
i can’t get out of it

Sebuah tepukan di pipinya membuat Jiyeon tersadar. Di bawah sinar rembulan yang terang, wajah Myungsoo terlihat menyedihkan. Khawatir lebih tepatnya. Pemuda itu menautkan alisnya. Mengawasi setiap inci wajah Jiyeon. Secepat kilat gadis itu memeluknya. Menekan dada Myungsoo dengan kepalanya. Ia tak peduli jika ia tak bisa bernafas. Ia sangat takut mimpi buruknya akan menjadi kenyatan. Ia tak mau kehilangan Myungsoo. “El..!”

Myungsoo mengusap kepala Jiyeon. Berusaha menenangkannya. Ia tak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba menangis. Karena Jiyeon tak mau bicara, Myungsoo hanya mampu menerka-nerka. Mungkin hanya mimpi buruk.

Myungsoo melepaskan pelukannya. Namun Jiyeon memeluknya lagi, bahkan lebih erat. “Tenanglah. Aku ada disini.” Isakan Jiyeon terdengar semakin menjadi di pelukan Myungsoo. Tangannya juga bergetar. Mimpi apa yang menderanya, batin Myungsoo.

Sekali lagi Myungsoo mencoba melepaskan pelukan Jiyeon darinya. Dan ia bisa melihat kedua mata Jiyeon yang mulai sembab. Diusapnya air mata Jiyeon dengan telunjuknya. Jiyeon tetap menangis. “Ada apa?’ gadis itu menggeleng.

“Apa kau sudah makan?”

Gadis itu menggeleng.

“Aku akan mengambilkan makanan untukmu.” Saat Myungsoo bangkit, tangan Jiyeon menahannya. Myungsoo bisa melihat betapa ketakutannya gadis itu. “Aku hanya akan mengambilkan nasi.” Gadis itu masih menggeleng.

“Kumohon.” Pinta Myungsoo. Gadis itu menggeleng mantap. Lalu Myungsoo mencoba melangkahkan kakinya sebelum ia tertahan karena teriakan lirih Jiyeon. Ia berbalik, mendapati Jiyeon tengah menutup kedua telinganya sambil menggeleng.

“a..an.. pe.. er.. i..” kata-kata Jiyeon tak terdengar jelas. Myungsoo mengarahkan kedua tangannya untuk membelai pipi Jiyeon. Sangat dingin. “Kau harus makan.” Seperti sebelumnya, saat Myungsoo mencoba bangkit, Jiyeon menahannya. “…an..” Jiyeon terus menggeleng. Ia semakin ketakutan. Myungsoo memandangi tangan Jiyeon yang bergetar. Diraihnya tangan itu dan diusapnya pelan. “Apa yang terjadi padamu?”

Karena Jiyeon semakin histeris. Myungsoo terpaksa harus meminumkan obat penenag pada Jiyeon. Saat Myungsoo memasukkan dua buah pil ke mulutnya, gadis itu perlahan-lahan mulai tenang. Dan lima menit kemudian ia tertidur.

Myungsoo mengusap pucuk kepalanya untuk yang kesekian kali. Menyelimutinya dengan beberapa kain agar Jiyeon tak merasa kedinginan lagi. Ia tak berani mengusap keringat Jiyeon, ia takut jika gadis itu akan terbangun. “Suatu saat nanti kau harus memanggil namaku. Namaku Myungsoo, bukan El. Hanya itu permintaanku. Tolong jangan membenciku.”

Esoknya Jiyeon terbangun dengan kelopak mata yang berat. Semalam ia menagis cukup lama hingga matanya seberat ini. Bukannya memotong-motong sayur seperti sebelumnya, ia malah berjalan mondar-mandir. Ia gelisah. Ia mengusap lengannya. Ia yakin semalam Myungsoo datang mengunjunginya. Tetapi kenapa ia sekhawatir ini. Jiyeon ingat, Myungsoo selalu mengganti sayur di mejanya. Dan jika ia mendapati sayur-sayur segar di mejanya. Maka Myungsoo semalam benar-benar datang.

Ia berlari. Mengacak mejanya. Mencari-cari, disamping gelas dan ditumpukan piring. Dimana Myungsoo menaruh sayurnya. Hanya sayur busuk yang terikat disebuah plastik yang bisa didapatnya. Tidak mungkin. Apa itu artinya..

Apa itu artinya?

Myungsoo tidak datang?

Jiyeon ambruk. Jiyeon terjatuh dilantai sambil menutupi telinganya. Menggeleng-geleng histeris sambil berteriak tidak jelas. “el…el”

Ia lalu berlari ke beranda rumahnya. Sisa-sisa hujan masih menggenang di halaman rumahnya. Ia berlari, mencari jejak sepatu Myungsoo disana. Ia mengacak-acak rumput dan tanah. Hujan boleh saja mengahapusnya, tetapi tolong tinggalkanlah satu. Lalu Jiyeon beralih menuju pintu. Membaui kenopnya, berharap bau tangan Myungsoo masih tertinggal di sana. Ia tak mendapati satu bukti pun.

Dan ia kembali histeris.

Jiyeon menekuk lutut di depan pintu rumahnya. Bibirnya mulai memutih karena kedinginan. Juga perutnya yang kian melilit tak bisa menahan rasa lapar. Hatinya tak menentu. Mengesampingkan rasa lapar dan dingin yang semakin menyiksa, raganya tetap menanti. Menanti seakan-akan Myungsoo akan datang seperti biasanya. Memeluknya kemudian memasak untuknya. Jiyeon yakin Myungsoo akan atang.

Hingga pukul 01:01 malam, Myungsoo tak kunjung datang. Jiyeon terlihat semakin menyedihkan. Bibirnya mulai mengering dan kantung mata menggelayut di kedua buah matanya. Beberapa bulir air mata masih setia mengucur dari irisnya. “el…el” ia tak bisa berhenti mengucapkan kata itu. Jari-jarinya gemetaran. Lalu ia membungkuk, menutup kedua wajahnya dengan tangan.

Jangan tinggalkan aku. Datanglah padaku meski satu menit dan satu detik saja

never ever, i can’t give up
never ever, just like this
letter by letter, i write your name again
never ever, don’t hide
never ever, don’t leave me
i can’t even breathe, not even for a minute, for a second without you

Lantai putih serta ruangan yang lembab membiaskan kesan terasing yang kental. Bau kasur lapuk yang mulai menguar menjadi satu-satunya objek yang masih dapat dirasakan adanya. Juga kain rajut itu yang selalu menemani hari-hari Jiyeon. Ia menekuk kaki, menyandarkan dagu runcingnya di tempurung lutut. Mulutnya terkatup dan terbuka mengisyaratkan ketatukan. Pun rambut serta wajahnya yang mulai berantakan, ia sangat ketakutan.

“el..el” desisnya. Ia memeluk syal nya. Menghirup bau terakhir Myungsoo yang masih menempel disela-sela seratnya. Ia mendekap syal itu dalam. Ia kembali termenung. Melamunkan sosok Myungsoo yang akan datang padanya setiap hari. Ia rindu masakannya, dongengnya, serta pujiannya terhadap rajutan syalnya yang semakin membaik. Jiyeon rindu semuanya. Ingin ia memeluk pemuda itu, dan ia tak kan melepaskannya lagi. Ia berjanji.

Jika ia bisa.

Seseorang mengetuk pintunya. Lalu Jiyeon mendongak. Ia kemudian bangkit. Sesuatu yang terasa berat di kakinya bergemerincing. Sedikit sakit. Rantai yang memborgolnya menimbulkan bercak biru di kakinya. Dengan gontai Jiyeon melangkah menuju pintu. Menatap sebuah lubang yang ada di pintunya. Tak ada siapa pun disana. Ia menarik nafas pelan. Namun sebelum sempat ia berbalik, seseorang ber jas hitam menarik perhatiannya. Ia sedang melipat payung yang telah basah. Lalu ia merapikan ujung jas nya yang sedikit basah. Setelah selesai, seseorang itu menatapnya.

Ta dah!

Setelan itu?

Manik mereka bersirobok begitu Myungsoo menatapnya. Senyumannya hambar tak seperti biasanya. Jiyeon menggumamkan serentetan kata-kata yang tak dapat di dengar Myungsoo. “Maaf..” lelaki itu berujar.

“Maafkan aku, Jiyeon.”

Jiyeon mendekatkan wajahnya ke pintu. Ia mulai khawatir dengan Myungsoo. Sebisanya gadis itu menjuurkan tangannya untuk membelai wajah Myungsoo. Myungsoo mendekat dan kulit mereka bersentuhan. Diujung jarinya, Jiyeon bisa merasakan kehangatan diri Myungsoo. Ia sangat ingin memeluknya, tetapi ini saja sudah cukup. Jiyeon mencoba tersenyum.

“Jiyeon. Kau pasti membenciku setelah ini. Tetapi aku harus mengatakannya.

Kau harus tetap berada disini. Jangan pulang ke rumah.”

Tangan Jiyeon mengendur. Senyumnya tiba-tiba saja hilang. Ia tak mengerti apa yang Myungsoo katakan. “Kau harus berada disini sepanjang hidupmu. Mereka akan menggantikan diriku untuk merawatmu. Mereka sangat baik. Aku janji.”

Jiyeon semakin tak mengerti. Ia menggeleng lemah. “Kau pasti mengerti. Luka ku terlampau sakit, jadi cintamu tak cukup kuat untuk mengganti rasa sakit ini.

Aku tak akan pernah menaruh belas kasihan pada gadis yang telah membunuh ayahku.”

Mata Jiyeon membelalak. Tangannya mengepal dibalik pintu. “Tetapi, apakah pantas bagiku untuk mengucapkan permintaan terakhir?” Tatapan Myungsoo nampak tak menentu. Antara benci dan kasihan. Ditengah katanya ia masih mencoba tersenyum.

“Aku hanya ingin kau memanggil namaku. Bukan El tetapi Myungsoo. Ini terlalu bodoh ya.” Tambah Myungsoo sambil terkekeh. Ia mengusap sudut matanya yang berair. Mencoba tersenyum sesaat lalu berbalik pergi.

“Myungsoo..”

Kali ini bukan suaranya yang keluar. Ia tersentak lalu berbalik, sambil menahan air matanya ia melihat Jiyeon menangis. “Apa kau yang memanggil namaku?”

Gadis itu mengangguk. Seketika itu air mata Myungsoo mengucur. Selama ini Myungsoo tak pernah mendengar Jiyeon berkata apapun. Ia hanya mampu menggeleng dan mengangguk. Sebenarnya gadis itu tak bisu, mengingat pendengarannya yang masih berfungsi. Gadis itu hanya mengalami sebuah radang yang membuat pita suaranya rusak. Esoknya hingga sekarang Jiyeon tak pernah bicara lagi. Dan karena kejadian itu –kejadian dimana ayah Myungsoo terbunuh− Jiyeon sedikit kehilangan kewarasannya. Karena iba, Myungsoo merawatnya hingga Jiyeon merasa lebih baik. Awalnya Myungsoo berniat untuk merawat gadis itu selama mungkin, mengingat kondisi jiwanya yang sedikit terganggu. Lama-kelamaan Myungsoo tak tahan. Ia tak sanggup menahan luka di hatinya. Luka itu teramat dalam hingga ia tak tahan lagi melihat wajah Jiyeon. Dan tibalah hari ini. Hari dimana tepat satu bulan Jiyeon menetap di rumah sakit jiwa.

Dan tepat satu tahun setelah Jiyeon memanggil namanya untuk terakhir kali. Sebelum pita suara Jiyeon rusak. Dan kenapa Myungsoo menangis? Bukannya ia sudah terlampau muak akan gadis itu?

Mungkin sedikit rasa yang mungkin membuat orang-orang mabuk. Cinta yang tak akan pernah terwujud hingga mereka mati.

“Selamat tinggal” Myungsoo lalu berbalik. Ia benar-benar pergi. Sambil mengusap air matanya, ia kembali membuka payungnya dan berjalan menembus hujan.

“Myungsoo..” dan disana Jiyeon masih terus terisak. Berharap bahwa Myungsoo akan kembali untuknya, kembali untuk memeluknya. Meskipun dirinya sendiri yakin bahwa itu tidak akan pernah terjadi.

Dan sekarang jarum jam benar-benar berhenti tepat pukul 01:01 malam.

i’m bit slow but you know that already
so please, just listen to my last wish
if you run into me later, please just smile at me
who can’t forget a thing about you

10 thoughts on “(Oneshoot) 01:01 (Never Ever)

    • Iya. Jiyeon yang ngebunuhnya. Itu semua karena masalah keluarga diantara mereka. Dan well aku gak jelasin disana, biar readers banyak menebak-nebak hehe.
      Makasih ya udah baca

  1. aduuh agak bingung sih, tapi dikit dikit ngertilah~ itu jiyeon yg membunuh ayahnya myung, kenapa? apa mereka udah kenal sebelumnya?
    ini kereeeeenn! banget! aku suka pemilihan diksinya. nice ff

  2. ngenes ff nya T_T sediihh
    knp jiyi bunuh ayahnya myungsoo sih?
    kasian mereka…
    keep writing thor 🙂

    • Wah pas banget emang kalo baca plus dengerin lagunya. Ide awalnya sih dari bagian terakhir ini MV. Itu tuh yang Jiyeon nagis kejer di ruangan serba putih Juga muka psikopat Jiyeon disitu jelas banget. Langsung deh kepikiran ini hahahh..
      Makasih ya 😀

Leave a reply to astriadhima Cancel reply