Piercing

Piercing

Piercing

“It lefts a small hole.”

by Shinyoung

Main Cast: Kim Myungsoo & Son Naeun || Support Cast: Apink & Infinite || Genre: Slice of Life, School, Romance || Length: Oneshoot || Rating: T || Desclaimer: A comic named ‘Piercing’ by Touda Yoshima. Casts belong to God.

*

Gadis itu tersenyum getir ketika melihat hasil sidang yang baru saja diumumkan oleh kepala hakim bahwa kedua orang tuanya telah bercerai. Ini adalah sesuatu yang memang tidak bisa diterima oleh gadis itu. Tapi, kedua orang tuanya yang setiap hari bertengkar, bahkan melempar benda-benda rumah ke arah masing-masing selalu membuat tetangga risih.

Sampai akhirnya, satu bulan yang lalu, kedua orang tuanya benar-benar memutuskan untuk bercerai. Ia hanya bisa mengeluh dan mengeluh sepanjang jalan sebelum ia sampai di pengadilan untuk mendengar hasilnya. Sebenarnya, ia tidak perlu datang juga, ia sudah tahu hasilnya—bercerai. Tapi, demi menghormati orang tuanya, tentu ia datang.

“Son Naeun.”

Gadis itu mengangkat kepalanya dan menyadari bahwa daritadi ibunya sudah berdiri di depannya. Pandangan mata dari ibunya meminta bahwa ibunya akan segera pulang. Benar, sebelum sidang, kedua orang tuanya memintanya untuk memilih—ia akan tinggal bersama dengan siapa. Naeun pun memilih untuk tinggal bersama ibunya tanpa alasan.

Setelah berbulan-bulan kedua orang tuanya bercerai, keadaan rumah tidak ada yang berubah. Hanya lebih sepi karena tidak ada suara keributan antar orang tuanya. Walaupun sudah bercerai, ayahnya memutuskan untuk tetap membiayai Naeun sampai selesai sekolah.

Beruntungnya ia yang merupakan seorang anak tunggal. Tapi, sejak perceraian kedua orang tuanya, ia terus saja bekerja setiap pulang sekolah, entah itu memasak, membersihkan rumah, atau sebagainya karena ibunya yang bekerja sampai larut malam.

Ia lelah membagi waktu.

Gadis itu mengambil alat tindik yang ia beli dua bulan lalu itu dan mulai menempelkan benda itu di telinganya. Sehingga, sebuah tindikan tertempel di kedua telinganya. Rasa sakit yang berdenyut-denyut membuat dirinya semangat. Ia tahu sekolah melarangnya, tapi ia bisa menutupinya dengan rambut.

Ditambah, ia bisa menutupinya dengan peran ‘murid teladan’ miliknya.

Murid teladan, huh.

“Son Naeun!”

Naeun berbalik ketika ia baru saja ingin melangkah masuk ke dalam kelasnya sebagai hari pertama ia menggunakan tindikan. Gadis yang memanggil Naeun langsung menunduk malu ketika menyadari kesalahannya.

“Maaf, aku lupa, maksudku Shin Naeun,” ucap gadis itu. “Selamat pagi!”

Naeun tersenyum tipis. “Selamat pagi juga.” Naeun terdiam sebentar. “Tidak apa, aku masih menggunakan marga ayahku. Lebih enak dengan Son Naeun daripada Shin Naeun.”

Gadis itu menarik ujung bibirnya ke atas dan berlalu begitu saja setelah menyapa Naeun. Naeun masuk ke dalam kelas ketika kelas sudah mulai ramai dan gadis itu mengambil tempat duduk paling depan.

“Son Naeun.”

Seorang gadis menyolek bahu Naeun dari belakang dan Naeun tahu itu adalah Yoon Bomi yang selalu meminta bantuannya dalam mengerjakan pekerjaan rumah atau tugas, bahkan belajar. Ia tidak keberatan.

“Ada apa?”

“Bisakah kau membantuku mengerjakan ini?” tanya Bomi. Naeun mengangguk pelan, kemudian ia segera menjelaskan pelajaran Inggris itu secara rinci. Setelah selesai, Bomi pun menganggukkan kepalanya mengerti.

“Son Naeun,” panggil seorang laki-laki. Naeun mengangkat kepalanya ketika ia baru saja ingin menjelaskan satu hal terakhir pada Bomi. Laki-laki itu adalah Lee Taemin yang terkenal di sekolahnya. “Kau ada waktu hari Minggu?”

Naeun berpikir sejenak. Tapi, Taemin sudah mendahuluinya. “Kalau tidak keberatan, aku mau—.”

“Maaf,” ujar Naeun cepat. “Aku sudah ada acara di hari Minggu.”

“Bohong, kan?”

Naeun menolehkan kepalanya ke arah seorang laki-laki yang termasuk peringkat kedua di kelasnya, tapi laki-laki itu jarang membantu murid lain dalam mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah.

“Semua yang kau katakan terlalu terlihat sangat bohong,” ujar laki-laki itu. “Paling juga soal PR.”

Naeun langsung mengalihkan pandangannya dan membenarkan perkataan laki-laki itu dalam hatinya. Ia tidak pernah berjalan bersama temannya pada hari Minggu, bahkan ia selalu menolak semua ajakan laki-laki yang ingin berkencan dengannya demi pekerjaan rumahnya.

Ia hanya bisa menyesalinya semua karena tidak ada yang bisa dilakukannya pada hari Minggu selain membereskan rumah. Ia benci dengan semua yang ibunya larang soal keluar rumah.

Terpaksa, ia harus menetap di rumah. Tanpa hiburan. Bahkan, ia lupa bahwa ia tidak punya teman dekat. Tak ada yang mau berteman dengannya karena ia terlalu sibuk di hari Minggu. Semua orang bersikap baik padanya hanya karena ia bisa mengerjakan tugas dan mendapatkan predikat ‘murid teladan’.

Laki-laki itu hanya tersenyum kecil kemudian ia beralih pada gadis-gadis yang tengah memintanya bantuan untuk mengerjakan PR.

“Ya! Sudah kuberitahu bahwa ia tidak akan membantu kalian,” ujar teman dari laki-laki itu—Nam Woohyun namanya. “Dia memang pintar tapi dia tidak akan membantu kalian!”

Gadis-gadis itu tidak peduli. “Kami tidak peduli karena Kim Myungsoo keren sih!” ujar salah satu dari mereka dan laki-laki itu langsung mendengus pelan dan meninggalkan gadis-gadis itu. Ketika Myungsoo melangkah keluar, Naeun memperhatikan laki-laki itu dengan tatapan tajam.

Kata-katanya benar menusukku.

Sepulang sekolah, ia segera membereskan bukunya. Ketika ia berjalan di koridor, ia mendengar perdebatan Guru Lee dan juga dua murid perempuan, yaitu Park Chorong dan Jung Eunji.

“Aish, Pak!” ujar Park Chorong kesal setengah mati. Ia bahkan menyilangkan kedua tangannya di depan guru itu. Tidak peduli betapa tidak sopannya ia. Guru Lee bahkan membiarkan gadis itu bersikap tidak sopan. Karena, seluruh penjuru sekolah tahu bahwa gadis itu memang tidak sopan, ditambah ia berteman dengan murid-murid nakal lainnya. “Aku dan Eunji sudah ada acara sepulang sekolah!”

“Benar, Pak!” tambah Eunji. Eunji juga merupakan teman sejawat dari Chorong sehingga tidak ada yang salah jika melihat keduanya bersikap seperti itu. Guru-guru telah mentolerir mereka, namun sia-sia saja usaha mereka semua untuk mengubah muri-murid nakal itu. “Kami ingin pergi berbelanja. Suruh murid lain saja, Pak! Lagipula, laboratorium IPA kan sudah sepi. Seram, Pak!”

“Guru Lee.”

Ketiganya langsung menolehkan kepalanya ke arah Naeun ketika Naeun bersuara memanggil nama Guru Lee. Guru Lee langsung tersenyum lebar ketika melihat Naeun disana. Guru Lee tahu bahwa Naeun adalah murid teladan, jadi ia berniat untuk menyuruh Naeun untuk membersihkan lab IPA. Namun, Naeun sudah mendahuluinya.

“Aku bisa membersihkan lab IPA-nya,” tawar Naeun. “Aku tidak terburu-buru untuk pulang kok,” tambah Naeun cepat-cepat. Ia tidak mau kedua murid senior itu menganggapnya terlalu mencari muka di depan guru. Bahkan, ia kan hanya ingin membuang-buang waktunya di sekolah daripada ia harus cepat-cepat pulang ke rumahnya.

Chorong dan Eunji langsung tersenyum. Kedua senior itu bahkan tanpa malu langsung pergi meninggalkan Naeun dan Guru Lee. “Terimakasih ya, Son Naeun!” ucap Eunji sebelum benar-benar hilang.

“Kau memang murid teladan, Son Naeun.”

Son Naeun hanya bisa tersenyum getir, kemudian segera melangkah menuju ruang lab IPA yang tak jauh dari koridor tersebut. Mengetahui bahwa Naeun akan membersihkan lab IPA, Guru Lee pun merasa bahwa bebannya kini bebas. Ia bahkan menambahkan 20 poin pada buku poin milik Naeun.

Buku poin disini ditujukan untuk mencatat murid-murid yang sering melakukan kebaikan bagi sekolah atau sebagainya. Murid dengan poin terbanyak biasanya mendapatkan hadiah dari kepala sekolah dan murid itu adalah selalu Son Naeun sejak kelas satu.

Perhitungan poin biasanya dilakukan setiap akhir semester dan murid yang memiliki poin terendah akan dihukum dengan berbagai macam. Biasanya hanya membersihkan tempat sampah atau menyapu halaman sekolah. Tapi, semester lalu, kepala sekolah mengubahnya menjadi membersihkan kamar mandi. Semua murid yang memiliki poin terendah tentu saja mengeluh.

“Oh, Myungsoo,” panggil Naeun ketika melihat laki-laki itu yang tengah mengubek-ngubek kolong meja di ruangan laboratorium itu. “Sedang apa kau disini?” tanya Naeun sambil menaruh tasnya di atas salah satu meja.

Laki-laki itu menarik sebuah buku Biologi yang Naeun duga tertinggal. Laki-laki itu kerap kali meninggalkan bukunya di kolong meja dan ia sering juga melupakan bukunya yang tertinggal. Bodohnya, menurut Naeun. Tapi, gadis itu tidak bisa mengatakan hal itu karena pada kenyataannya laki-laki itu mendapatkan peringkat di bawahnya.

“Aku mengambil buku Biologi.” Ia memasukkan bukunya ke dalam tasnya. “Tertinggal,” tambahnya.

Naeun hanya mengangguk. “Aku mau membersihkan ruangan ini,” katanya. Ia melangkah menuju sudut ruangan.

Laki-laki itu menatapnya. “Oh,” ujarnya. “Lalu, apa dengan begitu, aku harus membantumu?” tanyanya.

Naeun membalikkan badannya dan menatap Myungsoo bingung. “Eh,” katanya. “Bukan begitu. Aku hanya mengatakannya bukan berarti kau harus membantuku, Myungsoo.”

Myungsoo tersenyum tipis. “Kau terlalu serius ya?”

Naeun mengambil sapu yang ada di sudut ruangan, kemudian ia mengikat seluruh rambutnya menjadi satu. Myungsoo yang memperhatikannya langsung melebarkan matanya.

“Kau—Kau menggunakan tindikan?”

Naeun meraba telinganya dan merutuki dirinya sendiri karena ia lupa bahwa ia menggunakan tindikan disana. Ia menyumpah-nyumpah pada dirinya sendiri karena bisa sampai lupa seperti itu.

“Ini bukan tindikan,” tukas Naeun sambil berusaha menutupi tindikannya dengan bodoh. Ia tahu bagaimanapun ia menyanggah, Myungsoo pasti tahu bahwa yang ada disana adalah tindikan. Myungsoo bukanlah murid bodoh. Seperti yang ia katakan tadi, Myungsoo berada di bawah peringkatnya.

“Bukankah sekolah kita melarang muridnya untuk menggunakan tindikan?” tanya Myungsoo. Laki-laki itu menatap intens gadis itu. “Apa seorang murid teladan yang patuh pada guru dan dihormati murid-murid lainnya pantas bebuat seperti itu?” tanya laki-laki itu.

Naeun menutup mulutnya rapat-rapat. Bahkan ia tidak bisa menatap balik ke arah laki-laki itu.

“Ada yang mencurigakan,” ujar laki-laki itu. “Murid teladan yang selalu tampil sempurna dan tersenyum dalam situasi apapun . . .” Myungsoo terdiam sejenak. “Murid seperti itu, tidak enak dilihat.”

Naeun langsung mengangkat kepalanya.

“Kalau yang melihatnya saja tidak suka,” kata Myungsoo. “Kenapa kau tidak menghentikannya saja?”

Naeun pun buka suara. “Menghentikannya?” tanya Naeun ragu. “Itu . . .”

“Bersikap seperti apa adanya sudah cukup.”

“Apa adanya?”

“Jangan-jangan, saat kau di rumah juga bersikap seperti itu?”

Naeun tersenyum getir. “Iya.”

Myungsoo mengangguk pelan sambil menggosok hidungnya. Ia melingkarkan syalnya di sekeliling lehernya. “Ah begitu ya,” ujarnya. “Kalau begitu, kenapa kau tidak langsung pulang saja? Tidak usah membersihkan ruangan ini. Paling-paling, kau sebenarnya tidak berniat melakukannya. Kau menyanggupinya karena itulah yang kau harapkan. Sebenarnya, ini tidak ada hubungannya denganku. Tapi, ya, kau tahu . . .”

“Aku tidak bisa berbuat seperti itu,” tukas Naeun. “Karena aku sudah memutuskan, walaupun aku tidak menyukai hal ini. Aku akan tetap melakukannya sampai akhir dan aku tidak peduli.

Myungsoo tersenyum. “Begitu ya,” komentarnya. “Kalau begitu, aku akan membantumu membersihkan ruangan ini.”

Gadis itu menghela nafas lega seolah seluruh bebannya kini terlepas begitu saja. Ia tahu, Myungsoo pasti tidak menyukainya ketika melihatnya menggunakan tindikan, tapi kenyataannya laki-laki itu kini justru membantunya.

“Ah, ya,” ujar Myungsoo. “Soal itu, kau tidak usah terlalu memaksakan.”

Naeun menatap langit biru yang cerah itu dengan salju yang mulai turun. Ia kembali teringat soal perkataan Myungsoo yang memintanya untuk tidak terlalu memaksakan diri. Apakah laki-laki itu bisa membaca pikirannya?

Memaksakan diri.

Naeun mendengus pelan. Selama ini, ia memaksakan diri untuk belajar, membantu, bahkan menjadi murid teladan. Memaksakan diri seolah berhubungan dengan perkataan ayahnya.

Ayahnya yang tegas dan ibunya yang terlalu santai. Mungkin karena itulah keduanya sering bertengkar. Naeun ingin mengatakan apa yang diinginkannya, namun itu adalah hal yang tidak mungkin.

Tapi, Myungsoo memintanya untuk tidak terlalu memaksakan diri. Tidak perlu menahan diri, tidak perlu melakukan apapun, tidak perlu mengambil hati. Tapi, jika itu semua yang dilakukannya sekarang, setelah sekian lama ia memaksakan diri, kesannya seperti—.

“Naeun!”

“Eh? Myungsoo?”

“Salju sudah menumpuk di kepalamu, tuh!” kata laki-laki itu. “Bagaimana jika kita pakai payung bersama?”

“Ta—Tapi . . .”

“Kau tidak mau berbagi payung denganku ya?”

Naeun pun langsung merasa bersalah. “Bukan begitu,” katanya. Bahkan, kini ia berusaha menahan air matanya. Entah kenapa, sejak Myungsoo tahu bahwa ia memakai tindikan, laki-laki itu terus menyapanya.

“Ah, astaga,” kata Myungsoo lalu mengacak rambut Naeun untuk membersihkan tumpukan salju yang ada disana. “Tidak usah memasang tampang seperti itu. Aku yang jadi merasa bersalah denganmu sekarang.”

Naeun mengangkat wajahnya.

“Nah, ayo sini,” ujar Myungsoo lalu menggenggam tangan Naeun dan menarik Naeun agar mendekat ke arahnya. Laki-laki itu bahkan mempererat genggamannya ketika Naeun ragu-ragu.

Ragu-ragu.

Aku yang sekarang pasti terlihat bodoh.

Tapi, jangankan kecewa, Myungsoo justru tersenyum.

Apa aku bisa berubah?

Naeun menghela nafas panjang dan ia membalas genggaman tangan Myungsoo. Kemudian, ia menatap langit cerah itu. “Aku ingin berubah,” kata Naeun.

Naeun menuliskan jawaban nomor dua di papan tulis dengan sempurna. Tak ada yang bisa melakukannya kecuali Son Naeun. Semua orang harus memberikannya tepuk tangan.

Ketika ia ingin kembali ke tempat duduknya, Myungsoo memperhatikannya dengan seulas senyum di bibirnya. Laki-laki itu mempertemukan jari telunjuk dan ibu jarinya, membentuk huruf ‘O’ yang langsung dibalas dengan senyuman tipis dari Naeun.

Ketika ia baru saja menjatuhkan bokongnya ke atas kursi, pintu kelas terbuka dan masuklah Guru Jung dan Guru Lee. Guru Cho yang sedang mengajarkan Matematika langsung menoleh ke arah pintu kelas.

“Silahkan masuk.”

“Anak-anak, hari ini kami akan memeriksa kalian yang menggunakan aksesoris berlebihan. Silahkan sibakkan rambut kalian yang panjang,” kata Guru Jung.

Naeun merutuki dirinya sendiri karena ia belum juga melepas tindikannya. Kali ini, dia pasti akan tertangkap. Ketika Guru Lee mulai berjalan menuju setiap meja, degup jantungnya semakin cepat.

“Kim Namjoo, kurangi make-up. Terlalu tebal.”

“Nam Woohyun, masukkan bajumu.”

“Oh Hayoung, pass.”

“Lee Sungyeol, rambutmu. Potong.”

“Yoon Bomi, pass.

Sekarang, giliran Naeun. Kini, Naeun semakin merasakan bahwa ketakutannya tentang tindikannya memuncak. Guru Lee pun berdiri di depan mejanya ketika Naeun ingin menyibakkan rambutnya.

“Son Naeun, pass.”

Naeun melebarkan matanya dan cepat-cepat, ia menyembunyikan lagi tindikannya yang belum sempat terlihat oleh Guru Lee. Ini tidak mungkin. Bagaimana bisa Guru Lee melewatkannya begitu saja?

Pikiran Naeun berkelebat, dipenuhi oleh pertanyaan yang terus saja menghantuinya dari tadi. Untungnya, ia masih bisa fokus pada pelajaran, walaupun hanya lewat di otaknya dan keluar lagi. Ia memutuskan belajar di rumah.

Ketika, ia ingin melangkah menuju kamar mandi, Myungsoo menghentikan gadis itu tepat di tangga. Saat itu, murid-murid menuju kantin, jadi gedung sekolah cukup sepi.

“Ada apa?” tanya Naeun.

Tanpa ragu-ragu, Myungsoo langsung menyibakkan rambut Naeun yang menutupi telinganya. “Kau hebat, Son Naeun,” katanya. “Aku tadi khawatir bahwa kau akan dibawa ke ruang guru. Ternyata, status murid teladanmu ini bisa berguna untuk hal seperti ini.”

“Jika itu yang kau ingin katakan, sebaiknya kau minggir.”

Setelah itu, Naeun masuk ke dalam kamar mandi perempuan yang semuanya tengah digunakan.

“Padahal tadi aku melihat dia menggunakan tindikan. Bagaimana bisa Guru Lee melewatkannya?”

“Dia punya status murid teladan. Jadi, guru-guru pasti melewatkannya. Lagipula, tidak mungkin dia menggunakan tindikan! Dia murid teladan! Itu benar-benar tidak mencerminkan dirinya.”

Naeun melangkah keluar dari sana.

Ia bertekad pada dirinya sendiri bahwa ia akan berhenti membuat tumpukan dusta yang semakin membuatnya tenggelam. Terlalu banyak dusta yang ia torehkan sehingga orang-orang dengan mudahnya percaya padanya.

“Naeun-a, apa makanannya sudah siap?” tanya ibunya ketika ia baru saja memasuki rumah. Naeun mendengus sepelan mungkin. “Aduh, air-nya belum ya? Eomma kan ingin cepat-cepat mandi dan makan, lalu tidur. Kau tidak tahu betapa lelahnya bekerja.”

Ia muak dengan semua ini.

Cukup dengan semua kebohongan-kebohongan yang akan semakin bertambah nantinya. Ia sudah bertekad akan berubah kan? Seharusnya, ia melakukannya sekarang.

“Naeun!” panggil ibunya. “Kau tidak mendengarku?”

Naeun meletakkan pisaunya dengan kasar dan membuat suara dentuman yang keras. Ia pun membalikkan badannya dan menatap ibunya marah. “Eomma kerjakan saja sendiri! Jangan hanya mengandalkanku! Aku juga lelah setelah seharian sekolah!”

Ibunya menatapnya tidak percaya.

“Kalau saja Eomma dan Appa tidak bercerai, keadaan seperti ini tidak akan pernah ada!” tambahnya. “Kenapa kalian harus bercerai? Kenapa?! Padahal aku selalu bersikap baik di sekolah maupun di rumah!”

Perlahan, air mata Naeun terjatuh.

“Maafkan aku, Eomma,” ujarnya pelan, lalu ia berlari masuk ke dalam kamarnya. Ia berharap ibunya tidak menyusulnya dan meminta maaf atas semua yang telah terjadi.

Ia tidak pernah berharap hal seperti itu terjadi.

Keesokan harinya, sekolah dihebohkan oleh Naeun yang mengikat rambutnya. Gadis itu menunjukkan bahwa tindikannya masih tertempel disana dan ia melenggang begitu walaupun ia tahu teman-temannya sedang membicarakannya.

“Itu Son Naeun?”

“Dia menindik telinganya?”

“Benarkah itu murid teladan Son Naeun?”

Sampai akhirnya, ia masuk ke dalam gedung sekolah dan berpapasan dengan Guru Lee yang langsung melotot ke arahnya—antara marah dan tidak percaya. “Son Naeun?!”

Gadis itu beku di tempatnya dan bahkan tidak bisa berkata apapun ketika Guru Lee melebarkan matanya.

“Itu tindikan? Ada apa dengan telingamu?! Apa ada yang membebanimu? Ada masalah di rumah?” cerocos guru itu bertubi-tubi. “Kalau memang ada, bicarakan saja dengan Bapak!”

“Bukan begitu—Eung—Kemarin—.”

“Apaan itu?” ujar seorang murid. “Karena prestasinya bagus, biarpun pakai tindikan, ia hanya diperlakukan seperti itu? Benar-benar beruntung ya, Son Naeun.”

“Psst—Kau tidak boleh seperti itu. Dia pasti mendengarnya.”

“Son Naeun pakai tindikan?”

“Aku dengar keluarganya sedang tidak harmonis.”

“Dia itu bodoh atau bagaimana? Kenapa diperlihatkan?”

“Itu namanya diskriminasi.”

“Tidak apa-apa, selama dia bersikap serius.”

“Kemarin ada pemeriksaan kan? Jangan-jangan waktu itu dia memang sengaja melepas tindikannya?”

“Ugh, menyebalkan!”

Guru Lee pun langsung menggeret Naeun yang tak bisa berkata apapun karena murid-murid mulai membicarakan tentang dirinya. “Ayo, ikut Bapak ke ruang guru!”

“Tapi—.”

“Benar-benar ya, Son Naeun!” ujar Guru Lee yang mulai menariknya. “Murid teladan sepertimu tidak seharusnya melakukan seperti ini! Kau bisa memupus harapan murid-murid lain!”

Saat itu juga, tangan seseorang menarik tangan Naeun agar menjauh dari Guru Lee. Laki-laki itu adalah Kim Myungsoo. Naeun melebarkan matanya ke arah laki-laki yang dianggapnya gila itu.

“Kim Myungsoo?!” Guru Lee semakin memuncakkan kemarahannya. “Itu Son Naeun menggunakan tindikan!”

“Itu bukan tindikan, Pak,” kata Myungsoo. “Bapak mungkin salah lihat. Itu hanya tahi lalat.”

“Tahi lalat? Tapi—.”

Sebelum Guru Lee sempat berbicara lagi, Myungsoo sudah menarik Naeun menjauhi kerumunan yang memperhatikan mereka. Ketika, keduanya tiba di tempat yang cukup sepi, Naeun pun mulai menangis.

“Son Naeun,” kata Myungsoo mengawali pembicaraan. “Kau bodoh ya? Itu bukan hal baik yang harus diperlihatkan!”

Perlahan tapi pasti, air mata Naeun mulai berjatuhan karena ia tidak bisa menahannya lagi. “Aku—Aku yang sekarang, aku ingin berubah . . .” Tangisannya tidak berhenti. “Aku punya banyak tumpukan dosa. Myungsoo, aku ingin berubah—aku ingin berubah—tapi, kenapa aku tidak bisa? Aku yakin, semua orang kini menjauhiku.”

Myungsoo melingkarkan tangannya pada pinggang Naeun dan merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya dan membiarkan gadis itu menangis disana—membasahi seragamnya.

“Kau melangkah terlalu jauh, Son Naeun,” kata Myungsoo. “Kau seharusnya tidak menyembunyikan hal-hal yang membebanimu. Aku menyukai dirimu yang dulu. Tidak apa-apa jika kau harus tersenyum terpaksa.”

Myungsoo mengeratkan pelukannya pada gadis itu dan mengelus kepala gadis itu. “Aku akan selalu berada disisimu. Jika kau membutuhkan orang untuk berbagi, aku siap mendengarkannya. Jika kau ingin menangis, aku siap memberikan bahuku untukmu.”

Tangisan Naeun perlahan berhenti. Lalu, Myungsoo melepaskan pelukannya dan menarik wajah Naeun agar mendekat padanya. Laki-laki itu menghapus sisa-sisa air mata Naeun yang masih ada di sana. Setelah itu, ia menyentuh bibir Naeun dengan bibirnya.

13 thoughts on “Piercing

  1. Waahhh, author nulis ff myungeun lagi nih >.< kkk~
    itu myungsoo dari awal udah suka sama naeun atau gimana?? Kkk, akhirnya naeun suka sama myung kan thorr?? Cieee=))
    Ditunggu ff lainnya thorr, myungeun ya;)=))

  2. Suka bangetbanget thor apalagi castnya myungeun!! (: ditunggu ff selanjutnya, terutama ff myungeun kkk

  3. FFnya Sampai Bikin Gua Nangis thor 😥 . FFnya Keren Abis .

    Ditunggu FF MyungEun Selanjutnya 😉

  4. akhirnya ada ff myungeun baru dari author 😀 suka banget sama ffnya pas baca serasa real#alay
    bagus thor ditunggu ff lainnya ya~

  5. FF’y keren,, tapi klo aq boleh saran end’y trlalu ngambang…….
    Kurang panjang jga konflik’y….. So far bagus thor…….. 🙂

    • makasih<3 tapi itu kan storyline masih punyanya yang Touda Yoshima huehehe. baca aja, seru kok. itu sebenernya 1 buku komik yang judulnya 'Colour of Love' yang isinya 5 cerita beda-beda gitu. Berhubung itu komik debutnya Touda Yoshima, makanya dia bikin 1 buku isinya cerita beda-beda hehe.

  6. awal awal aku agak ngga mudeng sama critanya tapi untungnya pas tengaj tengah aku udah mulai dong heheh
    ayey myungeun, bagus thor .. ditunggu ff myungeun yang lain

  7. Niceu ff!!! Nice job author. Sebenernya masih kurang greget endingnya. He. Tp over all plot nya udah rapih trus ide ceritanya gk mainstream.

Leave a reply to Eunyoo Cancel reply