(THE RED BULLET) BROTHER [Chap. 5]

TRB-BROTHER-NEW

Author: Anditia Nurul||Rating: PG-15||Length: Chaptered||Genre: Action-Crime, Family||Main Characters: (BTS) Jin/Seokjin, (BTS) Rapmon/Namjoon & (BTS) Jungkook||Additional Characters: (Got7) Mark, (BTS) Suga/Yoongi, (Winner) Mino, (Winner) Jinwoo & (GOT7) Yugyeom||Disclaimer: I own nothing but storyline|| A/N: Edited! Sorry if you still got typo(s).

“Seseorang yang disebut saudara bukan hanya dia yang lahir dari orangtua yang sama denganmu, tetapi orang yang selalu berada di sisimu, melindungimu dan berkorban untukmu, tidak peduli kau punya hubungan darah dengannya atau tidak.”

Prolog | 1 | 2 | 3 | 4 >> 5

HAPPY READING \(^O^)/

Mark mengemudikan mobilnya ke suatu tempat di sore hari setelah pertemuan dengan Inspektur Shin dan tim yang bertugas untuk menangani kasus kejahatan yang didalangi oleh organisasi The Red Bullet. J-Hope atau Jung Hoseok, anggota TRB itu kabur dari penjara. Cih! Ini menyebalkan! Setiap kali ia dan tim yang dipimpinnya semakin dekat dengan organisasi The Red Bullet, selalu saja terjadi hal-hal yang di luar dugaan.

Bobby yang tewas diracuni.

Hoseok yang kabur dari penjara.

Dan menurut dugaan, yang melakukan semua itu—yang meracuni Bobby dan membantu Hoseok kabur dari penjara—adalah… Mr. X, anggota The Red Bullet yang menyusup ke dalam Kepolisian Seoul.

Pertanyaannya, siapa Mr. X?

“CKIITT~”

Mark memarkir mobilnya di depan salah satu gedung gym langganannya. Keluar dari mobil dan berjalan memasuki gedung menuju ruang dimana alat-alat fitness di lantai 3. Tidak begitu banyak orang yang terlihat begitu Mark memasuki ruangan yang dipenuhi alat-alat kebugaran itu. Tapi, itu yang memang disukai oleh Mark di tempat ini, tidka begitu banyak orang.

Lelaki itu lantas melangkah memasuki sebuah ruangan kecil tempat ia menyimpan tas berisi air minum dan handuk kecil sekaligus menyingkirkan kaos biru lengan panjang yang menutupi sleeveless shirt hitam yang melekat di tubuhnya. Tidak lama, Mark kembali ke ruang fitness, memilih treadmill sebagai alat untuk pemanasan.

“Opsir Tuan?” Seketika Mark menoleh begitu mendengar seseorang menyebut namanya. Didapatinya lelaki berkaos abu-abu yang juga sedang berlari di atas treadmill yang berada di sebelahnya.

Mark tersenyum. “Ah, dr. Zhang? Kau sering ke sini, hm?”

“Tidak juga,” jawab dr. Zhang. “Kau sendiri?”

“Aku setiap minggu ke sini.”

Dr. Zhang mengangguk paham.

“Oh, ya, kudengar… tahanan yang keracunan sianida waktu itu kabur dari penjara. Apa itu benar, Opsir Tuan?” tanya dr. Zhang mengalihkan pembicaraan tanpa menoleh ke arah Mark.

“Ya,” sahut Mark singkat.

Sekilas, dr. Zhang melirik Mark kemudian bertanya lagi, “Lantas, apa kau sudah tahu bagaimana dia kabur?”

Sesaat Mark terdiam, lantas menghela napas. “Tidak. Tim kami belum mengetahui bagaimana cara Jung Hoseok kabur dari penjara, hanya saja…” Mark menghentikan laju treadmill-nya.

Dr. Zhang yang ada di sebelahnya melakukan hal yang sama, menoleh ke arah Mark dan bertanya dengan nada penasaran, “Hanya saja kenapa?”

“Hanya saja, kami mencurigai bahwa orang yang meracuni Hoseok waktu itu adalah orang yang sama dengan orang yang membantunya kabur dari penjara,” jawab Mark setelah ia menyeka keringat di wajah dan lehernya.

“Apa kau sudah tahu siapa orangnya, Opsir Tuan?” Kali ini dr. Zhang bertanya sambil berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Mark yang beranjak menuju alat angkat beban.

Mark menggeleng. “Belum. Kami belum tahu siapa dia. Tapi…, kami mencurigai dia berada di dalam kepolisian.”

“Ah, begitu!? Semoga kalian cepat menemukan orang itu.”

Polisi itu tersenyum simpul. “Ya.”

Dr. Zhang beranjak mencoba alat lain, sementara Mark mulai berbaring sambil mengangkat barbell seberat 5 kg.

Satu jam kemudian, Mark menyudahi rangkaian kegiatannya di tempat fitness. Beranjak ke ruang loker dan bertemu dengan dr. Zhang lagi di sana.

“Sudah mau pulang, dr. Zhang?” tanya Mark kepada dr. Zhang yang sedang duduk memperbaiki tali sepatunya, tidak jauh dari loker tempat Mark menyimpan barang-barangnya.

Sekilas, dr. Zhang melihat ke arah Mark. “Ya. Tidak bisa berlama-lama. Malam ini aku harus piket di rumah sakit.”

“Ah, begitu,” balas Mark seadanya, kemudian mengeluarkan barang-barangnya dari loker dan mengganti pakaian setelah ia mengeringkan keringatnya.

“Aku duluan, Opsir Tuan,” pamit dr. Zhang.

Mark yang sedang mengancing kemejanya, melihat ke arah dr. Zhang dan mengangguk pelan. “Hati-hati di jalan, dr. Zhang.”

Dokter itu pun keluar dari ruangan, sementara Mark masih harus merapikan barang-barang yang ia masukkan ke dalam tas. Begitu memastikan tidak ada lagi barang-barangnya yang tertinggal, Mark bersiap beranjak, namun…

Uh? Apa itu?

Mata Mark melihat ada sesuatu yang mengkilat diterpa cahaya lampu di bawah sebuah kursi tempat dr. Zhang duduk mengikat tali sepatunya beberapa saat lalu. Polisi itu beringsut mendekati benda itu—sebuah kunci mobil, merunduk memungutnya dan… seketika kedua ia tercengang melihat gambar yang berada permukaan karet hitam yang menjadi gantungan kunci.

Ada gambar peluru merah dengan tulisan The Red Bullet di bawah gambarnya. Di sisi sebaliknya, Mark mendapati tulisan lain lagi. Sebuah nama.

Cih! Rupanya perkiraanku dan Jinwoo sedikit meleset. Mr. X bukannya menyusup ke dalam bagian kepolisian. Dia menyusup ke rumah sakit kepolisian. Dasar brengsek! Kenapa aku tidak memikirkan hal itu sejak awal? Sianida. Zat itu kan hanya terdapat di ruang farmasi rumah sakit. Hanya orang-orang di rumah sakit yang tahu dimana letak barang itu disimpan. Bodoh, Mark. Kau bodoh! Kenapa baru menyadari hal itu sekarang?

Buru-buru Mark keluar dari ruang loker menuju tempat parkir. Orang itu pasti sedang kebingungan mencari kunci mobilnya sekarang. Pasti. Dan… ya, begitu Mark tiba di tempat parkir, ia melihat lelaki itu mengubek-ubek isi tasnya.

“dr. Zhang, kau belum pulang, hah?” Mark yang muncul tiba-tiba membuat dr. Zhang terkejut di tengah kepanikannya.

“Ah, Opsir Tuan, kau membuatku terkejut,” balas dr. Zhang agak canggung. Mark bisa melihat wajah dr. Zhang agak pucat.

“Sedang mencari sesuatu, hm?” tanya Mark lagi.

  1. Zhang mengangguk agak kikuk. “Y-ya. Sepertinya aku harus kembali ke—” Mark mencegat lengan kanan dr. Zhang ketika dokter itu buru-buru ingin masuk ke dalam gedung—atau tepatnya, berusaha untuk melarikan diri dari tatapan Mark yang tampak menyadari gelagatnya yang aneh.

“Aku sudah menemukan…,” bisik Mark sambil mencengkram erat lengan dokter itu, “benda yang kau cari…, Lay!”

@@@@@

Malam sudah sangat larut. Jam berbentuk lingkaran yang terpajang di dinding di dalam sebuah ruangan di kantor Kepolisian Seoul itu telah menunjuk pukul 00.12 tengah malam. Seokjin duduk di salah satu kursi yang berada di dalam ruangan, di bawah lampu yang menyala tidak begitu terang. Kepalanya menunduk. Matanya memandang kosong ubin putih di dekat kakinya. Sudah 30 menit dia berada di sana, di biarkan sendirian sejak sekelompok polisi menggerebek rumah ketua The Red Bullet dan menangkap-basah ia sedang bersama Jung Hoseok, tahanan yang kabur itu, di sana.

Sungguh mengejutkan. Seokjin tidak pernah menyangka dirinya akan ketahuan oleh polisi saat itu. Tapi, ternyata… jalan cerita Tuhan berkata lain. Rupanya pihak kepolisian telah tahu siapa anggota The Red Bullet yang menyusup itu sore tadi.

Ya, siapa lagi kalau bukan dr. Zhang?

Atau… dia lebih dikenal dengan nama Lay oleh anggota organisasi The Red Bullet.

Lay memberitahu tentang rumah itu pada polisi ketika ia diinterogasi dan… ya, Seokjin ketahuan.

Telinga Seokjin mendengar suara deritan pintu yang menandakan ada seseorang yang membuka pintu. Suara pantulan sepatu pada ubin pun dalam sekejap memenuhi ruangan. Seokjin masih terpaku pada posisinya. Tidak ada niat untuk mengetahui siapa orang yang sekarang sedang berdiri di hadapannya.

“Jadi, kau yang membebaskan Jung Hoseok?”

Mark!

Hanya mendengar suara dari orang yang bertanya itu, Seokjin tahu bahwa orang yang berdiri di hadapannya adalah rekannya, Mark.

“Ya,” Seokjin menyahut singkat.

“Kenapa, hm?” tanya Mark setelah ia menarik kursi, memposisikan kursi itu berhadapan dengan Seokjin dan duduk di sana. “Kenapa… kau membebaskan Jung Hoseok?”

Seokjin tidak menjawab. Malah mengalihkan wajahnya ke arah kanan, menghela napas panjang. “Dimana dia sekarang?” Seokjin malah balik bertanya dan kali ini sambil memandang Mark di hadapannya.

Mark mengernyitkan dahinya. Heran. “Apa maksudmu? Kenapa kau mencarinya?”

“Katakan saja, dimana dia sekarang, Mark?” Seokjin agak membentak.

Mark mendesah tertawa. Dia sungguh tidak percaya dengan situasi yang dihadapinya saat ini. Kenapa temannya malah menanyakan orang itu, hah? Kenapa Seokjin malah mengalihkan pembicaraan?

“Dia sudah dimasukkan ke dalam sel,” jawab Mark. “Sel yang baru. Yang jerujinya belum kau rusak,” lanjut Mark sedikit sarkastik.

Tidak lama, Seokjin bangkit dari duduknya dan berkata, “Aku ingin menemuinya!”

“Tidak bisa!” Mark menyahut cepat, bergegas berdiri untuk menyamakan posisinya dengan Seokjin.

“Kenapa? Ada yang ingin aku tanyakan padanya!” Seokjin hendak mengambil langkah, namun Mark menghadangnya.

“Tidak bisa, Seokjin. Kau tidak bisa menemuinya saat ini!”

Seokjin mendecih. “Aku punya urusan penting dengannya, Mark!” Seokjin berusaha untuk mengambil langkah di sisi lain, tapi… lagi-lagi Mark kembali menghadangnya. Kali ini bahkan sambil merentangkan kedua tangannya.

“Tidak bisa, Jeon Seokjin!” ucap Mark agak membentak. “Dan, aku mohon padamu, tolong kembali duduk di kursimu. Tolong turuti perintahku!”

“Kenapa aku harus menuruti perintahmu, hah?” Seokjin memandang Mark sinis. “Memangnya kau siapa? Posisi kita di kepolisian ini sama, Mark Yi-en Tuan!” tambah Seokjin. Diam-diam, Mark mengepalkan tinjunya, sebisa mungkin menahan diri untuk tidak memukul sahabatnya yang entah kenapa terlihat begitu menyebalkan malam ini. “Menyingkirlah!” Seokjin mengangkat tangan hendak menggeser tubuh Mark, tapi dengan cepat Mark meraih tangan itu dan… dalam sekejap membanting Seokjin ke lantai.

Lelaki itu mengerang.

Satu hal yang ia lupa: Mark bisa beladiri.

“Sebenarnya aku tidak mau melakukan itu padamu, Seokjin,” ucap Mark sembari memandang Seokjin yang terlentang memandang plafon ruangan, tidak jauh dari kakinya berpijak, “tapi, kau yang memaksaku melakukannya.”

“Sial,” umpat Seokjin pelan.

Mark lantas berjongkok di sisi kanan tubuh sahabatnya dan berkata, “Jangan membuang-buang waktu lagi, Seokjin. Ceritakan padaku, kenapa kau membebaskan Jung Hoseok? Kau tahu, jika kabar ini sampai ke telinga Inspektur Shin, kau bias dipecat. Berdoalah semoga teman-teman yang menangkapmu tadi tidak banyak bicara. Aku sudah berusaha untuk meminta merahasiakan ini dari Inspektur Shin.”

Seokjin memejamkan kedua matanya sambil mengembuskan napas panjang. Sesaat kemudian, ia mulai menceritakan semuanya. Adiknya yang diculik oleh organisasi The Red Bullet, anggota The Red Bullet yang menyusup ke rumahnya, bagaimana dia membebaskan Jung Hoseok, lalu menyembunyikannya di sebuah motel, dan… ya, tentu saja… kejadian beberapa jam lalu, ketika ia tertangkap basah sedang bersama Jung Hoseok di rumah itu.

Namun sejujurnya, Seokjin tidak menceritakan semuanya.

Tentang Rapmon.

Dia… masih merahasiakan itu dari Mark.

“Kenapa tidak menceritakan padaku sejak awal kalau Jungkook diculik oleh organisasi itu, hah? Kau ini bagaimana?” Mark langsung sewot begitu Seokjin mengakhiri ceritanya.

“Kau tidak mengerti,” sahut Seokjin yang telah berada dalam posisi duduk berhadapan dengan Mark. “Mereka tahu aku seorang polisi, Mark. Mereka mengancam akan melakukan hal yang buruk pada Jungkook jika aku meminta bantuan kalian. Kau tahu? Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk pada adikku.”

“Kalau begitu, apa kau tahu alasan anggota The Red Bullet menyusup ke rumahmu?”

Seokjin menggeleng. “Aku juga sedang mencaritahu hal itu, Mark. Mereka menyusup ke dalam rumah dan membongkar semua isi kamar adikku. Aku tidak tahu apa kaitan antara mereka dengan Jungkook.”

“Tadi, kau bilang Jungkook sempat meneleponmu kemarin, kan?” Seokjin mengangguk. “Apa yang dikatakannya?”

Polisi yang ditanyai itu menghela napas panjang, lantas berkata, “Tidak ada. Kami belum sempat berbicara banyak sampai aku mendengar suara tembakan dan teleponnya terputus.”

Mark mengangguk paham, lantas menepuk-nepuk pelan pundak Seokjin. “Ya, sudah. Kalau begitu, sebaiknya sekarang kau pulang dan beristirahat. Besok kita akan bicarakan ini bersama Jinwoo dan Mino,” katanya, kemudian berdiri. “Aku mau melihat situasi di sel Hoseok dan dr. Zhang, ah… maksudku, Lay,” lanjutnya.

Tepat di saat Mark baru beberapa langkah berjalan, Seokjin memanggilnya. “Mark!”

“Ya?” Mark menoleh, menatap Seokjin yang masih duduk di tempatnya.

“Terima kasih. Terima kasih sudah mendengar ceritaku dan… merahasiakan kejadian ini.”

Mark tersenyum simpul. “Kau berhutang kepadaku, Buddy. Ingat itu!”

@@@@@

Jungkook duduk di dalam sebuah sedan yang tengah melaju di badan jalan. Duduk di jok belakang dengan masing-masing anggota The Red Bullet di sisi kiri dan kanannya. Kedua tangan dan kakinya masih diingat tentu saja. Kondisi tubuh dan wajahnya masih sama, dipenuhi lebam dan darah yang mengering di beberapa bagian.

Lelaki 18 tahun itu tidak begitu mengerti apa yang sedang terjadi sekarang. Yang ia tahu, saat ini, anggota The Red Bullet membawanya ke tempat lain karena ada seseorang yang menelepon Suga bahwa polisi sedang menuju ke rumah yang baru saja mereka tinggalkan.

Ya, semacam membawa kabur Jungkook ke tempat lain yang tidak diketahui oleh pihak kepolisian. Apalagi, Jungkook juga mendengar pembicaraan Suga dan Rapmon tentang salah satu anggota The Red Bullet tertangkap lagi.

“Lalu, sekarang apa rencana kita selanjutnya, Hyung?” tanya Rapmon yang duduk di balik kemudi, sekilas menoleh ke arah Suga yang duduk di jok sebelah. “Taehyun dan Junhwe sudah mati. P.O juga sudah kau singkirkan. Penyamaran Lay sudah ketahuan dan J-Hope kabur dari penjara. Kita tidak tahu dimana dia sekarang.”

“J-Hope telah kembali ke penjara,” sahut Suga cepat. Matanya memandang jalan di depan sambil jari jempol kanannya mengelus dagunya.

Sekali lagi, sekilas Rapmon menoleh dengan alis yang bertaut. “Apa? Bagaimana bisa?”

“Dia berada di rumah di saat para polisi datang menggerebek,” potong Suga sebelum Rapmon menyelesaikan ucapannya.

“Dia ada di rumah!?” Rapmon mengulang dengan nada ingin memastikan bahwa telinganya tidak salah mendengar apa yang diucapkan Suga barusan. Ayolah, mana mungkin J-Hope kembali ke rumah setelah ia kabur? Semua anggota The Red Bullet tahu bahwa…

“Dan yang paling membuatku tidak percaya,” gumam Suga kemudian, membuat Rapmon mengabaikan pikirannya beberapa saat lalu, “J-Hope tertangkap basah sedang berada di rumah bersama seorang polisi.”

“Polisi?!” Lagi-lagi Rapmon bersuara dengan nada yang sama.

Meski tidak diperhatikan oleh Rapmon yang pandangannya fokus pada jalanan berkelok-kelok di depan, Suga mengangguk dan berkata, “Ya. Polisi. Dan…, bukan polisi sembarangan. Polisi itu adalah…,” Suga menoleh ke arah Jungkook yang duduk di jok belakang, “kakak Jeon Jungkook-ssi.”

Kedua mata Jungkook terbelalak bersamaan dengan Rapmon yang menginjak pedal gas secara tiba-tiba, membuat semua orang terkejut dan nyaris terantuk pada sesuatu di depan masing-masing. Keduanya tidak bisa menahan keterkejutan masing-masing.

“Apa yang kaulakukan?” sewot Suga dengan nada tinggi, memandang Rapmon dengan mata sipitnya yang melotot.

“Ma-maafkan…, maafkan aku, Hyung,” gumam Rapmon gelagapan. Mendengar nama Seokjin disebut oleh Suga membuatnya terkejut. Entah darimana Suga mengetahui hal itu.

“Hei! Kenapa kau diam saja, Rapmon?” tegur Suga. Cepat-cepat Rapmon kembali melajukan mobilnya sebelum Suga semakin kesal padanya.

Bersamaan dengan mobil yang mulai melaju, Jungkook bertanya, “Dimana Seokjin Hyung sekarang? Apa yang terjadi padanya?”

Rapmon yang menyetir, sejenak melirik Jungkook melalui spion tengah, sementara Suga menoleh ke arah remaja itu, memamerkan senyum menyeringainya. “Mana aku tahu, Anak Kecil! Mungkin saja dia dipecat dari kepolisian dan dimasukkan ke penjara bersama J-Hope!” kata Suga agak menakut-nakuti. “Ini semua salahmu, kau tahu!? Kalau kau mau memberikan file video itu secara percuma pada kami, Hyung-mu tidak akan mengalami hal itu!”

Jungkook hanya bisa diam menundukkan kepalanya setelah mendengar ucapan Suga. Sesaat menyalahkan dirinya sendiri jika yang dikatakan Suga—Seokjin dipecat dari kepolisian—benar-benar terjadi. Astaga! Itu buruk sekali!

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di depan sebuah gudang tua yang cukup besar di daerah Daegu. Suga dan Rapmon berjalan di depan, sementara di belakang mereka ada Jungkook yang diseret oleh 2 orang anggota The Red Bullet lainnya.

Memasuki gedung tua itu, seseorang dari beberapa orang yang sedang duduk bermain kartu, berjalan menghampiri Suga sambil berkata riang, “Suga Hyung, lama tidak bertemu~!”

Lelaki itu memeluk Suga seolah benar-benar rindu pada lelaki itu, sedangkan yang dipeluk hanya menunjukkan senyum kecutnya. Hah, dia benci mendapat perlakuan seperti ini.

“Menyingkirlah, Yugyeom!” Suga melepas pelukan lelaki yang lebih tinggi darinya itu. “Aku lelah setelah perjalanan jauh!” katanya.

“Ya! Suga Hyung jangan langsung beristirahat. Kau dan Rapmon Hyung kan sudah lama tidak datang ke sini. Ayo kita berpesta du—”

“Aku sedang tidak ingin berpesta, Yugyeom!” ketus Suga kemudian berjalan memasuki ruangan kecil lain di dalam gudang. Beberapa orang yang duduk bermain kartu itu sempat menyapa Suga, sementara Suga terus saja berjalan tanpa memperdulikan mereka.

“Hei, Yugyeom!” panggil Rapmon. “Urus bocah itu. Aku juga mau istirahat!”

Yugyeom mendengus kesal setelah Rapmon berlalu dari hadapannya, menyusul Suga. Padahal, dia ingin berbicara banyak dengan Suga—ya, paling tidak Rapmon. Toh, sebagai anggota The Red Bullet paling muda, ada banyak hal yang ingin dia ceritakan. Terlebih lagi tentang transaksi narkoba besar-besaran yang sedang ia jalankan di Daegu bersama beberapa anggota TRB lainnya.

Tapi…, Yugyeom terpaksa harus menunda ceritanya hingga besok pagi. Tidak lama, ia mengalihkan pandangnnya ke arah Jungkook yang masih diapit oleh 2 anggota TRB lainnya. Ia mendekat dan berdiri tepat di depan Jungkook.

“Jadi kau anak SMA yang membuat masalah dengan organisasi, hah?” tanya Yugyeom sembari memegang dagu Jungkook.

“Singkirkan tanganmu dari daguku!” bentak Jungkook, menatap Yugyeom tajam.

Yugyeom mendecih. “Rupanya benar yang dikatakan Rapmon Hyung. Kau ini angkuh,” ujarnya, lalu melepaskan tangannya dari dagu Jungkook. “Dengarkan aku baik-baik. Di sini, kau bisa mendapatkan perlakuan yang jauh lebih buruk dari apa yang kau dapat saat kau berada di Seoul. Jadi, kuperingatkan kau untuk tidak macam-macam!”

Jungkook tidak berkata lagi. Hanya memandang sinis lelaki yang tampak seumuran dengannya itu. Tidak lama, kedua lelaki itu menyeret Jungkook mengikuti ke arah mana Yugyeom berjalan. Tidak peduli ia akan dibawa kemana—yang jelas, dia pasti akan disekap lagi di suatu tempat, Jungkook melihat-lihat sekitar.

Bagian dalam gudang ini sangat luas. Di tengah ruangan ada sebuah meja segi empat besar tempat para anggota The Red Bullet asik bermain kartu. Di dekat mereka ada banyak kotak kayu yang ditumpuk 4-4. Entah apa isinya.

“Dudukkan dia di situ,” perintah Yugyeom, menunjuk ke arah sebuah bangku yang tidak jauh dari tempat anggota The Red Bullet yang berteriak heboh karena salah satu di antara mereka baru saja memenangkan permainan kartu. “Ikat dia dengan ini!” lanjutnya, menunjuk rantai besi yang tergeletak di lantai dengan kakinya.

Jungkook didudukkan dengan mudah. Dia tidak bisa memberontak, meskipun ia mau. Tenaganya sudah terkuras. Tubuhnya diikatkan pada kursi dengan rantai dan kali ini mulutnya ditutupi dengan lakban hitam. Seperti yang Yugyeom bilang, Jungkook benar-benar mendapat perlakuan yang jauh lebih buruk dibanding ketika dia berada di Seoul.

Lelaki itu masih beruntung dibiarkan hidup. Bagaimana pun, sebelum file video itu belum mereka temukan—ditambah J-Hope dan Lay yang berada di tangan polisi, mereka masih membutuhkan Jungkook.

@@@@@

Jam weker yang berdering nyaring di pagi hari yang tenang itu dengan sukses membuat Seokjin terbangun dari tidurnya. Lelaki itu masih berbaring di bawah selimut biru, hanya menjulurkan tangan kanannya untuk menghentikan suara jam weker yang seperti ingin meledakkan gendang telinganya.

Seokjin masih lelah.

Tubuhnya…

Pikirannya…

Semuanya benar-benar lelah.

Lelaki di balik selimut biru itu memejamkan matanya, mencoba untuk terlelap kembali. Namun, baru beberapa menit, seketika ia menyibak selimutnya agak kasar. Ia mendengus memandang langit-langit kamar. Percuma. Dia… tidak bisa terlelap kembali.

Dengan berat, Seokjin menyeret tubuhnya untuk duduk di tepi tempat tidur. Ia menghela napas panjang, sebelum melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi. Masuk ke dalam ruangan kecil di dalam kamarnya, berdiri di depan cermin yang memantulkan seberapa lelahnya ia belakangan ini.

Wajahnya pucat. Kulit di sekeliling matanya agak menghitam, lengkap dengan kantung mata yang mulai terbentuk. Auranya tampak redup saking lelahnya. Kacau.

Seokjin menyikat gigi dan membasuh wajahnya, berharap kelelahan itu sirna bersamaan dengan air yang menetes di ujung dagunya. Tapi, basuhan air itu sama sekali tidak membantu. Jejak-jejak kelelahan itu masih setia menempel di wajahnya. Lelaki itu hanya bisa mendengus, lantas keluar dari kamar mandi.

Ini hari ke-4 semenjak Jungkook diculik. Memang belum lama—tapi… hey, bagi seorang kakak yang bertanggungjawab atas kondisi adiknya, itu sudah cukup lama. Bayangkan saja, selama 4 hari ini, Seokjin benar-benar tidak tahu kabar adiknya. Terakhir kali ia mendengar suara adiknya adalah… 2 hari yang lalu. Itu pun, suara Jungkook terdengar panik.

Itu sudah cukup menandakan bahwa… Jungkook dalam keadaanya yang tidak baik. Terlebih dengan suara tembakan itu—entahlah, Seokjin berharap semoga Jungkook masih hidup.

Seokjin tersadar dari lamunannya dan tahu-tahu, ia mendapati dirinya berada di kamar Jungkook, duduk di tepi tempat tidur adiknya itu. Suasana di dalam kamar Jungkook sudah terlihat seperti semula, setelah sebelumnya kamar itu berantakkan oleh anggota The Red Bullet.

Lelaki itu merebahkan tubuhnya, membirkan kedua tungkainya terjuntai menyentuh lantai. Bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa yang dicari oleh para anggota The Red Bullet itu sampai mereka menyusup ke rumah? Apa… kaitan Jungkook dengan mereka?

“Cepat cari memory card itu! Cari sampai dapat!”

Seketikan Seokjin teringat pada ucapan seorang anggota The Red Bullet waktu itu. Salah satu dari mereka memerintahkan untuk mencari memory card. Tapi, kenapa mereka mencari memory card, hah? Apa Jungkook menyimpan sesuatu di memory card yang berkaitan dengan The Red Bullet?

Tapi…, apa?

“Kata polisi hutan di sana, beberapa warga menemukan seorang remaja laki-laki berusia 18 tahun yang pingsan di dekat sungai. Bukankah kau bilang… adikmu berada di tempat ini di hari mayat-mayat itu ditemukan, hm?”

“Apakah… adikmu menceritakan sesuatu padamu, hm?” sela Mark.

Apa mungkin…

“H-Hyung…”

“Ya?”

“A-apa nama organisasi itu?”

“The Red Bullet.”

Mustahil!

“Kau kenapa tidak menjawab pertanyaanku, hah? Kau melamun?”

“Ma-maafkan, aku, Hyung. Tadi… tadi aku memikirkan sesuatu.”

“Memikirkan apa, hah? Anak kecil sepertimu belum pantas memikirkan apapun selain sekolah!”

“Hyung?”

“Hm?”

“Kau pernah berjanji padaku, kau akan melindungiku, kan?”

“Ya. Kenapa?”

“Jangan-jangan… yang waktu itu…,” pikir Seokjin.

“Apa yang kau tonton itu, hah?”

“Hanya film,”

“Film action, hah?”

“Ya. Hanya film action yang aku copy dari Bambam.”

“Tidak! Tidak! Mustahil! Apa mungkin waktu itu Jungkook berbohong, hah?”

“Aku ingin melihat handycam-ku, Hyung. Apa handycam-ku rusak, hah?”

“ada di dalam tasmu.”

“Bisa tolong ambilkan untukku, Hyung? Aku ingin memastikan benda itu tidak rusak.”

“Memangnya apa yang kau rekam, hah? Kenapa sampai panik seperti itu?”

Bergegas Seokjin, berlari ke kamarnya dan menyambar ponsel yang tergeletak di nakas di sebelah tempat tidurnya dan menelepon seseorang. Baru saja dia mencurigai sesuatu, tetapi… saat ini, ia ingin memastikan… apakah dugaannya benar atau tidak.

“Ya. Halo?”

“Bambam!” seru Seokjin cepat begitu suara Bambam terdengar di speaker ponselnya.

“Seokjin Hyung?” gumam Bambam heran. “Ada apa? Apakah Jungkook sudah ditemukan?” tanyanya kemudian.

“Belum,” sahut Seokjin singkat. “Tapi, ada yang ingin aku tanyakan padamu.”

“Apa itu, Hyung?”

“Apakah Jungkook pernah meng-copy film action darimu beberapa hari sebelum dia menghilang, hm?” tanya Seokjin.

“Tidak, Hyung!” Bambam menyahut ringan.

Mendengar itu, tanpa sengaja Seokjin bergumam, “berarti dugaanku benar.”

“Dugaan apa, Hyung?” Seokjin bisa mendengar nada suara Bambam yang terkesan bingung mendengar gumamannya.

Lekas ia membalas, “Bukan. Bukan apa-apa, Bambam. Hanya itu yang ingin kutanyakan padamu. Maaf pagi-pagi sudah mengganggumu. Semoga harimu menyenangkan. Pip.”

Begitu mengakhiri panggilannya pada Bambam, Seokjin kembali ke kamar Jungkook. Agak tergesa ia membuka lemari pakaian adiknya, mengeluarkan handycam kesayangan Jungkook yang ia letakkan di sana saat ia membereskan kamar Jungkook. Tangan Seokjin agak bergetar ketika ia berusaha membuka penutup slot memory card di handycam itu.

Sialan, kau Jungkook! Kau sudah berani berbohong dan menyembunyikan sesuatu dari, Hyung, hah? Yang kautonton hari itu bukan film action, kan? Jika dugaanku benar, kau pasti merekam kejadian itu, kan? Kau pasti merekamnya! Karena itu, organisasi The Red Bullet menculikmu karena kau adalah saksi hidup untuk kasus itu. Dan pasti, organisasi The Red Bullet menyusup ke rumah ini untuk meraih file rekaman itu. Hyung benar, kan, Jungkook?

Hati Seokjin mencelos begitu melihat slot memory pada handycam itu kosong. Apa… benda itu berada di tangan anggota The Red Bullet yang melarikan diri waktu itu, hah? Ah, tidak. Tidak! Sepertinya tidak.

Seokjin lantas bergerak membongkar isi laci meja belajar Jungkook, menumpahkan isinya di atas tempat tidur. Tapi, ia tidak menemukan memory card di sana. Seokjin lantas membongkar laci yang berada di dalam lemari pakaian, namun hasilnya sama saja. Rasa penasaran untuk membuktikan dugaannya memang adanya, mau tidak mau membuat Seokjin melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan anggota The Red Bullet waktu itu. Membongkar isi kamar Jungkook.

“Aish! Jungkook-ah, dimana kau simpan memory card-mu, hah?” gumam Seokjin kesal, kali ini sambil memeriksa bagian belakang dari susunan pakaian Jungkook.

Lagi-lagi…, hasilnya sama saja.

Nihil.

Seokjin duduk di tempat tidur. Lelah dengan semua yang baru saja dilakukannya. Hanya bisa mendengus kesal melihat kamar Jungkook yang terlihat seperti kapal pecah, tapi ia tidak bisa mendapatkan apa yang ia cari. Shit!

Aish! Jungkook-ah, dimana kau—

“Tunggu!” Seokjin langsung teringat sesuatu. “Jangan-jangan Jungkook menyimpan benda itu di…” Tanpa basa-basi, lelaki itu berlari masuk ke dalam kamar mandi di dalam kamar Jungkook dan berdiri di depan cermin berukuran 30 x 30 cm itu. Kedua tangan Seokjin bergerak menyingkirkan cermin itu dari dinding dan… sebuah lubang berukuran 15 x 10 cm terlihat di sana, lengkap dengan sebuah kotak kayu kecil berwarna merah.

Pasti ada di dalam kotak itu.

@@@@@

“Kalian tahu kalian berempat telah mengkhianati The Red Bullet.”

“Sebagai hukuman atas pengkhianatan kalian, hari ini juga, kalian berempat akan pergi ke neraka!”

“DOR! DOR! DOR! DOR!”

“HEI! KAU~~!!!”

“ASTAGA! Jadi, Jungkook merekam kejadian itu, hah?” Mino berseru heboh ketika ia, Mark dan Jinwoo baru selesai melihat video yang dipertontonkan oleh Seokjin di laptop-nya.

Mino, Mark dan Jinwoo terlihat berdiri di sekitar meja Seokjin, sementara Seokjin sendiri duduk di kursinya. Keempatnya baru saja melihat video yang direkam oleh Jungkook ketika anak itu melakukan hiking bersama teman-temannya.

Dugaan Seokjin benar!

Jungkook merekam kejadian itu.

Itulah alasan kenapa dia diculik, juga alasan kenapa anggota The Red Bullet menyusup ke dalam rumahnya.

“Mereka mencari ini,” ujar Seokjin, menunjukkan memory card yang baru saja ia keluarkan dari slot memory card di laptop-nya. “Dan aku yakin, malam itu Jungkook ingin menceritakan tentang kejadian ini padaku. Aish! Seandainya aku tahu lebih awal, mungkin…” lirih Seokjin pada kata terakhir.

Mark yang berdiri tepat di sisi kanan Seokjin, menepuk pundak rekannya. “Sudahlah! Semuanya sudah terjadi, Seokjin-ah. Kita sudah tahu siapa dan apa motif mereka menculik adikmu. Kita juga sudah punya buktinya. Bahkan, ini bukti yang sangat cukup untuk memenjarakan anggota The Red Bullet.”

“Ya. Kita bisa menuntut mereka dengan pasal penculikan dan pembunuhan berencana,” celetuk Jinwoo.

“Kalau kita juga bisa menemukan markas mereka dan menemukan bukti bahwa The Red Bullet juga adalah pengedar narkoba dan pelaku penjual organ tubuh manusia, mereka semua bisa dikenakan pasal berganda dan mereka bisa dihukum penjara seumur hidup atau hukuman mati!”

Seokjin, Mark dan Jinwoo menoleh ke arah Mino yang baru saja berbicara panjang lebar. Bukan apa-apa, tapi… biasanya… Mino hanya tertarik pada tugas lapangan. Tidak suka memikirkan tentang hukuman, pasal dan semacamnya, meski dia seorang polisi.

“Apa? Kenapa melihatku seperti itu?” Mino balas memandang Seokjin, Mark dan Jinwoo bergantian.

“Tidak,” sahut Mark cepat, mewakili kedua temannya yang lain, “tidak ada apa-apa, Mino-ssi.”

“Lalu, apa rencanamu selanjutnya, Seokjin-ah?” Jinwoo langsung mengambil alih pembicaraan.

Seokjin menghela napas panjang, memandang Mark, Jinwoo dan Mino bergantian. “Aku akan menginterogasi J-Hope dan dr. Zhang—maksudku, Lay sekali lagi. Mereka pasti tahu dimana teman-temannya menyekap Jungkook sekarang.”

“Rrr… rrr… rrr….”

Tepat di saat Seokjin menyelesaikan ucapannya, ponsel Mark berdering. Lelaki itu menjauh dari meja Seokjin sembari berbicara dengan seseorang yang entah siapa. Sementara itu, Jinwoo, Seokjin dan Mino menonton ulang video hasil rekaman Jungkook. Mencari sesuatu yang siapa tahu saja bisa menjadi petunjuk untuk…

“Kalian bertiga!” seru Mark yang sekarang telah duduk di kursinya.

Seokjin, Jinwoo dan Mino melihat ke arah Mark bersamaan. “Ada apa?” Mino bertanya.

“Malam ini, bersiaplah. Kita akan pergi ke pub,” sahutnya sambil mengukir senyum.

Seokjin, Jinwoo dan Mino saling berpandangan satu sama lain. Apa maksud Mark?

@@@@@

Transaksi narkoba!

Itu yang membuat Mark, Seokjin, Jinwoo dan Mino berada di dalam sebuah tempat hiburan malam di Gangnam-gu. Suara musik disko yang nyaris memekakkan telinga, kerlap-kerlip lighting ruangan, suara berisik orang-orang di sekitar dan beberapa wanita berpakaian minim yang tampak meliak-liukkan tubuhnya pada beberapa tiang di atas sebuah panggung kecil di tengah ruangan menyambut mereka yang berjalan menuju meja bartender.

Jinwoo menghela napas panjang.

“Ini pertama kalinya aku pergi ke tempat seperti ini,” sahutnya, tampak kaget dengan apa yang sedang dilihatnya.

Mino cekikikan. “Untuk laki-laki yang usianya sudah ¼ abad, kau terlalu polos, Man~” responnya sembari merangkul pundak Jinwoo yang berjalan di samping kirinya. “Mau aku tunjukkan yang lebih menarik, hah?”

“Apa?” Sekali lagi Jinwoo menyahut dengan polosnya.

Mino tersenyum jahil. Sejurus kemudian, ia menepuk pundak Mark dan Seokjin yang berjalan di depannya dan berkata begitu keduanya menoleh, “Aku mau memperlihatkan sesuatu pada ‘anak baik’ ini,” Mino menepuk pundak Jinwoo, “kalian duluan saja ke sana,” lanjutnya sembari menunjuk ke arah bartender di akhir kalimatnya.

Mark mendengus pelan. “Tapi, kau harus ingat untuk tidak melakukan hal yang macam-macam di sini, hah!? Kita ke sini bukan untuk bersenang-senang,” pesan Mark.

“Iya, iya. Aku tahu itu, Buddy,” balas Mino, kemudian beranjak bersama Jinwoo.

Mark dan Seokjin telah duduk di meja bartender dengan 2 gelas cocktail di hadapan masing-masing. Cukup sering melihat-lihat sekitar, mencari-cari orang yang tampak mencurigakan di antara orang-orang yang mabuk dengan gemerlapnya hiburan malam. Mino dan Jinwoo, juga termasuk. Terlihat duduk di meja bundar di sebelah sana dengan 2 orang gadis yang… err…, bagaimana mengatakannya? Membelai mereka seperti peliharaan. Mino tampak menikmati itu, tapi Jinwoo—ah, sudahlah.

“Kau yakin dengan apa yang dikatakan informanmu itu, hah?” tanya Seokjin sambil mengeraskan volume suara agar bisa terdengar di antara musik disko yang semakin menggila.

Mark meminum sedikit cocktail-nya, lalu berkata dengan volume yang agak keras juga, “Ya. Dia informan terpercaya yang telah aku minta untuk memata-matai seseorang yang ia curigai sebagai pengedar narkoba. Siapa tahu saja dia salah satu jaringan pengedar The Red Bullet.”

“Seperti J-Hope, hah?”

Mark mengangguk.

“Apa kau tahu wajah orang itu seperti apa?”

Mark mengeluarkan ponsel dari balik jaket kulit cokelatnya, lantas menyerahkan ponselnya kepada Seokjin setelah ia utak-atik beberapa saat. “Itu foto yang dikirimkan oleh orangku.”

Seokjin mengalihkan wajahnya dari layar ponsel Mark, melihat-lihat sekitar. “Dia sepertinya belum muncul,” ujar Seokjin seraya mengembalikan ponsel itu kepada si pemilik.

“Begitulah. Tunggu saja,” respon Mark, menyelipkan ponslenya ke tempat semula.

Keduanya kembali melihat-lihat sekitar. Menikmati suara musik yang menggema dan lightning yang membangkitkan gairah berpesta. Ya, tapi tetap saja mata mereka sejenak memperhatikan satu per satu wajah orang-orang yang berada di dekat mereka. Siapa tahu, orang yang mereka tunggu sudah datang.

“Buddy,” Seokjin menepuk pundak Mark, “aku mau ke toilet dulu.”

Mark mengangguk sebagai tanda ia mengiyakan.

Seokjin beranjak dari kursinya, menyelip di antara orang-orang berjoget menutupi jalan menuju letak toilet yang beberapa saat lalu ia tanyakan pada bartender. Beberapa kali tubuhnya disenggol secara tidak sengaja oleh orang-orang yang ia lewati, membuatnya sedikit jengkel.

“Hei! Hati-hati!” tegur Seokjin kepada seorang lelaki yang memakai mantel hitam panjang dan berkacamata yang baru saja menabrak bahu kirinya cukup keras. Lelaki bermantel hitam itu tidak mempedulikan teguran Seokjin, malah terus berjalan seolah dia tidak melakukan sesuatu yang membuat orang lain ingin menuntut maaf darinya.

Seokjin mendengus. “Dasar orang gila! Apa tempat ini tidak cukup gelap sampai dia memakai kacamata hitam, hah!?” gerutunya.

Di dalam toilet tidak begitu ramai ketika Seokjin masuk. Hanya ada beberapa pria yang melakukan apa yang akan dilakukan Seokjin.

“Ya. Aku tahu. Aku sudah berada di pub. Aku juga membawa uangnya.”

“…”

Sayup-sayup Seokjin mendengar percakapan seseorang di dalam stall yang berada di belakangnya.

“Sebentar lagi aku keluar untuk mengambil barang itu. Ada sesuatu yang sedang aku lakukan.”

“…”

Seokjin menajamkan pendengarannya. Barang itu? Apa mungkin maksudnya adalah… narkoba, hah!?

“Ya. Aku mengerti. Aku sudah lama bekerja sama dengan The Red Bullet. Kenapa masih meragukanku, hah?”

Kedua mata Seokjin membulat sempurna begitu mendengar kalimat yang baru saja menembus gendang telinganya. The Red Bullet? Jangan-jangan orang ini adalah…

“Sudah, ya, aku sedang berjalan menuju tempatmu sekarang.”

Pintu stall di belakang Seokjin terbuka, lalu seorang lelaki berbaju biru keluar dari sana. Seokjin berpura-pura sibuk dengan apa yang dilakukannya dan hanya bisa memandang punggung orang itu saat berjalan menuju pintu. Lekas Seokjin menyelesaikan urusannya, kemudian menyusul lelaki berbaju biru itu. Beruntung, Seokjin belum kehilangan jejak, tapi…

“Ddrrtt… ddrrtt… ddrrtt…”

Ponselnya di dalam saku belakang celananya bergetar.

Shit! Siapa yang menelepon di saat seperti ini, hah?

“Ya, halo?” Seokjin menjawab panggilan itu sambil tetap membuntuti ke arah mana lelaki berbaju biru itu berjalan.

“Selamat malam, Jeon Seokjin.”

Seketika, Seokjin menghentikan langkahnya. Suara deep-husky yang terdengar di telepon telah berhasil mengalihkan perhatiannya dari lelaki berbaju biru itu.

“Na-Namjoon-ah?” gumam Seokjin. Ia lantas berjalan menjauh dari kerumunan orang-orang di sekitarnya, berjalan ke tempat yang sepi di dekat toilet.

“Woaah~ rupanya kau sudah mengenal suaraku, hah?” Seokjin mendengar suara Rapmon tertawa. “Bagaimana kabarmu sekarang? Masih sibuk mencari Jungkook?” tanya Rapmon, terkesan meledek.

“Brengsek!” umpat Seokjin menahan geram. “Kau ada dimana sekarang? Kuminta padamu, lepaskan Jungkook!”

Seokjin mendengar Rapmon tertawa lagi. Shit!

“Memangnya kenapa aku harus menurutimu, Jeon Seokjin-ssi? Kau tidak hubungannya dengan urusanku bersama adikmu yang menyebalkan itu.”

Polisi itu menghirup napas panjang untuk menenangkan dirinya. Tangan lainnya yang tidak memegang ponsel, terkepal erat menahan emosinya. “Dengar, Kim Namjoon,” ujar Seokjin, “aku sudah tahu apa yang kau inginkan dari Jungkook. Aku sudah tahu.”

Ada hening sejenak sebelum Rapmon kembali berkata, “Kau sudah tahu tentang video itu, hah? Berarti kau… juga sudah tahu tentang…”

“Ya,” potong Seokjin. “Kau anggota The Red Bullet. J-Hope dan Lay juga sudah mengakui itu!”

Terdengar decihan samar di telinga Seokjin. “Jadi…, kau benar-benar sudah tahu, hah!?”

“Ya. Aku tahu. Karena itu, lepaskan Jungkook atau video itu…”

“Apa?” ucapan Seokjin terpotong oleh ucapan Rapmon. “Kau mau memperlihatkan video itu pada teman-temanmu? Kau mau menangkapku, hah? Silakan saja, Seokjin. Silakan lakukan itu, tapi… aku ingatkan padamu, Jungkook ada bersamaku. Kuharap kau masih bisa mengenalinya.”

Dan Rapmon memutuskan panggilannya.

“Hei! Halo? Namjoon-ah? Kim Namjoon? Halo?” Seokjin berteriak, tapi tidak ada gunanya. “AARGHH! BRENGSEK!” Lelaki itu menendang dinding yang berada di dekatnya. “Dasar sial!”

Beberapa saat kemudian, sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Seokjin. Keningnya agak berkerut melihat itu bukan sebuah SMS, tetapi MMS. Sepersekian detik setelah Seokjin membuka pesan itu, sebuah foto terpampang jelas di layar ponselnya.

Foto Jungkook yang diikat dengan rantai pada sebuah kursi. Darah yang telah mengering menghiasi beberapa sudut wajah yang terdapat lebam di sana-sini. Mengenaskan.

Seokjin lantas membaca pesan yang terketik di bawahnya.

Itu adikmu, Jeon Jungkook.
Kalau kau ingin dia kembali padamu sebaiknya kau jangan bertindak yang macam-macam.
Kau sudah menonton video itu.
Pasti kau sudah mengerti.
The Red Bullet tidak akan segan-segan membunuh Jungkook.

Dan, senang bisa melihatmu lagi secara langsung.

Seokjin tersentak membaca kalimat terakhir yang ada di pesan itu. Sontak, ia celingak-celinguk melihat sekitar. Dimana? Dimana Namjoon?

“KYAA~!!!”

“BERHENTI!!!”

Keributan itu seketika merampas perhatian Seokjin. Dilihatnya beberapa orang sedang mengejar beberapa orang lainnya yang berlari ke arah pintu keluar pub. Teman-temannya. Sekejap, Seokjin melesat menyusul teman-temannya keluar dari pub.

Teman-temannya telah berada di seberang jalan, berlari mengejar para pengedar narkoba itu. Seokjin hendak menyusul, namun… sebuah sedan yang tiba-tiba berhenti di hadapannya, menghadang jalannya. Seokjin kaget.

Siapa?

Kaca jendela sedan hitam itu diturunkan oleh seseorang yang berada di dalam. Seokjin melihat sosok lelaki bermantel hitam dan berkacamata hitam duduk di sana. Hei, bukankah laki-laki itu adalah laki-laki yang tadi menabraknya di dalam pub?

“Apa kabar…, Seokjin Hyung?”

Sejurus kemudian, lelaki itu menoleh ke arah Seokjin bersamaan dengan ia melepas kacamata hitamnya.

“Na-namjoon?”

Kedua mata Seokjin terbelalak melihat siapa yang berada di dalam mobil itu.

Namjoon menyeringai.

Dan, sepersekian detik kemudian…

“MMPPPHHH~~!!!”

Seseorang membekap mulut dan hidung Seokjin dengan saputangan yang telah dibasahi chloroform.

-TaehyungBelumCebok

Anditia Nurul ©2015

-Do not repost/reblog without my permission-

-Do not claim this as yours-

-Also posted on Read Fanfiction-

 

8 thoughts on “(THE RED BULLET) BROTHER [Chap. 5]

  1. oh oke sama sekali tidak diduga, kereeenn!
    duh kenapa nggak dari dulu nyadarnya, giliran jungkook udah jauh aja baru paham seokjinnya ah~
    nah loh sekarang seokjin diculik juga. kenapa? ini perintahnya suga atau kepentingan pribadinya rapmon
    next part soon

  2. Ternyata…. dugaanku salah :””
    uh akhirnya anggota kepolisian tau soal Jungkook, dan siapa penyusup itu… yg ternyata Lay… astaga padahal mukanya polos :””
    kamu selalu sukses bikin penasaran dan bikin kejutan

    Akhirnya Namjoon menunjukan diri di depan Seokjin…
    tapi kenapa Seokjin diculik juga?
    oh iya Jungkook tau ngga kalo sebenarnya Seokjin bukan kakak kandungnya, tapi kakak kandung Namjoon? Kyknya ngga ya ._. /ditabok/

    Oke… ditunggu bangeeeeet kelanjutannya~~~
    hwaiting! ^-^)9

    • Hehe… iya. Penyusup sebenarnya adalah Lay 😀

      Jawabannya di chapter depan ya. Btw, chapter depan itu chapter terakhir 😀

      Sip Makasih udh RC^^

      Terkirim dari Samsung Mobile

  3. Tebakan aku gagal parah -_-
    Ga nyangka banget lah kalo lay anggota TRB
    Seru seru seru ih
    Tapi agak kecewa sih dengan adegan diketahuinya identitas lay yg asli, kesannya terlalu gampang gitu lho dan rasanya Lay terlalu ceroboh
    Tapi tetep bagus kok ^^

  4. Jin diculik sama adik kandungnya yaampun ;A; duh gimana ni ;A;
    Semoga Mino dkk nolongin Seokjin ;A;
    Lay anggota TRB? astaga gak nyangka, muka polos/? otak kriminal ya.-.
    Jungkook udah berapa hari disekap astaga kasian banget si Jungkook, disini(?) tersiksa(?) ._.
    Ok tinggal satu chapter dan bakal menghapus/? semua rasa penasaranku’-‘

Leave a reply to aichanie Cancel reply