Under The Rain Drops

Gambar

Tittle

Under The Rain Drops

Cast

SNSD’s Tiffany Hwang || EXO-K’s Oh Sehun

Rating

PG15

Length

Oneshoot

Genre

Romance, Fluff, OOC

Summary:

Tentang Tiffany yang tak pernah serius menjalin hubungan dan Sehun yang terlalu serius dalam menjalin hubungan. Serta dibawah tetesan hujan yang menyatukan takdir mereka.

Disclaimer

All Cast(s) ©Themself and God

Do not copy paste or re-post without my permission, be hot and creative. Thanksfull for you all who give me support, criticisms and suggestions, or all that made my f**kin bad Fanfiction.

A/N: FF super panjang dengan kerandoman tingkat maksi didalamnya! Warning, this is out of the original character!

This is for you all!

Happy Reading!

©Kaicifer

Minggu pertama di musim salju

Tiffany Hwang sama sekali tak habis fikir.

Seingatnya saat melihat kalender meja di nakas samping tempat tidurnya tadi, hari ini tepat jatuh diminggu kedua di Bulan Desember. Dan seharusnya, saat ia mendongak melihat langit, akan ada butiran seputih dan selembut kapas yang akan segera bergesekan dengan wajahnya, menimbulkan dingin menjalar yang justru membuat tenang.

Tapi sekarang..

Oh, jangan tanyakan itu. Saat tak sengaja melihat berita yang ditonton ayahnya tadi pagi, para peramal cuaca mengatakan kalau musim dingin tahun ini akan terlambat. Tapi.. Ayolah, ini bahkan sudah lewat seminggu. Dan mana hawa dingin itu? Mana area ice skating itu?? Mana boneka-boneka salju yang biasa dibuatnya dengan anak kecil di samping rumahnya??!!

Tiffany tak menyangka kalau Global Warming sudah mengacaukan dunianya sejauh ini.

Gadis itu duduk termenung di bangku tersudut bis, tangannya masih senantiasa menggenggam benda persegi yang masih menunjukkan halaman ramalan cuaca. Hari ini-masih-akan hujan, begitupula esok, lusa, esok lusa.. Bila dipersingkat, seminggu penuh langit hanya akan diliputi oleh hujan. Dan itu berkemungkinan, natal tahun ini akan dirayakan tanpa musim dingin.

Ia keluar perlahan dari pintu bis, amat perlahan hingga membuat lelaki diakhir 30 tahun yang berjalan di belakangnya mengumpat keras-keras. Dan ia tak peduli.

Rambut sepunggungnya yang tergerai melambai-lambai, menyambut angin musim gugur yang seolah mampu membuat kurus tubuhnya terbang. Angin hitam sudah menggumpal di atas sana. Tiffany yakin sebentar lagi akan-

‘byurr’ Tiffany lupa bawa payung.

-hujan.

*

Tiffany sangat membenci tetesan laknat itu.

Ia segera mengaduk tas berlogo’C’-KW 3-yang tersampir di bahunya. Dan iapun segera mengumpat keras-keras, “shit!” ia lupa bawa payung. Entahlah, lupa sekali-kali dengan lupa yang berkali-kali itu berbeda. Ayahnya pasti akan mengatainya ‘pikun’ kalau tahu hal ini.

Tiffany segera tahu kalau disana tak ada tempat untuk berteduh. Begini.. Ini di daerah taman kota, dan harapan satu-satunya agar tak kehujanan adalah memetik daun berukuran lebar yang ada di taman sana dan menjadikannya sebagai pengganti payung. Itupun jika ia masih punya malu, dan tidak takut di marahi tukang kebun disana.

Hujan mendadak berhenti hanya di daerah tempatnya berdiri. Tiffany mengira dirinya sudah gila sekarang akibat dari terlalu banyak memakan masakan ‘spesial’ Jessica, dan esok pagi ia takkan segan untuk mengadakan rap gratis dihadapannya, menyuruhnya berhenti bereksperimen dengan bahan-bahan makanan itu, itu amat ‘berbahaya’.

Ia mendongak. Seperti slow motion, tatapan keduanya bertemu. Seorang lelaki misterius kini sudah ada di hadapannya, meneduhi tubuh mereka dengan payung hitam yang dibawa lelaki itu. Dan Tiffany merasakan bahwa Global Warming juga mengacaukan waktu, karena ia merasa waktu telah berhenti berputar sekarang (Tiffany sepenuhnya salah! Ia salah besar!!).

byurr.’ itu bukan suara hujan. Dan Tiffany dapat merasakan mantelnya yang basah. Seketika, kegiatan saling menatap itu terhenti, terfokus pada titik dimana mantel bulu abu-abu milik Tiffany sudah ternodai oleh genangan air lumpur yang terciprat oleh mobil kodok yang baru saja lewat di samping mereka.

Keparat!‘ Tiffany mengutuk keras-keras dalam hati. Masih berusaha untuk menjaga imej ‘wanita lemah lembut’ pada pria jangkung di hadapannya kini. ‘Sial, sial, sial..’ Tiffany masih mengumpat secara halus, berusaha sabar, walau yang jadi malah wajahnya yang seperti menahan pup. Bayangkan saja.. Mantel ini oleh-oleh dari Jessica saat gadis berambut pirang itu pergi ke Paris. BAYANGKAN SAJA! Setidaknya, walau tak bisa pergi kesana (ayahnya terlalu pelit) ia masih bisa memiliki barang-barang berkualitas asal negara penghasil anggur terbaik itu. Tiffany sangat ingin menangis sekarang.

“Kau tak apa, noona?” lelaki pemegang payung nan misterius itu membungkuk, mensejajarkan tubuhnya dengan wajah Tiffany yang terdunduk juga memerah. Dan kata, “tak apa” yang terucap lirih dari mulut Tiffany bukanlah suatu jawaban memuaskan baginya.

“Tapi kau tak terlihat seperti itu..” lelaki itu menjawab ringan. Rambut abu-abu mengkilapnya sedikit basah terkena tetesan hujan saat tubuh jangkungnya mencoba melepaskan mantel hitam miliknya, dan Tiffany tak bisa untuk tak curiga saat menatapnya.

Tiffany masih merasa seperti ia seorang tokoh utama dalam suatu drama saat lelaki itu membalutkan mantel hitamnya di tubuh mungilnya. Dan sekarang, Tiffany yang harus terpana ketika melihat tubuh proposional milik lelaki itu hanya terbalutkan oleh kaos lengan panjang-hentikan, Jessica pasti akan membunuhnya kalau tahu ia punya incaran-yang-misterius-lagi.

“K-kenapa kau memberikannya?” nada Tiffany bingung, dan ada sedikit gurat malu disana.

Lelaki itu hanya mengarahkan dagunya pada bagian mantel Tiffany yang basah seraya mengeratkan pegangan pada payung. Dan disaat itu Tiffany sudah tak meminta jawaban lebih lagi. Matanya itu selayak bulan sabit ketika ia tersenyum-tulus.

“Baiklah..” lelaki dengan jakun menonjol itu menatap hujan yang perlahan reda disekitarnya, “dimana rumahmu? Aku akan mengantarkanmu.” dan setelahnya, lelaki itu merapatkan tubuhnya pada Tiffany-saling berbagi kehangatan.

*

Salju turun.

Seharusnya, Tiffany melonjak girang saat melihat butiran putih itu turun melewati jendela kamarnya yang berembun hasil dari hujan tadi sore, ataupun segera meluncur ke halaman depan, bermain dengan salju dengan mengajak anak kecil di samping rumahnya untuk membuat boneka salju bersama.

Tapi, Tiffany tak melakukannya.

Gadis itu terduduk di meja belajarnya. Kedua bibirnya terus-menerus menggumamkan kata tak jelas sembari tangannya mengelus-elus sayang mantel hitam ditangannya. Mata bulan sabitnya menatap keluar jendela. Dimana siluet seorang anak laki-laki tetangga sebelah tengah melambai padanya, mengenakan mantel tebalnya, dan terus-menerus berteriak, “Tiffany noona, cepat turun!”

Dan itu berbanding terbalik dengan pikiran Tiffany, justru siluet pemuda jangkung, dengan senyum menawannya, juga kedua mata obsidiannya yang tengah melambai padanya di luar sana. Dan ia pun membalas dengan lambaian antusias. Anak kecil itu memang kasihan 😦

“Lelaki itu..” Tiffany masih membiarkan sosok lelaki misterius tadi menggantikan bayang anak tetanggannya itu di pikirannya, “..benar-benar manis.”

*

Minggu ketiga di musim dingin.

Tiffany sudah lupa berapa kali ia mengucapkan kata, ‘sial!‘ di setiap tubuhnya menabrak tubuh orang lain di jalanan MyeongDong. Entahlah, kalau saja bukan karena kelupaannya membeli ‘mistletoe’ saat ia berbelanja di Supermarket kemarin, ia takkan sudi bergesekan dengan banyak orang seperti ini.

Dan seperti biasa, musim-demi-musim tak pernah berjalan seperti yang ia mau. Udara dingin yang terus saja merangsek kedalam tubuhnya membuatnya setengah mati kedinginan. Belum lagi, butiran salju yang terus berjatuhan mengenai kepalanya.

Ia benar-benar ingin pingsan sekarang.

“20 won, kumohon!” Tiffany memasang wajah memelasnya pada pedagang di hadapannya. Kalau saja bukan karena dompetnya yang sudah menunjukkan gejala ‘kekeringan’ ia takkan mau menawar seperti ini. Bukan apa-apa, ia hanya merasa ini sangat menjengkelkan.

“Tidak bisa, 30 won, noona!”

“20 won!”

“30 won!”

“20 won, ayolah!”

“Tidak bisa, noona. Itu terlalu murah.” sang pedagang yang bergen wanita itu mulai menunjukkan wajah kesalnya, “noona, ini berniat ingin membeli tidak, sih?”

Tiffany mengepalkan tangannya dibalik sarung tangan putih yang dikenakannya. Ia tak tahu, yang pasti disaat-saat musim dingin ini sisi emosionalnya benar-benar mencuat. Kemarin, ia hampir memukul lelaki cupu kelas sebelah hanya karena tak sengaja menumpahkan Teh kearah mantelnya. Kalau saja disini tak ramai, mungkin pedagang itu sudah habis di pukulinya!

“Baiklah,” Tiffany tersenyum paksa, wajahnya merah padam, sementara suaranya terdengar seperti orang yang menahan pup, “saya beli 30 won.”

Dan perdebatan singkat itupun akhirnya dimenangkan oleh si pedagang.

*

Tiffany terdiam selayak patung diantara orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya.

Ia tak ingat. Sama sekali tak ingat. Kalau 30 won tadi adalah uang terakhirnya yang rencanannya akan digunakan untuk membeli tiket bus. Dan sekarang ia benar-benar ingin membanting mistletoe itu hingga remuk di atas tanah yang bersalju.

Tiffany menggeram, lehernya sudah hampir beku karena berdiam terus di depan halte bus itu. Sebetulnya, bisa saja ia menelfon ayahnya, ah, tapi untuk apa? Mobil milik Ayahnya sedang mangkir di bengkel. Atau Ibunya? Ibunya apalagi.. Jangankan mobil, menaiki sepeda motor saja tidak bisa. Atau mungkin adiknya? Jangan gila! Tiffany sama sekali tak bisa membayangkan adiknya yang masih berumur 5 tahun sudah-bisa-menaiki mobil demi menjemput dirinya yang hampir beku. Itu. Sangat. Random.

Naik taksi dan ia bisa menyuruh Ayahnya untuk membayarnya? Sungguh, kendaraan itulah yang dari tadi ia tunggu. Dan sekarang.. Ia tak tahu apa semua supir taksi di Seoul sudah berubah haluan menjadi pegawai kantoran yang gajinya lebih besar? Karena sekarang benar-benar tak ada satupun taksi yang lewat dihadapannya. Ini benar-benar ‘awesome‘.

Dan Tiffany hanya bisa terdiam, menunggu menit-demi-menit yang terasa satu abad baginya. Kalau saja sabar bisa mencairkan tubuhnya yang hampir membeku ini, sudah dipastikan ia takkan bergerak-gerak gelisah sedari tadi.

“Kau?”

Tiffany hampir terlonjak saat tangan dingin seseorang menyentuh bahunya pelan, sedikit menyentakkannya hingga ia berbalik. Dan pemandangan tak asing yang 2 minggu dilihatnya dulu kini memandanginya balik. Lelaki berambut abu-abu dengan mata sayu yang menenangkan.

Tiffany tak bisa untuk tak terlonjak senang.

“K-kau?” Tiffany dapat mendengar suaranya sendiri yang terdengar amat antusias, “b-bagaimana bisa?”

Lelaki itu hanya tersenyum simpul, lalu menengadahkan kepalanya ke arah langit yang kian kelabu. “Mau kopi?”

“Hah, apa?”

“Kopi.” lelaki itu mengulang, “mau menemaniku minum kopi?”

*

Mereka berdua sama-sama terdiam.

Entah, canggung, bingung akan topik yang akan dibicarakan, atau mereka lebih memilih menggumuli cairan coklat kental di hadapan mereka daripada harus membuka percakapan, tak ada yang berbicara sedari tadi.

Mereka memesan Hot Chocolate. Pesanan datang. Mereka menyeduhnya dengan tenang.

Waktu berjalan 2 minggu setelah pertemuan mereka, dan Tiffany bahkan sudah melupakan perasaan hangatnya saat kali pertama bertemu lelaki itu. Sementara lelaki itu, entahlah, wajah lelaki itu begitu datar tertangkap oleh Tiffany. Ia tak pernah tahu alasan di balik ajakan ini.

“Jadi,” suara berat lelaki itu mengalihkan pandangan Tiffany dari cangkir ukir dihadapannya, “dua kali bertemu dan kita belum berkenalan. Aku Sehun. Kau?”

“Aku Tiffany. Tiffany Hwang.”

*

Minggu keempat di Musim Panas. 

Pertemuan pertama selalu berujung pada pertemuan-pertemuan berikutnya.

Tiffany memang sudah lupa akan Sehun. Beberapa bulan terakhir ini, ia banyak berkencan dengan para kingka sampai lelaki culun di sekolahnya. Dari yang amat-sangat-polos sampai yang teramat agresif. Dan, entahlah, sampai sejauh ini, tak ada lelaki yang ‘benar-benar’ menarik perhatiannya.

Kala itu, gerimis membasahi senja, selimut kelabunya menutupi gurat jingga dari barat. Sementara Tiffany terus-terusan mengutuk hujan yang kenapa-harus-datang di permulaan musim panas ini.

Rencananya untuk kencan dengan kingka kelas sebelah terancam gagal.

Hawa dingin justru semakin membuatnya ingin segera meniduri kasur dirumahnya.

Juga, beberapa alasan menyebalkan lain dibalik mengapa-ia-benci-hujan-sesore-ini.

“Oh, ayolah, Ayah.” Suara Tiffany memelas di sambungan telponnya dengan ayahnya, sementara Tuan Hwang sedari tadi terus menjawab, “tidak.” Satu kata yang mampu membuat emosi Tiffany naik ke ubun-ubun.

“Ayah, tapi ini hujan. Aku malas naik kendaraan umum.” Tiffany masih berkelit.

Naik taksi, Fany. Ayah benar-benar tak bisa menjemputmu.”

Dan sambungan telepon itu terputus. Kekesalan Tiffany kembali menguap, jauh menungguli rasa mengantuknya yang semalam begadang karena asyik ber-chatting ria dengan ‘incaran’ barunya. Sementara gerimis semakin menebal, ia hanya bisa duduk pasrah diam menunggu bis.

Tahu-tahu, sebuah payung terjulur kearahnya. Ia belum mendongak. Entahlah, ia hanya tak benar-benar berharap kalau itu adalah-

“Pulang denganku?”

“-Sehun?” mata Tiffany melebar

*

Mereka saling bertukar nomor telepon. Saling mengirimi pesan. Bertelfon ria di malam hari. Dan pada siklus yang Tiffany tak pernah duga sebelumnya..

..mereka berkencan.

Entah, siapa yang memulai. Malam itu, seperti biasa, mereka mulai bertelpon ria setelah Tiffany menyelesaikan semua tugas sekolahnya. Mereka bercerita tentang banyak hal. Tentang pekerjaan Sehun sebagai manager IT yang melelahkan. Juga seputar kehidupan Tiffany yang terlihat asyik di mata Sehun.

“Kau tahu, Hun!” Tiffany memulai percakapan dengan berseru dan hanya dibalas gumaman tak fokus oleh Sehun, lelaki itu mungkin tengah mengerjakan tugasnya yang entah keberapa untuk hari ini.

“Aku kesal sekali!” Tiffany mengatur nafasnya sebelum kemudian melanjutkan, “tadi, teman-temanku memameriku dengan kencan-kencan romantis mereka. Mereka juga bercerita bagaimana pacar mereka memperlakukan temanku selayak ratu. Hufft!”

“Lalu kau iri?” Tiffany masih mendengar suara Sehun yang terdengar tak fokus.

“Tentu saja! Mereka berkata seolah ‘kencan’ adalah surga dunia. Padahal jika aku merasakannya sendiri rasanya biasa saja!” Tiffany tak bercerita pada Sehun kalau ia senang bergonta-ganti pacar tentu saja. Namun, ia juga tak bebohong kalau ia tak pernah jalan dengan pria. Karena Sehun tak pernah mengungkitnya.

“Oh ya?” Tiffany ingin sekali membanting laptop Sehun jika lelaki itu ada dihadapannya.

Hening.

“Lalu kau ingin berkencan, seperti itu?”

“Ya, begitulah.”

“Bagaimana jika denganku?” Tiffany yang mendengarnya gantian tak fokus, adiknya selalu menonton tv dengan volume yang tidak wajar, jadi, sebentar, ia menghampiri adik lucunya yang masih tertawa heboh. Mengecilkan volume tv-nya, dan masih sempat memukul kepala adiknya dengan remote tv tersebut.

“Kau bilang apa, Hun?” Sehun menghela nafasnya kasar, “kita kencan. Berdua” Sehun sengaja menekankan kata ‘berdua’ seolah penekanan agar Tiffany tak membawa Ibunya di kencan pertama mereka. Lelaki itu sudah terdengar fokus sekarang.

“Kau bercanda?”

“Tidak.” Kata Sehun. Datar. “Hari Sabtu. Jam 7. Aku tunggu didepan bioskop.”

*

Dan disinilah gadis itu sekarang. Berdiri didepan bioskop, mengenakan pakaian casual. Pengalaman berkali-kali kencannya, menumbuhkan gagasan jika memakai pakaian casual takkan menimbulkan kejadian memalukan, salah kostum misalnya. Ia hanya berharap Sehun tak memakai pakaian formal untuk pergi menonton bersamanya.

Gambar

(imagine if the girl in this photo is Tiffany)

Tiffany masih menengok-nengok sekitar saat sebuah taksi berwarna abu-abu berhenti tepat dihadapannya. Dan sosok jangkung itupun keluar dibaliknya. Sehun terlihat menawan di mata Tiffany. Diam-diam ia mendesah lega saat tahu Sehun tak memakai pakaian casual sama seperti dirinya.

Gambar

“Sudah lama menunggu?” Sehun sudah berdiri dihadapannya, lengkap dengan aroma parfum yang menggoda, membuat Tiffany tak tahan untuk segera mencumbunya-hentikan, Tiffany mulai melantur.

“Tidak. Ayo!”

Keduanya sudah berada di barisan penonton, tinggal menunggu antrean hingga mereka dapat masuk kedalam. Sementara Tiffany membawa satu bungkus pop corn, juga soda di tangan kirinya. Sehun masih asyik memandangi sekeliling dengan pandangan ‘tempat-apa-ini’.

“Hun.” Sehun hanya balas menggumam, “bisa bantu aku bawa ini? aku ingin mengambil tiketnya di tasku.”

Sehun menerimanya. Sementara dua antrean lagi mereka dapat masuk, Sehun langsung teringat sesuatu; ia tak tahu film apa yang akan mereka tonton. Jangan-jangan film yadong!

The Lord Of The Rings” Tiffany menjawab pertanyaan Sehun sembari mengulurkan 2 tiket pada petugas, dan mereka lalu masuk, dan duduk dengan tenang. “Kau tak tahu?”

Sehun menggeleng, membuat Tiffany berdecak gemas. “Tonton saja nanti. Kau pasti akan suka.”

Sehun baru akan menjawab saat film baru akan dimulai. Mereka menyudahi percakapan, dan menonton dengan nyaman.

*

Mereka berpacaran.

Fase yang sudah bisa ditebak setelah mereka kencan. Malam itu, setelah Tiffany menjelaskan panjang lebar tentang film yang baru mereka tonton. Mereka pergi ke Food Court, dan memilih kentucky sebagai menu dinner mereka.

“Kau sudah memiliki pacar?” Sehun bertanya sembari melihat Tiffany yang sedang memakan ayamnya, “untuk saat ini?” Tiffany menggerakan bola matanya, “tidak. Mungkin masih dalam fase pendekatan.”

“Kalau begitu,” Sehun menghela nafas sejenak, “kau mau menjadi pacarku?”

“Ha-hh” Tiffany tersedak kulit ayam yang masih dikunyahnya ketika mendengar ucapan Sehun, “a-apa?”

Sehun menatap Tiffany lurus-lurus, “kau. Dan aku. Kita berpacaran.”

Sungguh, hati Tiffany tak pernah mengatakan ‘ya’ketika kedua jemari mereka saling bertaut. Tidak pula, ia merasa hatinya melambung manakala jemari Sehun menyentuh rambutnya lembut. Ia hanya menganggap hubungan mereka..

..tak lebih dari pelarian semata.

*

Sehun tak romantis.

Lelaki itu tak tahu bunga mana yang harus diberikan pada pacarnya ketika mereka melakukan ‘candle dinner’. Ia juga tak tahu bagaimana harus memulai percakapan dengan Tiffany. Juga, ia tak pernah menyentuh gadis itu lebih dari sebatas mengelus rambutnya.

Tiffany memang tak pernah mengeluhkan hal itu, tapi, entahlah.. ia hanya ingin menjadi ‘sempurna’ di mata Tiffany-nya. Saat malam tiba, ia selalu mendengarkan keluh kesah Tiffany di telpon, tak peduli tugas kantornya yang menumpuk. Setiap hari ia selalu bekerja dengan rajin sehingga ia bisa naik pangkat dan Tiffany dapat bangga padanya. Dan diakhir pekan ia selalu berusaha mencari tempat-tempat indah di sekitar Seoul untuk mengajak Tiffany jalan-jalan bersamanya. Juga, ia selalu menabung gajinya.. untuk kehidupan rumah tangga yang (dipikirannya) kelak akan dibangun dengan Tiffany.

Entahlah, ia hanya berfikir, Tiffany sebentar lagi akan lulus sekolah, lalu ia menunggu hingga gadis itu lulus kuliah, dan akhirnya.. menikah dengannya. Sehun tak pernah berfikir kalau kehidupan tak pernah membiarkan dirinya menulis skenario hidupnya sendiri, tidak sampai di suatu hari, saat gerimis mulai mereda, mereka berdua berjalan beriringan diteduhi payung yang dibawa Sehun.

“Hun..” Tiffany memanggil, dan hanya dibalas gumaman oleh Sehun, lelaki itu tengah sibuk mengamati keindahan taman kota yang dipenuhi petakan-petakan bunga daffodil dan chamomile disekitarnya.

“Apa kau tak pernah merasakan..” tatapan Tiffany menerawang, dan disaat itu Sehun sudah benar-benar fokus mendengarkan, “..kalau kita..” jeda yang menggelisahkan datang kemudian, “..tak serasi?”

Sehun terdiam, rasa takut kehilangan itu mulai muncul dari saat itu. Saat dimana suasana menjadi canggung kemudian. Saat dimana keindahan petakan-petakan bunga itu tak terlihat indah lagi dimatanya.

“Kukira..” Sehun menjawab dengan gelisah, sudah tahu benar apa inti dari kalimat Tiffany, dalam benaknya muncul siluet punggung Tiffany yang perlahan menjauh darinya. Menghilangkan efek berwarna dihidupnya. Memaksa ia agar kembali pada kehidupan lalunya. Kehidupan yang datar. Hanya ada hitam dan putih.

“..kita harus pulang sekarang.”

Dan jawaban itu menjadi awal tumbuhnya rasa canggung diantara mereka.

*

Mereka berpisah.

Semua itu berawal dari pertemuan-pertemuan canggung dengan Tiffany yang mengisi minggunya. ‘Tak apa jika seperti ini, asal bertemu dengannya, itu sudah cukup,’ batin Sehun saat ia jalan dengan Tiffany dan hanya diisi oleh keheningan panjang yang memuakkan.

Ternyata ia salah. Ia tak tahu sama sekali kalau yang dilakukannya sama saja dengan mengurung Tiffany dalam penjara cintanya. Alih-alih melepaskan gadis itu, ia justru membelokkan topik pembicaraan ketika Tiffany mulai berbicara menyangkut ‘hubungan’ absurd mereka. Ia hanya takut.

Dan rasa takut ini berbalik arah menjadi suatu yang memuakkan ketika di siang itu, ia diundang makan siang oleh salah satu kolega jauhnya. Entah, semacam firasat atau apapun itu, jam tangan miliknya jatuh tepat sebelum ia berangkat. Dan dalam perasaan was-was, ia berdoa di perjalanan semoga tak terjadi suatu hal yang tidak diinginkannya.

Sehun sudah memulai percakapan dengan koleganya selama kurang lebih 30 menit, dan selama itu pula perasaan was wasnya tak pernah berhenti untuk menghantuinya. Saat mereka saling berdiam, Sehun akan melamun. Sampai ia baru sadar kalau ia bahkan belum mengaduk lhyceed ice-nya yang sudah keburu mencair. “Hun-ah, kau tak apa?”

“E-eh,” Sehun tergagap, “Y-ya?”

“Kau tak apa-apa?”

“Entahlah,” kata Sehun, “perasaanku hanya tak enak sedari tadi.”

“Mungkin hanya perasaanmu saja,” koleganya berusaha menenangkan, sementara Sehun hanya mengiyakannya dengan lemas, bersamaan dengan itu pula, pintu kedai mie yang biasa di kunjunginya bersama Tiffany itu terbuka.

Dan ia sama sekali tak bisa untuk tak membelalakkan mata.

Firasatnya terbukti.

Seorang gadis yang ternyata adalah Tiffany, berangkulan mesra dengan seorang lelaki tinggi lengkap dengan seragam sekolah yang terlihat sudah lusuh yang menempel pada tubuh keduanya.

Rahang Sehun mengeras, sementara kedua tangannya terkepal kuat. Namun, ia masih diam pada tempatnya. Entah, terlalu lemas hanya untuk menghampiri keduanya, atau ingin melihat lebih banyak moment-moment keduanya, ia hanya memandang tajam keduanya yang kini sudah duduk tak jauh darinya.

Tatapan ‘menelanajanginya’ masih berpendar kuat saat ia melihat lelaki itu mencondongkan tubuh kearah Tiffany. Dan mencium gadis itu kilat. Ia bahkan sempat melihat semburat merah di pipi gadis itu, juga senyum malu-malunya. Sehun tak pernah melihat Tiffany seperti itu saat gadis itu berada di dekatnya.

Mereka jelas-jelas bukan ‘sekedar’ sahabat maupun saudara.

Maka dengan langkah tergesa, Sehun menghampiri keduanya. Ia sempat melihat mata Tiffany yang terkejut melihatnya, namun hanya sebentar karena setelahnya gadis itu tersenyum tenang, seolah sudah memprediksikan kalau ini akan terjadi.

“Kau berselingkuh di belakangku, Tiffany!” nada Sehun membentak, membuat semua mata tertuju kepada mereka, Sehun bahkan tak peduli saat lelaki dihadapannya menatapnya dengan tatapan, ‘siapa-lelaki-gila-ini’.

“Oh ya?” Tiffany berdiri, ia menatap Sehun lurus-lurus, “kita selesaikan di luar.”

*

“Kenapa kau berselingkuh, Tiff?!”

Mereka berdua kini sudah berada di lorong sepi, dan saat sampai, Sehun tak segan menarik tubuh Tiffany keras hingga punggung gadis itu menabrak dinding di belakangnya. Mata Sehun berkilat-kilat marah, ia tak pernah tahu kalau di khianati rasanya sakit sekali.

“Karena ini mauku!” Tiffany menjawab dengan lantang, setelah sebelumnya menahan sakit hantaman di punggungnya, dan Sehun tak bisa untuk tak membelalakan matanya. “Apa kau tak merasakan?! Kalau kita sama sekali tak cocok, hubungan ini begitu datar bagiku!”

“Sekalipun aku bersikap hangat padamu?” suara Sehun melemah, ada sedikit harap disana.

“Ya! Tak peduli jika kau memberiku semua kekayaanmu padaku!” Tiffany mulai tersengal, air mata sudah mengalir dari pelupuk matanya, “karena aku tak butuh itu! Dan kau malah memberikannya padaku! Dan ketika aku membutuhkan kasih sayang, kau hanya mampu diam didekatku, tanpa menyentuhku, kau memperlakukanku selayak aku adalah berlian paling langka didunia! Kau memang memilikiku, tapi kau tak berani menyentuhku, seolah kau takut akan merusakku. Dan begitu, ada orang lain yang bisa membahagiakanku, kau tetap saja mengekangku! Tidakkah kau pikir itu menyesakkan?!”

Sehun gantian terdiam. Ia bahkan meragukan keeksistensiannya sebagai lelaki, kalau pada akhirnya membahagiakan pacarnya saja tak becus. Bagaimana jika ia sudah memiliki keluarga kelak?

“Informasi buatmu,” kata Tiffany, “aku sering bergonta-ganti teman kencan. Dan aku tak pernah serius menjalin hubungan denganmu. Kukira, daripada aku menyiksamu lebih jauh, hubungan kita sampai disini saja.”

Sehun mendongakkan kepalanya saat Tiffany mengangkat dagu lelaki itu. Tiffany menciumnya. Tak lama. Hanya beberapa menit, hingga perpisahan itu benar-benar terjadi, “aku pergi dulu. Cepat mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik dariku. Kau lelaki baik, Hun.”

Dan punggung Tiffany makin menjauh, menyisakan luka menganga dalam lubuk hati Sehun.

*

Mereka saling melupakan dengan cara mereka masing-masing.

Tiffany yang selalu bergonta-ganti teman kencan setiap minggunya semata hanya untuk mencari hiburan. Sementara Sehun semakin menyibukkan diri kedalam tugas-tugas yang semakin membuatnya penat.

Malam itu kembali hujan, saat Sehun terpaksa melembur di kantornya, lelaki itu memandang langit kelabu Seoul dari kursi kerjanya sembari menyeduh Hot Chocolate di tangannya.

Dan tanpa aba-aba, memori-memori masa lalu itu muncul kembali dalam ingatannya, perlahan, hingga membuatnya ingin bunuh diri detik itu juga. Ia membayangkan, bagaimana pertemuan pertama mereka dibawah tetesan hujan, serta bagaimana bibir-tipis-tapi-cerewet milik Tiffany yang selalu bercerita padanya di telepon tepat saat pukul 9.00 pm tiap harinya.

Tak peduli kenyataan kalau ia tak menjadi ‘satu-satunya’ di hati Tiffany, ia benar-benar ingin mendengar suara itu lagi.

Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 9.00 pm tepat. Ia benar-benar-

Handphone-nya berbunyi nyaring, membuatnya segera menoleh-penasaran.

Dengan tangan bergetar, perlahan ia mengambil handphone yang berada diatas meja kerjanya, dan begitu melihat layarnya, sang penelpon adalah..

*

Tiffany dihukum habis-habisan.

Tadi, orangtuanya baru saja memarahi dirinya yang belum pulang kerumah sebelum pukul 7.00 pm, dengan alasan khas seorang Tiffany Hwang; berkencan. Ia benar-benar tak peduli apapun tadi, sekalipun hari ini yang masih menunjukkan hari Rabu, juga hari Kamis besok ada ulangan Kimia yang menunggunya, ia tetap pergi kencan dengan anak kelas sebelah.

Dan pada akhirnya, ia harus puas dengan omelan oleh orangtuanya, juga dirinya yang harus diantar-jemput oleh ayahnya mulai besok pagi, juga soal Ibunya yang mengungkit masa lalunya; “jujur, Ibu kecewa padamu. Sudah berapa kali kau jalan dengan banyak pria? Kau tahu, Ibu lebih suka jika kau bersama lelaki bermarga Oh itu. Dia dewasa untukmu! Atau yang paling Ibu suka, kau tak usah jalan dengan lelaki manapun mulai saat ini!”

Tiffany menangis, dan langit pun juga ikut menangis dengannya.

Ia tak pernah sadar tentang intensitas kencannya yang mulai meningkat akhir-akhir ini karena ia ingin melupakan sosok Sehun dari ingatannya. Ia juga tak sadar kalau ia mencintai Oh Sehun, bukan sekedar menyayanginya seperti yang dulu selalu dikiranya.

Dan ia juga rindu bagaimana lelaki itu menjawab dengan gumaman tidak fokusnya saat dirinya mulai bercerita banyak hal di telepon tepat saat pukul 9.00 pm.

Sekarang tepat pukul 9.00 pm.

Refleks, ia memungut handphone di atas kasurnya, mengetik nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala, lalu menekan tombol hijau.

Ia benar-benar butuh Oh Sehun sekarang.

*

Dengan tangan bergetar, perlahan ia mengambil handphone yang berada diatas meja kerjanya, dan begitu melihat layarnya, sang penelpon adalah..

“Ya, halo? Oh Sehun disini.” Nada Sehun tak seramah juga tak sesemangat seperti biasanya, bukan efek letih yang akhir-akhir ini menggerayangi tubuhnya. Melainkan karena ini bukanlah orang yang sama sekali tak ditunggunya.

Baik sekarang, esok, maupun selamanya.

“Apa kabar, Oh Sehun?” lawan bicaranya berbicara dengan nada menyebalkan, membuat Sehun tak tahan untuk tak mendesis kesal.

“Kabarku baik..,” Sehun dapat mendengar suaranya yang tercekat saat mengucapkan nama orang ‘itu’ lagi, “..Ayah”

*

Entah sudah berapa kali, Tiffany terus mengumpat ketika sambungan teleponnya selalu dibalas suara mesin oleh lawan bicaranya, kesimpulannya mudah: Sehun sudah berganti nomor/Sehun me-reject panggilannya atau Sehun terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga ia lupa akan handphonenya. Jujur, Tiffany lebih suka akan opsi yang ketiga. Tapi, siapa tahu kalau Sehun ‘benar-benar’ sudah menghapus ingatannya tentang Tiffany?

Sekarang, Tiffany tahu kalau karma bisa sesakit ini.

Tiffany tak tahu lagi harus curhat kepada siapa lagi. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya hanyalah; menangis.

*

“Ya, lalu?”

Tiffany hanya membalas malas ketika Jessica mulai mengumpat betapa ‘sulitnya’ ulangan kimia barusan. Gadis itu lebih memilih mengaduk random Bubble Tea di hadapannya dengan sedotan di tangannya, hingga butiran-butiran boba itu hampir hancur semua, ia sama sekali tak menyadari itu.

“Hey, bagaimana denganmu?! Sulitkah?”

“Eumhh,” Tiffany meletakkan kepalanya diantara lipatan tangannya di atas meja, dan ia-kembali-menjawab dengan menggumam, “ya, seperti itulah. Aku mendapat contekan dari si anak culun itu.”

Jessica hanya mendengus iri, lalu matanya menangkap gerombolan kingka yang duduk di meja tak jauh dihadapannya melambai padanya, pertanda agar ia mau mendekat, “hey, Tiff! Lihat! Astaga, ia melambai kearahku!! Tiff, ayo kita datangi mereka!”

Tiffany hanya menggumam malas. Entahlah, segalanya yang berhubungan dengan ‘kingka’  kini benar-benar membuatnya muak. Yang ada dikepalanya adalah; Oh Sehun. Oh Sehun. Dan semuanya dipenuhi oleh Oh Sehun.

“Astaga, Tiff! Temani aku!!”

“Pergi sendiri, Sica!” Tiffany bangun dari kegiatan menyendernya pada meja kantin, ia menatap Jessica malas. “Tapi, Oh, ayolah!”

Jessica kini menarik-narik lengan Tiffany, membuat gadis itu menyangka kalau Jessica pintar memeras handuk basah karena lengannya sudah memerah sekarang, ia sedikit memasang tampang horor, lalu berdeham.

“Sica, aku sudah bersumpah untuk tak berkencan dengan sembarang pria lagi! Kau harus mengerti!” ucapannya tak cukup keras, namun masih cukup terdengar dengan jelas oleh Jessica dan para kingka yang duduk di meja sebrang. Setelahnya, Tiffany beranjak menuju kelas, meninggalkan Jessica dengan kepala yang penuh tanda tanya.

*

Tiffany benar-benar berubah.

Ia selalu pulang tepat di pukul 5.00 pm tanpa dijemput oleh ayahnya, uang sakunya yang sisa pun di tabungnya di celengan babi miliknya, ia juga tak pernah keluar malam, ia juga tak pernah mengumpat sekalipun jika adik kecilnya kencing di sprei putih nan wangi miliknya, ia selalu berada di dalam kamar dengan membaca buku, begitu pula jika disekolah, ia lebih suka berlama-lama di perpustakaan daripada ditodong dengan banyak ‘kenapa?’ yang ditujukan dari Jessica atas perubahan sikapnya. Satu hal yang paling penting: ia tak pernah kencan lagi dua minggu terakhir ini.

Dan orangtuanya tak bisa untuk tak bangga kepadanya. Setiap akhir pekan mereka selalu mengajak Tiffany dan adiknya pergi ke tempat-tempat indah di sekitar Seoul. Tiffany tak menyangka kalau menjadi anak teladan ternyata menyenangkan juga.

Namun, ada suatu hal yang tak bisa untuk dirubahnya:

Perasaannya pada Oh Sehun.

Jika tak ketiduran, ia akan menelpon Sehun tepat pada pukul 9.00 pm untuk menceritakan perubahan signifikannya. Tak apa jika hanya dibalas gumaman tak fokus darinya. Asal, Tiffany mendengar suara lelaki itu. Semua akan terasa mudah baginya.

Sialnya, sambungan telponnya hanya akan mendapat balasan suara mesin.

*

Malam itu langit menangis.

Tiffany sedang menunggu bis di halte saat jam sudah menunjukkan pukul 7.00 pm. Satu-satunya alasan mengapa ia masih disana semalam ini karena ia merupakan ketua dari organisasi majalah di sekolahnya, dan bulan depan, sekolahnya akan berulang tahun. Wajar kalau ia harus sedikit bekerja keras untuk kali ini.

Tetesan hujan kembali mengingatkannya akan masa lalunya. Masa lalu dimana ada dirinya yang lebih mirip wanita-maaf-jalang. Juga masa lalu dimana dirinya menyia-nyiakan lelaki sebaik nan setampan Oh Sehun.

Ia rindu lelaki itu.

Amat sangat merindukannya.

Maka, tanpa aba-aba lagi, ia segera meraih ponselnya, demi mewujudkan satu lagi harapan yang belum tercapai dalam hidupnya: berbaikan dengan Oh Sehun.

*

Hujan kembali membuat basah jendela kantor Oh Sehun..

..juga kembali membuat basah luka hatinya yang sebelumnya sudah kering.

Seperti sebelumnya, konsentrasinya selalu buyar saat tetesan ‘laknat’ itu mulai membasahi jendela di rumahnya maupun di kantornya. Tetesan itu tak lebih sebuah pengingat akan memori-memori lama yang hampir pudar, akan kebersamaan singkat yang begitu mendalam di benak Sehun, namun (mungkin) tidak dengan Tiffany.

Handphone-nya berdering. Membuat jemarinya yang menari diatas keyboard terhenti seketika. Untuk sejenak, emosi kembali menguasainya hingga ubun-ubun. Pasti ‘keparat’ itu yang menelpon dirinya ditengah pekerjaannya yang tengah menumpuk.

Memikirkannya kembali membuat kepala Sehun berdenyut-denyut.

Ia hanya perlu tak mengacuhkannya, berpura-pura tuli untuk sejenak, menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin, lalu segera pulang dan ia bisa berendam di air hangat, dan tertidur di kasur empuk nan nyaman.

Hanya itu, tapi, entah mengapa hati Sehun sama sekali tak mengatakan ‘tidak’. Sulit sekali untuk tak mengambil handphone-nya, dan memeriksa siapa dibalik suara-suara berisik pemecah konsentrasinya. Sebagai informasi, ia tak pernah menyentuh ponselnya 2 minggu terakhir ini, jika iya, mungkin itu saat dulu pertama kali orang ‘itu’ menelponnya, selebihnya, ia sama sekali tak punya keberanian untuk membukanya.

Ia hanya takut bayang masa lalu itu kembali menyergapnya.

Dan membuatnya tak bisa kembali pada realita kalau ia sudah tak memiliki Tiffany di sisinya.

Sewaktu melihat layar ponselnya yang berkedip-kedip, tanda telpon masuk. Ia segera tercekat.

Nama ‘Tiffany’ terpajang dengan elegan disana, lengkap dibawahnya nomor yang Sehun bahkan sudah hafal di luar kepala.

Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol warna hijau, dan berusaha membuat suaranya terdengar normal.

“Ya, halo?”

*

Tiffany berkata dalam hati, ‘kalau hari itu Sehun tak mengangkat telponnya, maka ia tak akan mencoba lagi untuk menghubungi lelaki itu lagi’ dalam arti sempitnya, ia akan mencoba untuk melupakan lelaki itu bila Sehun tak mengangkat telponnya yang kesekian kalinya.

Dan mungkin keberuntungan tengah memihak padanya.

Disaat tangannya baru akan menekan tombol merah, sebuah suara berat seseorang yang amat dirindukannya menyapa pendengarannya. Membuatnya terpana untuk sejenak. Dan lagi-lagi, ia merasa bahwa Global Warming benar-benar mengacaukan waktunya karena ia merasa waktu menjadi super lambat ketika ia mendengar kembali suara Oh Sehun, “ya, halo?”

“Halo, Oh Sehun?!”

Dan ditengah-tengah derasnya hujan malam itu, mereka kembali merajut semuanya dari awal.

*

Mereka benar-benar kembali.

Kembali pada tempat seharusnya mereka berasal, bukan Tiffany yang mengisi masa mudanya dengan berkencan dengan sembarang pria, bukan pula Sehun yang kembali pada kehidupan datarnya yang dahulu.

Melainkan, kembali kepada dimana takdir menyatukan mereka. Di tengah derasnya hujan. Di dekat halte bus. Juga dimana memori-memori lama menjadi indah untuk dikenang.

Siang itu, mereka bertemu. Di taman kota yang penuh dengan bunga-bunga yang bermekaran, dan suasana tak lantas menjadi akrab di siang itu. Telpon Sehun yang berdering yang menjadi pembuka pembicaraan mereka.

Mulanya, Tiffany melihat perubahan wajah Sehun saat melihat layar ponselnya yang berkedip, dan saat Tiffany menyuruh Sehun agar mengangkatnya, lelaki itu bangkit dengan malas, sedikit menjauh dari Tiffany.

Gadis itu tak pernah tahu siapa yang menelpon Sehun saat lelaki itu sedikit berbicara dengan kata-kata kasar dan volume yang lumayan tinggi, dan ia dapat melihat dari Sehun yang memunggunginya kalau dada lelaki itu naik-turun, ingin sekali ia menghampirinya dan berkata ‘ada apa?’ namun apa ia masih pantas?

“Tadi itu ayahku..” ungkap Sehun dengan nada yang menggantung setelah ia duduk dengan wajah orang yang seperti baru menemukan seorang pencopet, dan Tiffany hanya tersenyum, siap untuk mendengar lebih lanjut. Dulu, ia sama sekali tak pernah mendengar Sehun berkeluh kesah padanya kecuali tentang pekerjaannya, dan itu membuatnya penasaran.

“Dia penyebab utamaku..” jeda kemudian, “maksudku-hubungan kita berakhir.”

Tiffany mengernyit saat mendengarnya, “bagaimana bisa? Err.. maksudmu?”

Sehun menghela nafas, “dia ba**n*an!” Sehun mengatur nafasnya yang mendadak tersengal, “ia yang memberiku rasa takut ini..” Sehun menelangkupkan wajahnya di kedua tangannya, “..rasa takut untuk menyentuhmu..”

Tiffany tak tahan dan akhirnya ia bertanya, “apa yang kau bicarakan?”

“..Kau pasti tak tahan dengan lelaki sepertiku.” Kedua alis gadis itu semakin menyatu, “aku tak pernah menyentuhmu, dengan kata lain, aku tak pernah memberikan kehangatan secara langsung untukmu. Sungguh, saat melihatmu bersama lelaki lain..”

“..Aku tak marah padamu.” Sehun menelan ludah, “aku hanya marah pada diriku sendiri yang membuat dirimu berpaling dariku. Dan.. dan..” Sehun kehilangan kata-kata.

“Maafkan aku.” Lanjut Sehun.

Tiffany tercekat. Entahlah, ia hanya merasa para iblis tak nampak disekelilingnya menertawainya sekarang juga. “K-kenapa?”

“Apa?”

“K-kenapa bisa kau tak berani menyentuhku? Dan..” Tiffany menatap intens wajah Sehun yang masih menunduk, “kenapa kau bisa sebaik ini, Oh Sehun?”

Mereka sejenak terdiam dalam keheningan yang menggelisahkan.

“Ayahku sangat membenci makhluk bernama perempuan. Ayahku dijodohkan oleh orangtuanya dengan Ibuku, dan pada akhirnya lelaki itu menyiksa Ibuku.” Wajah Sehun memerah, “dan Ibuku meninggal tak lama setelah ulang tahun-ku yang ke-10.”

“Hidup dalam bayang-bayang almarhumah Ibuku sama sekali bukan hal yang mengenakkan. Ditambah tinggal serumah dengan seorang psycho. Itu benar-benar membuatku gila.” Sehun menghela nafas, “ Ayahku terus mempengaruhi diriku dengan mengatakan wanita tak lebih selayak sampah.”

Rahang Sehun mengeras tapi melunak kemudian, “..dan semua terasa amat mudah ketika aku melihatmu dibawah hujan di sore itu.”

Tanpa sadar Tiffany menangis entah kenapa dan untuk apa, ia segera memeluk Sehun erat, gadis itu bahkan dapat merasakan tubuh Sehun yang sedikit bergetar. Diantara kata ‘kenapa Sehun bisa sebaik ini?’ ‘kenapa harus Sehun?’ dan begitu banyak kata ‘kenapa’ di fikirannya, hujan menderas diantara kelopak lentiknya, membuat basah kemeja abu-abu milik Sehun.

“Ah, maaf!” Tiffany melap bekas air matanya di kemeja Sehun dengan cepat, benar-benar merasa bersalah, “sungguh, aku tak sadar. Maaf, aku cengeng sekali.” Dan disaat itu tangan Sehun menepisnya lembut. Masih dengan tangan yang saling terpaut, keduanya saling bertatap intens.

dan Oh Sehun, kau tak perlu menyentuhku hanya untuk sekedar menunjukkan kau mencintaiku. Aku merasakannya, amat sangat merasakannya: Getaran ketika mata obsidian mu menembus milikku. Aku merasakannya’

Tiffany berkata dalam hati, berharap Sehun dapat membaca tatapan mata penuh makna tersebut, hingga pada akhirnya kata penyatu itupun terdengar, langsung dari ucapan lirih seorang Tiffany Hwang, “aku sangat mencintaimu, Hun. Dan aku menyesal”

Tiffany sudah menebak kata ‘aku tidak mencintaimu’ keluar dari mulut Sehun, dan pada akhirnya, kata “aku juga mencintaimu” lah yang menjadi jawaban Sehun.

“Kau memaafkanku?”

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Tiff, karena kau memang tak pernah salah.”

“Jadi, kau benar-benar sudah menjadi kekasihku lagi?” Tiffany bertanya dengan suara imut, membuat Sehun mencubit pipinya gemas, “dan resmi menjadi milikmu selamanya. Aku jamin itu!”

Keduanya lantas tertawa, memecah sunyi diantara kelabu menggelayuti langit yang semakin menebal. Untuk sesaat, mereka terdiam kemudian, saling mendekatkan diri satu sama lain, dan pada akhirnya, ciuman pertama-sekaligus pertama bagi Sehun-pun terjadi diantara bunga-bunga taman yang saling bermekaran diselingi tarian-tarian musim panas akibat angin sepoi yang menerjang.

Ciuman itu makin terasa panas bagi Sehun-walau Sehun tak melakukan apa-apa (Sehun terlalu polos)-saat mendung kian meradang. Hujan pun menerjang.

Tiba-tiba, Sehun melepaskan ciumannya, membuat Tiffany agak tersentak. Ia menengadahkan tangannya, merasakan butiran air yang membasahi kulit putihnya, membuatnya agak meringis kedinginan.

“Tiff, hujan!” serunya-terlalu-polos, jelas-jelas Tiffany sudah melihat, jadi gadis itu hanya menjawab dengan cuek, “ya, memangnya kenapa?”

“Mau berdansa dibawah hujan bersamaku?”

“Apa?” Tiffany hanya memastikan, bukan berarti ia benar-benar ‘tidak mendengarnya’.

“Berdansa di bawah hujan!” seru Sehun polos, “aku melihatnya di drama, dan itu terlihat romantis menurutku, kau mau?”

Tanpa sadar, Tiffany tersenyum lebar, “Ya, tentu! Aku mau!”

Dan dibawah hujan yang kian menderas, mereka masih asyik berdansa dengan Tiffany yang terkadang menginjak kaki Sehun, dan membuat tawa keduanya terurai, memecah keheningan diantara hujan dan petakan bunga daffodil yang seolah ikut tersenyum kearah mereka.

Karena hujan adalah penyatu mereka. Dan karena hujan adalah tempat penyimpan dimana memori-memori indah mereka tersimpan rapi hingga akhir.

The End.

haloo! sorry karena kelamaan tenggelam (?) entah kemana, dan akhirnya balik bawa ff beginian, pfft, entahlah, bawaannya pengen bakar sekolah mulu :< /heh

dan kenapa harus thehun? entahlah, aku lagi lovey dovey ama magnae unyuh ini :* so wdyt ’bout this ff? kasih review yaa! 😉

regards

Kaicifer

56 thoughts on “Under The Rain Drops

  1. aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa………………………
    HunFany HunFany HunFany!!!!!!!!!!
    my favorite couple stlah KrisFany
    ffnya krennnn
    bikin HunFany lagi donk thorrrr………..sama KrisFany n’ YeolFany yach^_^

  2. Aigoo.. Keren banget nih FF eon?!
    Daebak!! Perfect! Saya tak menemukan typo sama sekali ._. Apa kurang teliti ya?
    Bikin FF Sehun – Tiffany lagi ya! ^o^
    Lagi Fallin’ In Love sama EXOFany saya..
    Hahha.. Kebetulan aku Fanytastic.. 😀

  3. Hi, I’m Ashley from Canada. This fanfiction is good. I don’t even known what’s the meaning of Indonesian language but, my friend told me, and I just shooked. Good for the Author. I love HunFany ❤

    • hi, ashley! uh, my grammar not so well anyway, but thankyou {} btw who’r yr friend? i think isn’t like that she/he told to you, so many less there x_x uh, i think i wanna write some english fanfic soon /uh?/
      i love them too ❤ /fly/

      • Her name is rizda. Can you make the english version one? Please make HunFany new ^^

  4. Neomu neomu daebak !! Suka banget sama ceritanya 😀 pairing HunFany fav aku, soalnya mreka unyu :33

  5. Ya…… Tiffy-ah sda apa denganmu eomma? Kau bukanlah orang yg seperti itu

    READERS MULAI GILAAAAA

    DAN BERTANYA KENAPA FF MU BEGITU BAGUS HAH?KANAPA?

    JADI JANGAN HIRAUKAN KATA-KATA GILA SAYA KEEP WRITE

Don't be a silent reader & leave your comment, please!