[FF Freelance] Tujuh Lukisan Horror (Chapter 3)

tujuh-lukisan-horror-3

Tujuh Lukisan Horor

By marianavivin

Casting :

Jessica Jung | Tiffany Hwang | Bae Suzy

Other Casting :

Kris Wu | Kim Joon Myun | Other

Genre :

Horor | Mystery | Life School

Length :

Chapter

Rating :

PG15+

Disclaimer :

Semua cast dalam cerita ini tetap dan akan selalu menjadi milik agensi dan orang tua mereka. Fanfic ini juga di publish di marianavivin9.wordpress.com. Alur cerita terinspirasi dari buku karya Lexie Xu berjudul sama ^^ no bash or copy, happy reading^^. Poster by Wolveswifeu ^^

Previous: Chapter 1, Chapter 2

Cerita Sebelumnya…

Apakah kepala sekolah masih hidup? Atau sudah mati?

Sang Reaper Tujuh Lukisan Horor akan membiarkannya menjadi misteri

Lagi! Dua lukisan dari Tujuh Lukisan Horor milik pelukis terkenal Genie High School, Bae Suzy kembali diubah. Kali ini korbannya tidak main-main. Seorang siswa perempuan yang diketahui bernama Eunjung dan sang kepala sekolah sendiri!. Kasus semakin rumit ketika semua fakta yang didapatkan Jessica dan Tiffany justru seperti menemui jalan buntu. Lantas, berhasilkah Jessica dan Tiffany menyelamatkan siswi dan kepala sekolah tersebut? Siapa sebenarnya dalang dibalik semua ini?

Chapter 3

-Jessica

 “Suzy~ah! Kau tidak sadar lukisan ini hilang?!”. Tanyaku tidak sabar sambil terus menyapukan pandangan ke seluruh ruangan yang hancur berantakan itu.

“Anio, aku tidak sempat memeriksanya, saat melihat lukisan pertama…aku…aku langsung panik”. Aku dan Tiffany berpandangan. Harus diakui, Suzy termasuk salah satu orang yang patut dicurigai. Memang dia tidak mungkin bisa mencelakai Eunjung atau Mrs.Kwon, tapi bisa saja dia orang yang mengubah lukisan-lukisan itu.

Kami keluar dengan muram. Tiffany mencabut kunci yang tergantung di belakang pintu lalu mengunci pintu tersebut. Begitu keluar,kami langsung di kerubungi.

“Sica, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang terjadi pada Mrs.Kwon?”. Tanya Mir penasaran.

“Aku tidak bisa memberitahu banyak kepada kalian tapi yang jelas…masalah ini berkaitan dengan tragedi tahun lalu”. Saat aku mengatakan kalimat terakhir itu, aku bisa melihat perubahan wajah yang tidak kentara dari Mir, Jae Bum dan Shindong.

“Tragedi? Tragedi yang mana?”. Tanya Shindong dengan gugup.

“Molla, tahun lalu aku, Tiffany dan Suzy jelas belum sekolah di sini, sementara kalian…”Aku menunjuk tiga namja tadi dengan sengit “…kalian pasti tahu sesuatu kan?”.

“Kalo memang tragedi tahun lalu yang disinggung di sini, harus kukatakan bahwa kecelakaan Krystal murni kecelakaan”.  Mir membuka suara tanpa memperdulikan tatapan sengit Jae Bum dan Shindong yang terarah padanya.

“Jeongmalyo? Bagaimana bisa kau seyakin itu?”. Tanyaku sinis. “Kau ada di tempat kejadian?”.

“Ne, aku melihat kejadiannya. Aku ada di seberang papan loncat, tapi aku gak terlalu merhatiin Krystal dan teman-temannya lalu tiba-tiba aku dengar teriakan Krystal dan suara hantaman yang cukup keras…” Mir berhenti sebentar sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya lagi “…suasananya jadi kacau, para namja langsung turun ke kolam buat mastiin Krystal masih hidup atau enggak…”

“Termasuk kamu?”. Tanya Tiffany menyela.

“Hmm, termasuk aku, tapi aku benar-benar tidak tahu kejadian persisnya. Seperti yang kubilang tadi, yang aku lihat Krystal sudah terkapar di kolam”. Nada suara Mir menyiratkan bahwa dia sedang berusaha ber-argumen. Aneh. Dia seperti bersikeras bahwa kejadian Krystal hanyalah kecelakaan belaka.

“Kalian berdua…” Aku menunjuk Jae Bum dan Shindong yang sedari tadi hanya diam selama Mir bercerita “…kalian ada di sana juga?”. Tanyaku.

“Ne,kami ada di sana”. Jawab Shindong pelan. Bisa kurasakan tatapan tajam Minwoo sonsaeng menembus kepalaku dan menatap Jae Bum dan Shindong. Ah, pasti masalah poker itu.

“Apa yang kalian lakukan di sana?”. Tanya Tiffany mendahuluiku. Shindong bergerak-gerak gelisah sementara Jae Bum tidak henti-hentinya mencuri pandang khawatir pada Mir.

“Kalian mengundang teman main poker kan?”. Suara berat Minwoo sonsaeng langsung masuk ke dalam telingaku ketika Shindong tidak juga membuka suara.

“Sem?”. Ucap Mir terkejut.

“Kalian mengundang Junho dan Sandara kan?”. Tanya Minwoo sonsaeng lagi. Mir yang tidak menyangka bahwa guru BP kami itu tahu banyak mengenai malam pokernya hanya bisa mengangguk pasrah sambil menatapku takut.

“Berarti kamu bohong pada apa yang kamu katakan sebelumnya”. Sergah Tiffany cepat menyinggung penjelasan Mir sebelumnya.

“Arra, aku memang ada di dekat Krystal ketika kecelakaannya terjadi, dan yang kulihat…seolah-olah Krystal jatuh karena ‘sesuatu’”.

“Sesuatu?”. Ulangku penasaran.

“Mmm, entah apa tapi mungkin senjata pembunuhnya sudah dibuang waktu kami sibuk ngecek dia”. Jawab Mir.

“Ah benar juga, Kai salah satu teman pokermu kan? Apa dia pernah main bareng Junho atau Sandara?”. Tanya Tiffany.

“Aku tidak ingat, tapi yang jelas mungkin, dengan salah satunya”.

-Tiffany

“Bagaimana dengan Thunder? Dia teman poker kalian juga?”. Suara ringan Suho menyelinap di antara pengorekan informasi kami saat ini.

“Si cotton candy itu?”. Ulang Shindong.

“Cotton candy?”. Ulang Jessica bingung.

“Rambut Thunder itu warna pink, jadi dia dipanggil cotton candy”. Aku dan Jessica langsung membentuk mulut kami menjadi ‘O’.

“Ne, wae?”. Jawab Mir setelah ragu sejenak.

“Aneh, hampir semua berhubungan dengan teman poker kalian, lalu bagaimana dengan Jiyeon?”. Tanya Jessica sambil kembali menatap Mir, Shindong dan Jae Bum.

“Jiyeon? Yeoja yang bunuh diri itu? Memang ada apa sama dia? Jelas-jelas dia bunuh diri, apa lagi yang perlu di bahas?”. Tanya Jae Bum balik dengan nada pongah. Aku menatap Jessica sejenak dan mendapati yeoja itu sedang menatapku juga.

“Lalu…kasus Kai yang mencuri di kantor kepala sekolah, bagaimana dengan yang itu?”. Kali ini aku yang bertanya karena Jessica tidak juga membuka suara.

“Kai? Hahaha jelas dia mencuri karena ingin membalas dendam pada kami, dia kalah main poker sama kami”. Mir tertawa keras bersama Shindong dan Jae Bum.

Akhirnya karena setiap fakta yang kami dapatkan semakin membuat penyelidikan ini menjadi rumit, Minwoo sonsaeng memutuskan kami semua harus kembali pada kegiatan masing-masing. Setelah mengantar Kris dan Suho hingga ke parkiran dan memastikan mereka berdua sudah menghilang di belokan, Jessica langsung menyeretku ke toilet yang dulu kami gunakan untuk keluar dari sekolah.

“Semua yang berhubungan dengan tragedy tahun lalu selalu mengarah pada permainan poker Mir, apa itu tidak aneh?”. Jessica akhirnya membuka mulut ketika dia sudah menemukan bilik toilet yang sepertinya sering ia gunakan untuk bersembunyi. Dia punya pemikiran yang sama denganku.

“Tentu saja itu aneh, tapi menurutmu…apa yang di lakukan si ‘Reaper’ itu pada Eunjung dan Mrs.Kwon? Apa mereka baik-baik saja?”. Tanyaku menyuarakan isi kepalaku yang sedang penuh dengan kasus ini.

“Molla, terlalu naïf untuk berharap mereka di lepaskan begitu saja…” Jessica berhenti sebentar dan menatapku dengan mata bersinar-sinar. Sial. Aku tahu maksudnya “…bagaimana kalau kita beraksi malam ini?”. Jessica menyelesaikan kata-katanya persis seperti dugaanku. Tentu saja. Dia pasti berfikir si pelaku yang mengubah lukisan jelas akan menggunakan waktu dimana Ruang Kesenian sedang tidak digunakan dan tentu saja…malam hari.

-Author

Langit yang mulai menggelap dan suramnya cahaya lampu yang menerangi Genie High School menjadi saksi bisu ketika ada dua yeoja yang sedang menyelinap diam-diam ke dalam area sekolah.

“Seharusnya kita bawa senter”. Bisik Jessica karena takut security yang sedang bertugas di pos depan gerbang sekolah mendengar kedatangan mereka.

“Aku bawa”. Balas Tiffany sambil mengeluarkan dua senter berukuran kecil dari saku bajunya.

“Daebak, kajja… kita ke Ruang Kesenian”. Ruang kesenian Genie High School, berada di lantai dua gedung laboratorium. Saat Jessica dan Tiffany mulai menaiki undakan tangga pertama, injakan itu mengeluarkan suara derak yang memecahkan keheningan.

Geez, ini sama saja mengumumkan kedatangan”. Umpat Jessica.

“Kita susuri pinggirannya”. Usul Tiffany cepat. Setelah beberapa saat mencoba, mereka mulai terbiasa dengan pijakan minim yang berada di pinggiran tangga. Segera saja setelah 10 menit berkutat dengan tangga-tangga tadi, Jessica dan Tiffany sampai di lantai dua gedung laboratorium.

“Chakkaman, kau dengar suara itu?”. Tanya Jessica. Tiffany menatap Jessica dengan bingung sampai akhirnya suara yang didengar Jessica tadi semakin jelas terdengar. Suara teriakan ketakutan seseorang.

Geez! Pasti si pelaku lagi beraksi”. Teriak Jessica sambil berlari menuju koridor Ruang Kesenian. Langkah mereka terhenti ketika sebuah kilatan tajam menyapu pandangan masing-masing. Di depan mereka, pada jarak kurang dari 1 meter, berdiri seseorang dengan jubah hitam lengkap dengan sebuah topeng menyeramkan menutupi wajahnya. Orang itu sedang bersiap-siap mengayunkan kapaknya ke tubuh seorang namja yang sedang tergeletak tidak sadarkan diri di lantai.

Dan sang Reaper menoleh.

-Tiffany

Omona!!!

Aku dan Jessica langsung membuka jalan ketika menyadari si Reaper menyerbu kami dengan kecepatan tinggi. Berharap dia akan bingung akan menyerang siapa tapi ternyata dia memilih menyerang Jessica dan mengabaikanku. Sialan!. Wusshhh. Sapuan angin melewati leherku. Aku berbalik dan melihat sosok yang sama seperti yang sedang berhadapan dengan Jessica. Reapernya ada dua??!!.

Segera saja si Reaper kedua menyerangku dengan membabi buta. Persis seperti yang di lakukannya rekannya pada Jessica. Alih-alih ciut atau takut, Jessica justru menyahut dengan santai. “Akhirnya kita ketemu sama para pengecut ini, Fany~ah”.

“Mmm, pengecut yang beraninya main belakang”. Tambahku sambil terus menghindar dari kilatan-kilatan tajam dua mata kapak yang di genggam si Reaper. Segera saja si Reaper terlihat ‘panas’ dengan ejekan yang aku dan Jessica keluarkan dan semakin menyerang  dengan tidak beraturan. Postur tubuhnya pun tidak bagus. Langkah-langkahnya terlalu lebar. Sesaat sebelum dia kembali menyerangku, aku bisa melihat sekilas sebuah warna mencolok dari sepatu yang di kenakannya. Menarik sekali. Putih bersih dengan lambang singa. Kami harus mencari tahu tentang ini.

Sementara Jessica masih sibuk dengan Reaper pertama, aku juga semakin sibuk dengan ‘keganasan’ yang dikeluarkan lawanku. Tapi tetap saja, aku yeoja biasa walaupun harus kukatakan aku lumayan mahir dalam bela diri, tapi melawan dua kapak tajam sekaligus jelas tidak mudah kan?. Jadi yang bisa kulakukan hanya mundur, menunduk, mundur, mundur dan…

“Iuueewwhhhh”.

Kakiku menginjak genangan darah di lantai yang sepertinya berasal dari kaki namja yang tadinya menjadi sasaran para Reaper ini. Aku melirik sekilas ke bawah dan mendapati setumpuk rambut berwarna pink seperti cotton candy. Manis sekali. Pasti namja ini yang bernama Thunder.

Wusshhhh

Kembali sebuah ayunan kapak melewati telingaku dan beberapa helai rambutku melayang-layang di antara diriku dan si Reaper. Geez, apa Reaper ini berencana menjadi seorang hairstylist?. Oke cukup Tiffany, kau mulai berfikir yang tidak-tidak. Tapi sepertinya kapak itu tidak hanya mengenai rambutku. Rasa nyeri yang menyebar dari daerah tulang atlas dan baju yang langsung melembab membuatku yakin bahwa aku terluka. Tapi tidak apa-apa. Aku belum lumpuh.

-Jessica

Dari ekor mataku aku bisa melihat Tiffany sedang memancing lawannya yang merupakan Reaper kedua ke dalam Ruang Kesenian.

“Siapa sih kamu sebenarnya?”. Tanyaku sambil terus berusaha menghindar dari sapuan-sapuan kapak yang di ayunkan si Reaper. Dia menggeram sedikit kemudian langsung berusaha mendorongku dengan ujung mata kapaknya, Cih. Dia pikir aku bodoh. Segera saja aku mengambil papan kayu yang kebetulan berada di dekatku dan menahan dorongannya. Dia mundur sedikit dan hal itu kujadikan kesempatan untuk menyerang. Dengan tenaga yang sudah kupusatkan pada kaki kananku -kaki kiriku sudah luka karena sapuan benda tajam itu-, aku menendang keras pegangan kayu pada kapak si Reaper dan membuat dua benda besi itu jatuh bergelontangan ke lantai.

“Ottoke? Sudah tidak punya senjata?”. Godaku dengan senyuman licik. Si Reaper terlihat bimbang dan lagi-lagi aku menggunakan hal itu untuk mendorongnya ke sisi tangga dan melihatnya terguling berkali-kali. Eugghhh. Semoga punggungnya tidak apa-apa.

Sebuah suara derap kaki yang berasal dari Ruang Kesenian langsung membuyarkan euphoria kemenangan yang sedang kurasakan. Reaper yang tadi menghadapi Tiffany melewatiku begitu saja dan berusaha menyusul temannya.

“Ya! Kenapa kau tidak menghalanginya?”. Protes Tiffany sambil menunjuk si Reaper. Aku langsung mengangkat kaki kiriku dan raut wajah Tiffany berubah prihatin.

“Mian”. Lanjutnya sambil menatapku khawatir. Aku mendekatinya lalu mengibaskan tangan di depan wajah.

“Gweancana, sepertinya kau yang lebih parah”. Kataku sambil melihat bajunya yang sudah berlumuran darah.

“Nado gweancana, apa kau sudah menelpon ambulans?”. Tanyanya sambil melirik sesosok namja dengan kaki nyaris terpisah dari bagian tubuhnya. Pasti dia yang bernama Thunder.

“Belum, aku lupa bawa ponsel”. Jawabku sambil tersenyum jahil. Dia mendecak sebentar lalu mulai mengeluarkan ponsel dari balik bajunya.

“Jangan lupa telpon polisi”. Tambahku cepat. Tiffany berhenti mengetik nomor rumah sakit dan sebagai gantinya dia menatapku dengan bingung.

“Terpaksa. Begitu ambulans datang, mereka pasti ingin tahu alasan kenapa kita dan namja itu terluka dan ujung-ujungnya? Mereka pasti panggil polisi. Tenang saja, aku punya kenalan polisi, nanti biar aku yang menghubunginya”. Jelasku pada Tiffany. Dia menatapku dengan mengerti dan kembali melanjutkan aktivitasnya menelpon rumah sakit. Setelah beberapa menit lamanya berkutat dengan ponsel aku dan Tiffany langsung masuk kembali ke Ruang Kesenian yang bentuknya sudah…ehmmm tidak beraturan lagi. Sepertinya pertarungan Tiffany tadi lebih seru dari yang kuhadapi.

“Apa kau berhasil melihat wajah si Reaper itu?”. Tanyaku sambil terus melihat sekeliling Ruang Kesenian dengan seksama. Patung-patung hancur berantakan di lantai dan beberapa bercak darah juga terlihat.

“Anio, tapi aku melihat sekilas warna sepatunya. Putih bersih dengan gambar singa, kau sendiri?”. Tanyanya balik sambil menatapku penasaran.

“Eobso, tapi kalau tidak salah rambutnya berwarna putih dan dadanya bidang”. Jawabku santai sementara Tiffany menatapku dengan tatapan aneh.

“Mwoya?”. Tanyaku. Dia mengerjap sekali kemudian menggeleng-geleng. Dasar aneh.

“Sica, lihat ini”. Suara Tiffany tiba-tiba berubah menjadi bisikan. Aku mendekati tempat berdirinya dan mendapati dia sedang menunjuk sebuah lukisan horror ketiga milik Suzy. Lukisan dengan gambar korban yang kakinya di putuskan.

“Sudah tiga…”ucapku pelan sebelum melanjutkan “…tinggal empat”. Aku menatap Tiffany dan sedikit bingung ketika menyadari yeoja itu sedang menatapku dengan khawatir. Dia menggeser posisi berdirinya dan memperlihatkan sebuah kotak kayu yang hanya separuh berisi.

“Seharusnya empat lukisan horror yang lain ada di sini, tapi nggak ada satupun di dalamnya. Mereka sudah mencurinya”. Ucap Tiffany dengan nada datar. Sial. Pantas para pengecut itu langsung lari dan tidak kembali untuk melawan kami lagi ,ternyata dari awal mereka memang berniat mencuri lukisan-lukisan ini?.

-Tiffany

Suara Jessica semakin kecil ketika akhirnya menempatkan telunjuk kanannya di bibir. Ada suara langkah kaki yang berasal dari luar. Dari suaranya yang bersahut-sahutan, pasti orang yang datang lebih dari satu. Tanpa perlu aba-aba lagi aku dan Jessica langsung melesat ke arah pintu. Aku masih memegangi kapak yang tadi kurebut, sementara Jessica memungut sesuatu yang kuketahu sebagai tripod untuk menyanggah lukisan. Kami berdua saling menatap satu sama lain dan mengangguk.

Sebuah sosok muncul di pintu dan Jessica langsung mengayunkan senjatanya dengan ganas. Tapi ternyata sosok itu lebih gesit dan langsung menangkap benda kayu itu dan mencampakkannya di lantai.

“Apa yang kalian lakukan?!”. Bentak Kris dengan mata lebar.

“Kukira kamu lebih cerdas dari ini Tiff”. Sambung Suho dengan nada datar yang membuatku merasa bersalah. Aku hanya bisa menatapnya dengan hati gundah. Sebaliknya di sampingku Jessica yang awalnya tampak shock langsung mengangkat tangan dan menyuarakan apa yang ada di otakku “Kita ketangkap Tiff”.

-Author

“Kalian emang gak bisa di atur ya, kenapa kalian gak bilang kalo mau ke sini?”. Tanya Kris yang sudah membuka kaus tipis miliknya untuk membalut luka di kaki Jessica.

“Untuk apa? Kami juga gak berfikir kalau bakal jadi begini…aww! Kris…sakit”. Jessica berteriak ketika Kris dengan sengaja menguatkan ikatan kausnya. Kris terlihat tidak perduli dengan protes Jessica dan langsung mengalungkan lengan yeoja itu di bahunya.

“Apa kau terluka?”. Tanya Suho pelan kepada Tiffany yang hanya berdiri diam. Tiffany mengerjap sekali lalu balas memandangi Suho.

“A…anio…”.

“Dia bohong”. Potong Jessica sambil melihat ke tempat Tiffany dan Suho berdiri. Suho mengangkat alisnya sedikit lalu mulai memperhatikan Tiffany dengan seksama. Sebuah sobekan halus di sudut baju Tiffany membuat Suho terkejut.

“Tiff”. Ucapnya sambil memandang Tiffany dengan tidak percaya. Tiffany hanya bisa meringis lalu menepis tangan Suho yang berusaha melihat lebih dekat lagi luka di dekat bahunya tersebut.

“Ini bukan urusanmu”. Balas Tiffany sambil menghindari tatapan tajam Suho. Suho tidak bereaksi untuk beberapa saat sampai akhirnya dia menggenggam tangan Tiffany dengan cara halus dan menariknya ke arah depan untuk menyusul Jessica dan Kris.

Langkah keempatnya berhenti ketika Suho dan Kris memperhatikan Thunder yang masih tergeletak tidak sadarkan diri di lantai dengan darah menggenang di bawah tubuhnya.

“Korban”. Kata Jessica menjawab pertanyaan dalam otak Kris dan Suho. Kedua namja itu saling memandang satu sama lain sampai akhirnya Suho hanya mengangkat bahu dan memberi isyarat pada Kris untuk jalan terus.

Setiba di bawah mereka berempat langsung disambut petugas security yang mendapat shift malam bernama Junjin. Beberapa petugas medis juga langsung mengerubungi Jessica dan Tiffany yang memang penuh luka.

“Ada satu lagi di atas, lebih parah”. Ucap Jessica ketika dirinya di angkat ke atas mobil ambulans.

“Ottoke?”. Tanya Junjin dengan muka setengah mengantuk. Kris memberi tatapan dinginnya pada petugas security itu dan berhasil membuatnya lebih ‘segar’.

“Ahjussi, kau tidak mendengar suara ribut-ribut dari atas?”. Tanya Kris dengan nada kesal.

“Anio, biasanya tidak ada yang terjadi”. Jawab Junjin membela diri.

“Seharusnya ahjussi lebih waspada, bukankah tahun lalu ada security yang terluka karena pencurian di ruangan kepala sekolah?”. Ucap Jessica sengit.

“Ne, dulu Junsu adalah teman saya, tapi setelah dia terluka, sekolah tidak mencari penggantinya”. Balas Junjin sambil menerawang.

“Wae?”. Tanya Tiffany tertarik.

“Karena keponakan-keponakannya meninggal”.

-Tiffany

Jawaban Junjin ahjussi tadi menyentakkanku. Keponakan-keponakan?

“Keponakan-keponakannya?”. Ulangku berusaha berbicara dengan nada biasa.

“Mmm, Junsu memang sangat malang. Satu keponakannya meninggal karena jatuh di kolam renang. Yang lainnya meninggal karena bunuh diri. Lebih parah lagi, setelah kejadian-kejadian itu, Junsu berpisah dengan istrinya”.

Chakkaman??!!

Jadi petugas security yang memergoki Kai mencuri adalah paman Krystal dan Jiyeon?. Kenapa semua menjadi rumit seperti ini???. Tiba-tiba saja ingatanku melayang kembali ke malam dimana kami mengorek informasi pada Kai.

*Flashback*

“Apa yang mau kalian lakukan?”. Tanya Kai dengan gugup ketika aku, Jessica, Kris dan Suho mengelilingi dirinya.

“Sekarang lebih baik kau menjawab pertanyaan kami dengan jujur, arasso?”. Tanya Jessica dengan nada dingin sementara Kai masih sibuk berusaha melepaskan cengkraman tangan Kris pada lengannya.

“Arraso, apa yang mau kalian tahu?”. Tanyanya sambil melirik Kris dengan takut.

“Ceritakan yang sebenarnya tentang kematian Krystal dan Jiyeon”. Jawabku cepat. Dia beralih menatapku dan aku membalas tatapannya dengan wajah datar.

“Palli! Ah baiklah, kami akan membuatnya lebih sederhana, kematian Krystal…itu bukan kecelakaan kan?”. Jessica menatap Kai dengan Ice Glare-nya yang terkenal dan berhasil membuat Kai bergidik.

“Ne! Kematian Krystal bukan kecelakaan dan itu semua karena Eunjung”. Aku melirik Jessica sebentar dan mendapati yeoja itu sedang berfikir sebelum akhirnya menyuruh Kai melanjutkan penjelasannya.

“Cuman itu yang aku tahu”.

“Lalu kenapa kau mencuri di kantor Mrs.Kwon?”. Tanyaku sambil bersedekap.

“Jawab jujur!”. Potong Jessica ketika Kai sudah bersiap-siap membuka mulut.

“Jiyeon yang menyuruhku”. Jawab Kai dengan wajah bersimbah keringat dingin.

“Jiyeon?”. Informasi tidak terduga ini langsung membuat telingaku terbuka lebar. Apa hubungan Jiyeon dengan semua ini?.

“Mmm, Jiyeon bilang dia tahu siapa yang menyebabkan kematian Krystal, tapi dia butuh uang, jadi aku mencuri di kantor si Kwon itu”.

*Flashback End*

Sial. Apa-apaan ini? Semua bukti yang kami dapat justru semakin membuat kasus ini semakin rumit.

-Jessica

“Jessica Jung”. Sapa seseorang yang kukenali sebagai Inspektur Yunho. Aku mengangkat tangan sebagai perwujudan salam dan dia hanya tersenyum kecil.

“Inspektur Yunho. Jadi ini polisi yang kamu kenal? Kalo dia sih aku juga kenal Jess”. Celetuk Tiffany yang sudah bersalaman dengan Yunho. Aku mengangkat alis sebentar lalu menaikkan bahu tanda tidak perduli.

“Jadi, siapa di antara kalian yang siap menceritakan kejadian kali ini?”. Tanya Inspektur Yunho dengan nada ringan. Aku melihat Tiffany sudah bersiap membuka mulut.

“Aku saja, ne?”. Potongku cepat. Tiffany kembali menutup mulutnya dan mengangguk kecil kepadaku.

Aku langsung menceritakan semua dari awal. Mulai dari surat kaleng yang dikirim kepada Mrs.Kwon, tujuh lukisan horror milik Suzy, hingga kejadian seru yang tadi aku dan Tiffany alami. Tapi aku melewatkan sesuatu. Aku tidak menceritakan malam poker Mir. Tidak karena mereka sahabatku dan aku tidak mau mereka punya masalah dengan polisi terutama Inspektur Yunho.

“Ah begitu. Arraso. Besok kami akan memeriksa semua nama yang tadi kau sebutkan. Juga mengenai ruangan-ruangan tempat hilangnya siswi bernama Eunjung dan kepala sekolah”. Inspektur Yunho mengetuk halaman buku kecilnya sekali sampai akhirnya memasukkan benda itu di saku jaketnya.

Tiba-tiba otakku mengingat sesuatu.

“Fany~ah”. Panggilku sambil menatapnya dengan mata penuh kemenangan. Aku tahu siapa salah satu Reaper itu.

“Sepatu putih bergambar singa? Aku tahu siapa pemiliknya”.

To Be Continue…

Notes : Akhirnya TBC *digebukkin* Bagaimana? Apa tetap seru? Atau justru membosankan? Sekali lagi maaf jika alur ceritanya sedikit gaje dan terlalu pendek untuk kali ini. Next part mungkin adalah Chapter Final, jadi mohon bersabar. Terima kasih untuk yang sudah menunggu.

13 thoughts on “[FF Freelance] Tujuh Lukisan Horror (Chapter 3)

  1. Fix! Makin kesini makin penasaran makin suka banget sama ff ini,thor!
    Wohoo duo jeti dapet bgt feelnya klo jd detektif gini,dan utk part ini apakah tebakan jessi nanti bener atau meleset ya hmmm cepat dilanjut ya thor,hwaiting!

Leave a reply to kamilia Cancel reply