I’M FINE

I'M FINE (Myungsoo Ver)

Author: Anditia Nurul||Rating: PG-13||Length: Oneshot||Main Characters: (Infinite) L—Kim Myungsoo & You||Additional Character: (Infinite) Sungyeol||Disclaimer: Ini adalah sebuah cerita fiksi. Jika ada kesamaan nama/judul/karakter/tempat/adegan dengan FF lain, hal itu tidak disengaja. The plot is inspirited by Lay’s facts. The character(s) belong to God, himself/herself, his/her parents and his/her agency.||Warning: FF ini sudah diedit, tapi mungkin masih ada typo(s) yang nyempil. (Mungkin) Ada karakter yang OOC. Mohon maaf jika alurnya tidak jelas dan ceritanya membosankan. Don’t like the pairing? Don’t read! Don’t like the plot? Just stop reading and please don’t leave a bashing.||

HAPPY READING \^O^/

Bleeding disorder atau gangguan perdarahan adalah istilah umum untuk berbagai masalah medis yang menyebabkan perdarahan berkesinambungan. Ketika seseorang memiliki gangguan pendarahan mereka memiliki kecenderungan untuk berdarah lagi. Gangguan dapat disebabkan oleh cacat pada pembuluh darah atau dari kelainan pada darah itu sendiri. Kelainan mungkin dalam faktor pembekuan darah atau trombosit.

Pada orang dengan gangguan perdarahan, faktor pembekuan hilang atau tidak bekerja sebagaimana mestinya. Hal ini menyebabkan mereka mengalami pendarahan selama waktu yang lebih lama daripada mereka yang darahnya kadar faktor normal.

Beberapa kelainan perdarahan yang hadir pada saat lahir dan disebabkan oleh kelainan bawaan langka. Lainnya dikembangkan selama penyakit tertentu (seperti vitamin K defisiensi, penyakit hati yang berat) atau perawatan (seperti penggunaan obat antikoagulan atau penggunaan jangka panjang antibiotik). Kelainan perdarahan dapat mencakup hemofilia dan kelainan darah yang sangat langka lainnya.

Hemofilia adalah kelainan perdarahan yang disebabkan adanya kekurangan salah satu factor pembekuan darah. Hemofilia adalah penyakit gangguan pembekuan darah dan diturunkan dari kromosom X. Hemofilia banyak terjadi pada laki-laki karena mereka hanya mempunyai satu kromosom X. Sedangkan perempuan umumnya menjadi pembawa sifat (carrier). Namun, perempuan bisa juga menderita hemofilia jika pria hemofilia menikah dengan carrier hemofilia.

@@@@@

Kau tengah duduk di atas karpet bulu berwarna hijau muda di ruang tengah apartemen tempat kau tinggal selama kau berkuliah di Changsa. Sebuah daerah yang berada di Hunan, China. Ditemani segelas cola di atas meja, sejak satu jam yang lalu wajahmu berhadapan dengan sebuah laptop berwarna hitam yang di sisi kirinya terdapat sebatang modem yang terpasang pada salah satu port USB. Di layar laptopmu terdapat beberapa tab yang terbuka, me-loading beberapa artikel yang satu per satu kau klik dari search engine paling terkenal di muka bumi saat ini.

Raut wajahmu tampak serius setiap kali kau membaca kata demi kata dari artikel yang tertera di layar. Sesekali menggeleng  atau membungkam mulutmu dengan telapak tangan kananmu, tidak percaya atau terlalu terkejut dengan kenyataan yang tertulis di artikel tersebut. Dan usai membaca artikel, raut wajah seriusmu berubah sendu.

                Separah itukah penyakit hemofilia?

                Separah itukah bleed disorder?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul silih berganti di dalam pikiranmu. Dua penyakit yang selama 2 hari terakhir menggelayuti pikiranmu. Dua penyakit yang berkaitan dengan darah dan yang paling mengerikan adalah… kedua penyakit itu ternyata parah.

                Astaga! Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

Dan pertanyaan ketiga itu kemudian muncul di tengah kekalutanmu.

Kau pun meng-klik tombol merah di sudut kanan atas browser berlogo rubah yang kau gunakan untuk mencari artikel-artikel tentang kedua penyakit tersebut. Dan sepersekian detik kemudian, kau bisa melihat sebuah foto yang menampilkan gambar dirimu bersama kekasihmu yang sengaja kau jadikan background desktop-mu.

“Myungsoo~” gumammu sembari menatap lelaki berwajah kalem dengan sepasang mata teduh serta sebuah lesung di pipi kanannya. Perlahan-lahan, kedua matamu mulai berkaca-kaca dan pikiranmu pun kembali pada percakapanmu dengan Sungyeol beberapa hari yang lalu.

@@@@@

Kau berdiri di dekat pohon yang berada di tepi sebuah lapangan yang letaknya tidak jauh dari rumah Myungsoo, lelaki yang menjadi kekasihmu sejak beberapa bulan yang lalu. Kedua matamu memandangi Myungsoo yang tengah memanjat pohon untuk mengambil kock yang tertiup angin sehingga tersangkut di ranting pohon.

Sambil memegang dua buah raket yang salah satunya milik Myungsoo, kau berteriak, “Sedikit lagi, Myungsoo.”

Myungsoo menjulurkan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memeluk erat batang pohon untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. “Aku butuh raket! Tanganku tidak bisa meraihnya,” kata Myungsoo. Bergegas kau menjulurkan raket kepada lelaki itu.

“Ini. Hati-hati.” Raket berwarna ungu itu pun berpindah ke tangan kanan lelaki berambut hitam sedikit kecoklatan itu. Bermodalkan raket di tangannya, Myungsoo memukul-mukul ranting agar kock yang tersangkut itu jatuh.

“Ck! Kenapa tidak mau jatuh!?” Myungsoo mulai kesal karena berkali-kali ia memukul ranting, tapi kock itu ‘stay cool’ di tempatnya. Oh, ayolah, seorang Myungsoo yang notabene manusia dikalahkan oleh ranting pohon? Itu tidak akan terjadi!

“Hei, ranting bodoh! Lepaskan kock itu!” Saking kesalnya, Myungsoo memaki ranting ‘tak bersalah’ itu. Kau terkekeh melihat tingkah Myungsoo. Lelaki itu memukul ranting sekali lagi dan…

“Kau berhasil!” serumu begitu melihat kock tersebut jatuh dan mendarat mulus di atas rerumputan hijau. Kau beranjak memungut benda putih itu, namun tiba-tiba… sebuah suara mengejutkanmu.

“MYUNGSOO! APA YANG BARUSAN KAU LAKUKAN, HAH!?” Kau melihat Sungyeol yang entah sejak kapan berada di sekitar kalian. Dengan wajah paniknya, lelaki itu terburu-buru menghampiri Myungsoo yang baru saja turun dari pohon. Kau terlihat keheranan melihat Sungyeol sepanik itu. Seolah ia baru saja melihat Myungsoo melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, padahal Myungsoo hanya memanjat pohon. Tidak lama kemudian, kau mendengar Sungyeol dan Myungsoo berbicara dalam Bahasa Korea.

Apa yang mereka bicarakan? Kenapa harus menggunakan bahasa milik negara tetangga? Kenapa Sungyeol terlihat begitu marah kepada Myungsoo? Memangnya, apa kesalahan Myungsoo? Lelaki itu hanya memanjat pohon, kan? Bukan memanjat tebing tinggi.

Pertanyaan-pertanyaan itu satu per satu muncul di dalam pikiran ketika kau melihat Sungyeol yang terlihat cemas, sementara Myungsoo menundukkan kepalanya. Sesekali mengangguk dan mengucapkan kalimat dalam Bahasa Korea yang tidak kau mengerti.

Satu hal yang kau sesali saat ini.

                Mengapa dulu aku menolak ajakan Myungsoo untuk mengajariku bahasa dari Negara dia berasal, eoh!?

“Hei! Apa yang kalian bicarakan?” tanyamu, menghampiri kedua lelaki good-looking itu saking penasarannya.

“Tidak apa-apa. Tadi Sungyeol hanya mengatakan kalau ibu kos mencariku. Aku harus segera pulang sekarang,” jawab Myungsoo. Kau menatap Myungsoo, namun seketika lelaki itu mengalihkan pandangannya darimu.

                Benarkah seperti itu yang Sungyeol katakan? Tapi, kenapa aku merasa Myungsoo berbohong padaku? Ah! Apa yang aku pikirkan? Myungsoo tidak mungkin berbohong padaku.

“Aku pulang dulu. Sampai jumpa besok,” pamit Myungsoo.

@@@@@

Kau duduk di bangku penonton lapangan basket di dalam area kampus tempat Myungsoo—juga Sungyeol—menuntut ilmu. Kedua matamu menatap lekat sosok Myungsoo dalam balutan kaos abu-abu longgar dengan celana hitam serta sepasang sepatu basket abu-abu yang mengalasi kakinya. Lelaki itu tampak asik menembakkan bola basket ke dalam ring yang berada beberapa meter di depannya.

Kau bertepuk tangan riang setiap kali Myungsoo berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring. Lelaki ini punya bakat bermain basket. Tapi, kenapa dia tidak memilih untuk bergabung ke dalam tim basket kampusnya? Lagi pula, ia terlihat sangat menyukai olahraga ini.

“Hei!” Seseorang menepuk bahu kirimu, membuatmu terkejut dan sontak mengalihkan perhatianmu dari Myungsoo.

“Ah, Sungyeol! Kau membuatku kaget!” serumu.

Lelaki berambut hitam kecoklatan itu terkekeh, lantas mengambil tempat tepat di sebelahmu. “Sejak kapan dia mulai, hm?” tanyanya sembari melihat ke arah Myungsoo yang tengah bersiap-siap untuk melakukan jump shoot.

“30 menit yang lalu,” jawabmu yakin, masih tetap melihat ke arah Sungyeol. “Sudah selesai latihan sepak bolanya?” tanyamu, menyadari Sungyeol mengenakan pakaian tim sepak bola kampusnya.

“Ya,” jawab lelaki dengan kaos bernomor punggung 10 itu. “Hei, Myungsoo! Three point!” teriak Sungyeol tiba-tiba. Meminta lelaki di tengah lapangan itu untuk menembak bola di posisi three point. Mendengar teriakan itu, Myungsoo yang tadinya tengah fokus membidik ring, lantas mengalihkan perhatiannya ke arah bangku penonton.

Three point!” teriak Sungyeol sekali lagi.

“Sip!” Myungsoo mengacungkan jempol kanannnya, lalu kembali mengambil posisi.

Kau masih menatap Sungyeol yang memandangi Myungsoo di depan sana. Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan pada lelaki berwajah anak kecil itu, tapi… kau juga ragu untuk mengajukan pertanyaan itu. Untuk beberapa puluh detik kau berpikir sambil tetap menatap lelaki itu.

“Hei! Kenapa kau memperhatikanku seperti itu, hm? Apa ada sesuatu yang aneh di wajahku?” tanya Sungyeol tersadar kau terus memperhatikannya. “Atau… sore ini aku terlihat lebih tampan dari Myungsoo, hm?” Kemudian ia terkekeh.

Kau memukul lengannya pelan sebagai ‘hukuman’ untuk kenarsisannya.

“Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padamu.”

Lelaki itu terkekeh. “Kenapa nada bicaramu serius begitu, eoh!? Aku curiga kau ingin mengatakan kalau kau lebih menyukaiku dari pada Myungsoo.”

Kau mendengus. “Aku benar-benar ingin menanyakan sesuatu yang penting padamu, Sungyeol!”

Sungyeol menghela nafas. “Ya. Maaf. Apa yang ingin kau tanyakan, eoh!?” Sungyeol mulai mengikuti keinginanmu.

“Mengenai kejadian beberapa hari yang lalu,” jawabmu. “Kejadian saat Myungsoo memanjat pohon, lalu kau datang memarahinya. Lantas, kalian berdua berbicara dalam Bahasa Korea,” jelasmu. “Apa yang kalian bicarakan?” tanyamu penasaran.

Sungyeol terdiam. Ia mengalihkan pandangan ke arah Myungsoo yang berlari ke sudut kanan lapangan untuk mengambil bola setelah beberapa saat lalu ia gagal mencetak three point. Sedetik kemudian, Sungyeol menghela nafas. “Myungsoo dipanggil oleh ibu kosnya,” jawab Sungyeol, mengikuti jawaban yang diberikan Myungsoo padamu tempo hari.

“Bohong!” ucapmu mantap. Sukses membuat lelaki itu membulatkan kedua matanya. Terkejut. “Pasti bukan karena hal itu, kan?” tudingmu.

“Aku tidak bohong. Tanyakan saja pada ibu kos Myungsoo kalau kau tidak percaya.”

“Kau mengatakan hal itu karena tahu kalau aku tidak mungkin pergi ke rumah Myungsoo, lantas bertanya pada neneknya untuk memastikan apa benar ia mencari Myungsoo hari itu, bukan?”

Sungyeol menghela nafas sekali lagi. “Terserah kalau kau tidak percaya.”

“Lantas, kenapa kau dan Myungsoo berbicara dalam Bahasa Korea? Kesannya, kalian berdua membicarakan hal yang tidak ingin kalian perdengarkan padaku,” tudingmu sekali lagi.

“Aku sengaja berbicara dalam Bahasa Korea agar Myungsoo tidak lupa bahasa dari Negara ia berasal,” kilah Sungyeol.

Kau menghela nafas. “Begitu?” tanyamu masih meragukan jawaban Sungyeol.

“Ya.”

“Baiklah,” jawabmu sembari menundukkan kepalamu. Sejujurnya, kau masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan Sungyeol. Hal yang mereka bicarakan beberapa hari yang lalu bukan tentang nenek Myungsoo. Ada sesuatu yang lebih penting dari itu mengingat bagaimana raut wajah Sungyeol yang terlihat begitu tegang ketika menghampiri Myungsoo.

“Aku mau pulang,” katamu, bangkit dari dudukmu. Melihat ke arah Sungyeol yang kembali memandang Myungsoo.  “Kau bisa menunggu Myungsoo sampai ia selesai, kan?”

Tepat di saat kau bersiap untuk beranjak, Sungyeol mencegatmu. “Tunggu!” katanya.

“Ya?” Kau menoleh ke arah Sungyeol.

“Kau benar,” kata Sungyeol, masih melihat ke arah Myungsoo yang masih asik dengan benda bundar yang terbuat dari kulit itu. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba membenarkan kecurigaanmu. “Yang aku dan Myungsoo bicarakan tempo hari bukan tentang ibu kos Myungsoo.”

                Sudah kuduga.

“Lantas, tentang apa?” tanyamu. Pernyataan Sungyeol menggelitik rasa ingin tahumu.

Lelaki yang memakai pakaian seragam tim sepak bola itu menepuk bangku tempat dimana kau duduk beberapa saat lalu sebagai isyarat ia memintamu untuk kembali ke tempat itu, barulah ia menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.

Begitu kau duduk, Sungyeol menoleh ke arahmu. “Sebenarnya, Myungsoo melarangku untuk mengatakan hal ini padamu. Tapi…, setelah aku pikir, cepat atau lambat, kau pasti akan mengetahui seperti apa kondisi tubuh Myungsoo yang sebenarnya.”

Kerutan muncul di dahi mulusmu. “Maksudmu?”

“Myungsoo menderita penyakit.”

“Ha?”

Lelaki itu sudah menduga kau akan terkejut. Bagaimana mungkin seorang lelaki yang saat ini terlihat sehat, bahkan lompat-lompatan dan melempar bola, ternyata mengidap penyakit. Belum lagi, kau tahu, selain bola basket, Myungsoo juga suka dance.

Ayolah. Sungguh tidak masuk akal jika seseorang yang sangat aktif melakukan kegiatan fisik, ternyata mengidap suatu penyakit.

“Kau pernah mendengar tentang penyakit hemofilia?” tanya Sungyeol.

Kau terdiam. Hemofilia? Nama yang cantik untuk sebuah penyakit. Tapi, tidak mungkin kau mengucapkan hal itu di depan Sungyeol mengingat mimik wajah lelaki itu terlihat sangat serius. Kau kembali memfokuskan pikiranmu, mengingat dimana kau pernah mendengar nama penyakit itu.

“Eum… ya, kalau tidak salah… penyakit itu… penyakit yang berhubungan dengan darah, kan?” tanyamu memastikan.

“Tepatnya, penyakit dimana darah sulit untuk membeku.” Sungyeol memperjelas.

“Lalu…, apa hubungannya dengan Myungsoo?” tanyamu polos. Oh, ayolah. Kau belum mengerti? Kau masih ingin mendengar penjelasan Sungyeol?

“Myungsoo menderita penyakit itu.”

Bagaimana? Sudah jelas.

“Be-benarkah?”

Oke, sepertinya sudah jelas.

Sungyeol mengangguk. “Myungsoo menderita hemofilia sejak lahir. Kau tahu kan kalau penyakit itu adalah penyakit turunan!? Darah Myungsoo sulit membeku. Karena itu, jika ia terluka, besar kemungkinan ia mengalami pendarahan.”

Mulutmu terbuka. Sungguh tidak percaya dengan apa yang dikatakan Sungyeol. Tapi, mau tidak mau, kau harus mempercayai apa katanya. Lelaki ini sudah lebih dari 10 tahun mengenal Myungsoo. Waktu yang sangat lama.

“Ja-jadi, waktu itu kau memarahinya karena—”

“Karena aku takut dia terluka. Ia memanjat pohon, ada kemungkinan ia terjatuh, kan? Kalau sudah begitu, ada kemungkinan ia akan terluka,” jelas Sungyeol.

Kau terdiam. Terlalu terkejut dengan kenyataan. Namun Sungyeol terus saja menjelaskan apa yang sebenarnya dialami oleh Myungsoo.

“Masih ada 1 lagi,” kata Sungyeol.

Ha? 

“Darah Myungsoo merupakan jenis darah yang langka. Dia tidak bisa sembarang menerima transfusi darah.”

“A-Apa?” Kau semakin terkejut.

Terbayang di dalam pikiranmu bagaimana Myungsoo harus berhati-hati seumur hidupnya untuk menjaga diri agar tidak terluka. Karena, sekali ia terluka, bisa saja ia mengalami pendarahan hebat. Dan jika itu terjadi, tentu saja ia membutuhkan transfusi darah. Dua kali lebih parah mengingat satu fakta bahwa… darah Myungsoo merupakan jenis yang langka.

                Oh, God.

Kau tidak tahu harus berkata apa.

“Tolong jangan katakan pada Myungsoo bahwa aku yang menceritakan semua ini padamu. Dia akan sangat marah padaku jika sampai ia tahu. Aku pernah berjanji tidak akan menceritakan hal ini padamu, pinta Sungyeol. “Kau… bisa berjanji padaku, kan?”

Kau menatap Sungyeol, lantas mengangguk pelan.

“Tolong bersikap seperti biasa jika kau bersama Myungsoo. Anggap percakapan kita tadi tidak pernah terjadi, mengerti?”

Dan kau mengangguk lagi.

@@@@@

“Ting… tong….”

Suara bel itu membawamu kembali ke alam nyata setelah kau puas mengingat percakapanmu dengan Sungyeol. Bergegas kau beranjak dari karpet bulu yang lembut itu, berlari pelan ke arah pintu depan apartememu.

“Ting… tong….”

Tamumu sepertinya tidak sabaran.

“Tunggu sebentar,” katamu memalui intercom yang terpasang di dekat pintu. Cepat kau memutar kunci, lalu membuka pintu. Sepersekian detik kemudian, lelaki dengan lesung di pipi kanannya berdiri tegap di depanmu.

“Kenapa lama sekali membuka pintunya?” tanyanya. “Apa kau sibuk, hm?”

Kau tidak langsungmenjawab pertanyaannya. Malah memperhatikan lelaki itu heran. Sebuah kantung kertas berisi bahan makanan yang dipeluknya dengan tangan kiri menarik pandanganmu. Untuk apa dia membawa itu semua?

“Kau ingat 2 hari yang lalu kau memintaku untuk mengajarimu memasak, kan? Aku datang ke sini untuk itu,” jelas lelaki itu, Myungsoo, seolah tahu apa yang sedang kau pikirkan.

“Ah, ya. Aku lupa,” gumammu. Tentu saja kau lupa. Dua hari belakangan ini yang kau pikirkan adalah hemofilia dan bleed disorder. “Ayo, masuk,” katamu kemudian.

Buru-buru kau melangkah memasuki apartemenmu. Meninggalkan Myungsoo yang tengah mengganti sepatunya dengan sandal rumah yang berada di lemari sepatu di dekat pintu. Lelaki itu tampak bingung melihat tingkahmu.

“Uh? Berantakan sekali~” ujar Myungsoo begitu ia tiba di ruang tengah. Mendapati kau sibuk membereskan beberapa buku tentang hemofilia yang kau pinjam di perpustakaan kemarin yang kau letakkan di atas meja. Kau juga bergegas meng-turn-off-kan laptopmu.

“Biasa. Tugas,” kilahmu.

Kening Myungsoo berkerut.

Tugas? Hei! Bukankah sejak 2 minggu yang lalu kau libur semester? Lantas, kenapa sekarang ada tugas? Dosen macam apa yang memberikan tugas kepada mahasiswanya di saat libur? Aneh!

“Oh~” Namun hanya satu kata ini yang dikeluarkan Myungsoo dari mulutnya. Tidak ingin menanyakan alasan mengapa kau membohonginya.

“Kalau begitu, aku ke dapur duluan~” sahut Myungsoo.

“Oh, ya, silakan~”

Myungsoo menggidikkan bahunya, lantas mengayunkan kakinya menuju dapur.

Beberapa saat kemudian, setelah kau menyembunyikan buku-buku tentang hemofilia itu di bawah tempat tidur di kamarmu, kau menyusul Myungsoo ke dapur. Lelaki itu—dengan tubuh yang dibalut baju rajut berwarna hijau muda yang lengannya digulung hingga lipatan siku—sedang memotong-motong wortel ketika kau menghampirinya.

Perasaanmu terusik. Kalau tidak hati-hati, bisa saja Myungsoo tidak sengaja mengiris jarinya. Kalau sudah begitu… ya kau tahu apa yang akan terjadi. Sontak, kau menegur Myungsoo. “Hei! Apa yang kau lakukan? Biar aku yang memotong-motong sayuran!” ujarmu cemas sembari merebut pisau tajam itu dari tangan kanan Myungsoo.

“Tapi—” Myungsoo hendak menyelesaikan apa yang dimulainya.

“Sudah. Kau lakukan yang lain saja. Cuci sayuran atau apa. Pokoknya, jangan menyentuh pisau atau benda tajam lainnya, mengerti?” tegasmu, terlihat seperti seorang ibu yang melarang anaknya bermain-main di dapur.

Myungsoo mundur beberapa langkah dari tempatnya. Memperhatikanmu yang kini menyelesaikan apa yang ia mulai. Terlintas di benaknya bahwa kau sudah tahu tentang penyakit yang dideritanya. Namun, buru-buru ia membuang pikiran itu. Tidak mungkin kau tahu tentang penyakitnya. Tidak mungkin Sungyeol atau keluarganya mengatakan hal itu padamu.

Akhirnya, Myungsoo memutuskan untuk mendidihkan air.

Honey,” panggilnya.

“Ya?”

“Kau ingat besok hari apa?”

Kau berpikir. Hari ini hari Rabu. “Hari Kamis,” jawabmu yakin dan terkesan polos.

Myungsoo tersenyum maklum. “Aku tahu besok hari Kamis,” katanya.

“Lantas, kenapa kau bertanya?”

“Besok tanggal 1 Maret.”

“Terus?”

Kau masih tidak mengerti.

“Besok hubungan kita genap 6 bulan,” ucap Myungsoo.

Oh, astaga. Bahkan untuk hal seperti itu, Myungsoo mengingatnya. Betapa perhatiannya lelaki ini.

“Ah, ya. Kenapa aku bisa lupa.” Kau menepuk dahimu.

“Lucu sekali kau melupakan hal itu. Padahal, biasanya kau yang mengingatkan sudah berapa lama hubungan kita.”

“Ah, ya, maaf. Belakangan ini ada banyak yang aku pikirkan. Jadi, aku ti—AKKH!” Tanpa sengaja kau mengiris jari telunjukmu. Lekas kau menghisap darah yang keluar dari luka tersebut.

“Hei, kau tidak apa-apa?” Myungsoo menghampirimu. Jelas sekali ia terlihat cemas.

“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,” jawabmu setelah menghisap darah yang keluar. Kau lantas bergerak ke arah wastafel, mencuci jemarimu yang terluka di bawah guyuran air bersih yang mengalir. Untuk beberapa detik, kau bersyukur dirimu yang teriris pisau, bukan Myungsoo.

“Sini, aku obati.” Myungsoo menghampirimu dengan kotak obat di tangannya. Entah kapan ia mengambil benda itu. Lelaki itu memintamu menjulurkan jarimu yang terluka, sementara ia mengoleskan cairan antiseptic pada luka itu, kemudian membalutnya dengan plester luka bergambar kartun doraemon.

“Sudah merasa lebih baik, kan?”

Kau mengangguk.

“Ya, sudah. Kau duduk saja. Biar aku yang lanjutkan.”

Apa?

“Jangan! Tidak usah!” cegahmu.

Myungsoo menatapmu heran. “Kenapa? Tinggal sedikit. Lagi pula, setelah sayur-sayur ini dipotong, tinggal direbus dan diberi bumbu,” katanya.

“Tidak usah. Lebih baik kita pesan makanan cepat saji saja. Aku sudah tidak mood untuk belajar memasak.”

“Tapi, sayur-sayuran ini…” Myungsoo menunjuk sayur-sayuran yang sudah terlanjur dibelinya. Merasa sayang jika bahan makanan itu dibiarkan begitu saja.

“Nanti aku simpan di kulkas,” katamu.

Myungsoo menghela nafas sejenak, lalu mengangguk. Pasrah akan keputusan yang kau buat. Lelaki itu kemudian mengikutimu berjalan keluar dari dapur menuju ruang tengah. Di ruangan dengan karpet bulu itu, Myungsoo duduk di sebelahmu, memperhatikan kau yang menelepon salah satu restoran cepat saji.

“Hari ini kau terlihat aneh,” pikirnya.

@@@@@

Keesokan harinya, di saat jarum jam menunjuk angka 7, Myungsoo sedang bermain bola basket di halamannya rumah kos tempat ia tinggal selama mendapat beasiswa di China. Sekedar men-dribble si bola orange dengan garis-garis hitam itu atau latihan memutar si orange itu di atas jari telunjuk untuk gaya-gayaan. Earphone putih yang terhubung dengan handphone dengan aplikasi MP3 yang sedang memutar lagu Lockout Of Heaven-nya Bruno Mars menemani lelaki itu.

“Dung… dung… dung…”

Suara bola yang dipantul-pantulkan di atas lantai semen yang sedikit kasar itu menyelimuti suasana pagi yang cukup sepi. Myungsoo terlihat sangat asik melewati paginya itu dengan si bola orange. Hal yang cukup sering dilakukannya beberapa hari belakangan selama libur kuliah.

“Hei!”

Suara itu terdengar oleh telinga Myungsoo di sela-sela suara Bruno Mars. Lelaki berkaos oblong hitam itu menghentikan kegiatannya,  melepas earphone dari telinganya, lalu menoleh ke asal suara.

Oh, Sungyeol.

Ternyata dia yang memanggil Myungsoo. Entah sejak kapan lelaki itu berdiri di sambil menyandarkan tubuhnya pada tembok pagar rumah Myungsoo. Tidak lama kemudian, Sungyeol menghampiri Myungsoo, merebut bola basket dari lelaki itu seraya berkata, “Mau bertanding melawanku?”

“Hei! Pemain sepak bola tidak usah sok ingin bermain bola basket. Ini bukan ‘lahanmu’, Yeolie!” balas Myungsoo dengan nada bercanda. Sungyeol terkekeh.

“Kita lihat saja, Myungie.”

Dan kedua lelaki itu pun memulai pertandingan one on one.

Tiga puluh menit kemudian, seperti yang sudah Myungsoo duga, dengan mudah ia mengalahkan pemain-sepak-bola-yang-mencoba-menjadi-pemain-bola-basket yang menantangnya. Myungsoo dan Sungyeol lantas duduk melantai di teras untuk beristirahat.

“Hah~ lelah~” Sungyeol mengatur nafasnya.

“Kubilang juga apa,” celetuk Myungsoo.

“Ya, ya, aku tahu,” balas Sungyeol sedikit kesal. “Oh, ya, kemarin aku mencarimu, tapi kata bibi kau sedang ke rumah kekasihmu,” kata Sungyeol mengalihkan pembicaraan.

“Oh, ya. Kemarin aku ke apartemennya. Dia meminta aku mengajarinya memasak,” jelas Myungsoo. “Tapi, kemarin… tingkahnya sedikit aneh.”

Sungyeol mengernyit. “Aneh? Maksudmu?”

“Ya… dia melarangku memotong sayuran, dia melarangku mengupas apel, dia melarangku menyentuh benda-benda tajam atau apapun yang bisa melukaiku seolah-olah… dia tahu kalau aku… mengidap hemofilia.”

Seketika, raut wajah Sungyeol menegang. Ia nampak sedikit gelisah. Sudah kubilang pada gadis itu untuk bersikap biasa pada Myungsoo. Kenapa dia—aish!

“SUNGYEOOOOLLL!!!” Suara teriakan seorang wanita paruh baya yang berasal dari rumah bercat krem di sebelah kanan rumah Myungsoo terdengar.

“Ah! Ibuku memanggilku. Aku harus pulang,” kata Sungyeol panik, lalu berdiri dari duduknya. Namun…

“Tunggu!” Myungsoo mencegatnya.

“Ya?” Sungyeol menundukkan kepalanya untuk melihat Myungsoo yang masih duduk di lantai.

“Kau… tidak memberitahu dia tentang penyakitku, kan?” tanya Myungsoo, mendongakkan kepalanya agar bisa melihat wajah Sungyeol.

Sungyeol terdiam untuk beberapa detik, lalu menjawab, “Tidak. Aku tidak memberitahunya.”

                Apa yang aku katakan barusan?

“Oh, ya. Maaf aku mencurigaimu.”

Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, Myungsoo. Maaf karena aku telah berbohong.

Sungyeol mengangguk pelan, lalu beranjak pergi dari rumah Myungsoo.

@@@@@

Myungsoo mendapati handphone-nya berdering ketika ia baru saja selesai mandi. Dengan tubuh yang shirtless, lelaki itu berjalan menuju meja belajar tempat ia meletakkan handphone-nya yang masih berdering. Melihat namamu yang tertera di layar, bergegas ia menjawab.

“Ya, halo?”

“Kau sedang apa, hm?” tanyamu di seberang.

Myungsoo yang saat ini duduk di tepi tempat tidurnya menjawab, “Baru saja selesai mandi. Kenapa?”

“Bagus. Aku mau mengajakmu jalan-jalan hari ini untuk merayakan 6 bulan hubungan kita. Bagaimana? Kau… tidak sibuk, kan?”

“Eum… baiklah,” ucap Myungsoo singkat.

“Kalau begitu, aku tunggu di halte dekat apartemen 30 menit lagi. Oke?”

“Oke.”

Usai memutuskan panggilanmu, Myungsoo bergegas membalut tubuhnya dengan kaos biru muda lengan panjang yang ia padu dengan vest motif tartan serta skinny jeans hitam. Lelaki itu mematut dirinya sejenak di depan cermin, merapikan rambut hitam kecoklatan miliknya. Setelah semuanya terlihat rapi, barulah lelaki itu beranjak menuju halte di dekat apartemenmu.

Sementara itu, kau baru saja keluar dari bangunan apartemenmu. Berjalan menuju halte yang berada sekitar 100 meter di sebelah kanan apartemen. Kau terlihat manis dengan loose blouse longgar berwarna kuning pucat dengan bawahan legging hitam sepanjang lutut serta flat shoes berwarna senada. Mini bag berwarna cokelat dengan tali tersampir menyilang di tubuh mungilmu.

“Hmmh~”

Kau menghela nafas lega begitu kau tiba di halte. Hanya ada beberapa orang yang berada di tempat itu. Seorang ibu muda dan putranya yang duduk di bangku halte, seorang pria berjaket kulit dan seorang laki-laki dengan potongan poni lemparnya Justin Bieber.

“Hei!” Kau mengalihkan pandanganmu kepada seseorang yang menepuk bahumu.

“Ah, Myungsoo.” Kau tersenyum mendapati lelaki bermata tajam itu sudah tiba di tempat kalian berjanji untuk bertemu.

“Sudah lama?” tanyanya.

“Tidak. Aku baru saja tiba.”

“Kita mau kemana?” tanyanya, lalu tersenyum. Oh, God! Kenapa dia sangat tampan dengan sepasang mata juga senyuman itu?

“Eum… taman,” jawabmu.

Sambil bergandengan tangan, kau dan Myungsoo berjalan meninggalkan halte menyusuri trotoar menuju taman di dekat apartemen. Jari jemarimu terselip di antara jari jemari lelaki berlesung pipi itu. Bibir mungilmu tak henti berceloteh mengenai apa saja yang telah kau dan Myungsoo lalui selama 6 bulan ini.

Setibanya di taman, kau dan lelaki itu duduk di sebuah bangku. Masih melanjutkan obrolan yang kalian mulai sejak di perjalanan tadi. Sesekali kau dan Myungsoo tertawa, saling mencubit pipi dan hidung satu sama lain.

“Hei!” panggilmu. Myungsoo menoleh ke arahmu. “Bagaimana kalau kita main truth or dare?

Truth or dare?” Myungsoo menatap bingung.

Kau mengangguk. “Iya, truth or dare. Kau pernah dengar permainan itu, kan?”

“I-Iya,” jawab Myungsoo terkesan ragu. “Tapi, kau… mau memainkan permainan itu di sini?”

“Tentu saja. Kau mau, kan?”

“Eum… eung… baiklah~” pasrah Myungsoo.

Kau dan lelaki itu melakukan gunting, batu dan kertas untuk menentukan siapa yang pertama kali bermain. Sialnya, untuk putaran pertama ini kau kalah.

“Haha… kau kalah. Sekarang kau mau pilih apa? Truth or dare?”

“Eum… dare!” pilihmu.

Myungsoo terkekeh. Lelaki ini sudah memikirkan apa tantangan yang akan dia berikan padamu. “Karena kau memilih dare, aku mau kau berdiri di tepi kolam itu,” Myungsoo menunjuk kolam yang berada tepat di tengah taman, “sambil meneriakkan kalimat ‘Myungsoo wo ai ni’.”

“Apa? Tapi, sekarang kan sedang banyak orang, Myungsoo.”

“Aku tidak mau tahu.” Myungsoo tersenyum jahil. “Kau yang mengajakku bermain permainan ini, kan!? Dan kau sendiri yang memilih ‘dare’.” Lelaki itu kemudian terkekeh.

“Hei, kau mengerjaiku?”

“Tidak,” jawab Myungsoo polos. “Aku hanya memberimu tantangan.”

Kau mendengus. “Baiklah. Aku akan melakukan apa yang kau minta, Kim Myungsoo.”

Dengan langkah tegas kau berjalan ke arah kolam yang berada beberapa meter di depan bangku tempat Myungsoo duduk memperhatikanmu.  Kau naik ke tepi kolam, berdiri sambil memandang sekitarmu. Banyak orang yang berada di sekitarmu dan satu per satu di antara mereka mulai memperhatikanmu.

                Oh, God. Make me invisible now.

Kau menjerit dalam hati, meminta Tuhan menghilangkanmu. Atau setidaknya, kau memiliki kekuatan membuat dirimu tidak nampak seperti tokoh Violet dalam film The Incredibles. Kenyataannya, kau adalah manusia biasa yang tidak memiliki kekuatan super.

Kau melihat ke arah Myungsoo. Lelaki itu mempersilakanmu melakukan apa yang ia perintahkan.

                Kim Myungsoo, tunggu pembalasanku.

“Ehm… Ki… ehm… Kim…” Kau mengetes volume suaramu, lalu… “KIM MYUNGSOO, WO AI NI!!!”

Selamat! Kau berhasil menjadi pusat perhatian orang-orang di taman.

Myungsoo tertawa melihat kau berlari menghampirinya sembari menundukkan wajahmu. Tidak sanggup memperlihatkan wajah yang memerah itu kepada orang-orang yang masih menjadikanmu pusat perhatian mereka.

“Aish! Memalukan!” gerutumu begitu kau duduk di sebelah Myungsoo. Lelaki berlesung pipi itu masih tertawa. “Tertawalah sepuasmu, Kim Myungsoo!”

“Hahaha… kau tidak lihat semua orang memperhatikanmu sekarang… hahaha.”

Kau mendengus. “Sudah cukup. Sekarang lanjutkan permainan kita,” tegasmu, membuat Myungsoo meredam tawanya.

“Hah~ baiklah. Baiklah. Maaf. Ayo, mulai!”

“Gunting, batu, kertas!” ucapmu dan Myungsoo bersamaan.

“Batu mengalahkan gunting! Yeah! Aku menang!” serumu. Pintu ‘balas dendam’ sepertinya mulai terbuka. Hahahaha. “So, truth or dare, Kim Myungsoo?” tanyamu dengan nada menantang.

Truth!” jawab Myungsoo mantap.

Kau terdiam. Uh! Kenapa dia tidak memilih dare? Dia sudah belajar dari kesalahanku rupanya. Dan sekarang dia memilih truth. Truth. Truth. Truth. Kebenaran apa yang ingin aku ketahui dari lelaki ini, ya? Truth. Ah, aku tahu!

“Karena kau memilih truth, aku mau bertanya sesuatu padamu,” ujarmu.

“Silakan,” ucap Myungsoo santai.

Kau menatap lelaki berwajah polos itu tepat di kedua matanya. “Apa ada sesuatu kau rahasiakan dariku?”

Myungsoo sedikit tersentak mendengar pertanyaanmu. Sesuatu yang ia rahasiakan darimu tentu saja adalah penyakit yang dideritanya. Tapi, dia tidak ingin mengatakan hal itu padamu, meski pada kenyataannya kau sudah tahu. Dia tidak mau membuat cemas.

Sementara itu, kau berharap akan mendengar penjelasan tentang penyakit hemofilia itu langsung dari Myungsoo. Untuk beberapa saat, kau merasa tepat mengajak Myungsoo memainkan  truth or dare.

Myungsoo menghela nafas.

                Ini saatnya.

“Sebenarnya…, aku…” Myungsoo membuat jeda di antara kalimatnya.

Ya, Myungsoo. Katakan apa yang kau rahasiakan dariku. Katakan tentang penyakitmu. Aku ingin mendengarnya langsung darimu.

“Aku… menjadi kekasihmu karena disuruh.”

“A-APA?” Kau terkejut. Alasan pertama yang membuatmu terkejut, ternyata Myungsoo tidak membicarakan tentang penyakitnya. Alasan kedua, alasan yang paling dominan, ternyata… selama ini… Myungsoo tidak tulus menjadi kekasihmu. Dia menjadi kekasih karena disuruh. Astaga! Katakan bahwa hal itu hanyalah omong kosong. “K-Kau… kau… disuruh oleh siapa?” tanyamu dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

                Jadi, selama 6 bulan ini, Myungsoo tidak tulus mencintaiku. Selama 6 bulan ini, Myungsoo tidak tulus menyayangiku. Dia melakukan semua itu karena disuruh oleh seseorang. Betapa bodohnya aku. Kenapa aku tidak menyadari hal ini?

“Aku… aku disuruh oleh… hatiku.” Myungsoo tersenyum jahil.

Oh, ayolah Kim Myungsoo, kenapa kau malah menggombal di saat kekasihmu tengah serius.

“Aish! Kau menyebalkan!” Kau memukul lengan lelaki itu, berharap ia kesakitan—walau sebenarnya tidak. Lelaki itu berusaha menghindar, namun kau tetap berusaha untuk ‘menghukum’ kejahilannya hari ini.

“Ahahah… akh… ampun… ampun,” ucap Myungsoo disela-sela ia menghindari pukulanmu.

“Hari ini kau sangat menyebalkan, Myungie!”

Kau masih memukul-mukul lelaki itu tanpa ampun. Sementara yang dipukul masih berusaha menghindar sambil tertawa, CATAT: SAMBIL TERTAWA! Sungguh, pukulan-pukulanmu bagaikan pijitan di lengannya. Setelah ini, sebaiknya kau berlatih tinju untuk memastikan Myungsoo benar-benar  merasakan ‘pukulanmu’. Tapi, tiba-tiba…

“DUUUNG~”

“AKH!”

Sebuah bola tenis yang digunakan oleh sekelompok anak laki-laki yang tengah bermain lempar tangkap di sekitar kalian, mengenai dahi Myungsoo.

“Astaga! Kau tidak apa-apa? Kau baik-baik saja?” panikmu, berhenti memukuli Myungsoo, lalu memeriksa dahinya. Memastikan tidak ada luka sekecil apapun yang berada di situ.

“Sudah. Sudah. Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,” sahut Myungsoo mencoba menenangkanmu.

“Syukurlah. Aku takut kau terluka,” lirihmu. Kau lantas menoleh ke arah sekelompok anak yang terlihat ketakutan itu. “HEI! KALIAN HARUS HATI-HATI KALAU BERMAIN, MENGERTI? APA JADINYA KALAU DIA TERLUKA, HAH? DASAR ANAK-ANAK NAKAL!” gerammu. Anak-anak itu lantas kabur tanpa mengambil bola kastinya yang berada di dekat kaki bangku tempat kau dan Myungsoo duduk.

“Hei! Hei! Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Kenapa kau seperti itu, hm? Lihat, mereka semua lari ketakukan karena kau memarahi mereka.”

Kau menatap Myungsoo. “Mereka nakal! Untung saja tidak terjadi apa-apa padamu,” ujarmu membela diri.

Myungsoo menghela nafas. “Tapi, sikapmu tadi terlalu berlebihan. Kepalaku hanya terkena bola kasti, bukan peluru. Lagipula, rasa sakitnya sudah hilang. Aku baik-baik saja. Tidak usah cemas, hm?”

Kau menghela nafas. “Hmm… maaf, kau sudah melihatku seperti tadi. Aku tidak bermaksud untuk menakuti anak-anak itu.”

“Tidak apa-apa. Aku mengerti.”

“Sebaiknya kita pulang. Tempat ini terlalu berbahaya.”

Myungsoo menatapmu sesaat. “Baiklah.”

@@@@@

Kau dan Myungsoo masuk ke dalam apartemenmu dengan sebuah kotak kue  berukuran sedang yang dibawa oleh Myungsoo. Kue yang kau beli di sebuah toko di dekat taman. Lelaki itu mengikutimu hingga tiba di ruang makan, meletakkan kotak itu di atas meja. Sementara itu, kau masuk ke ruang kecil yang berada di dekat ruang makan—dapur—untuk mengambil dua buah piring kecil, dua buah garpu serta sebuah pisau kue.

“Woaaah~ kelihatannya enak sekali~” gumammu setelah Myungsoo membuka penutup kotak kue tersebut. Sebuah tart berukuran sedang dengan banyak potongan buah ceri merah di atasnya terlihat sangat menggiurkan.

“Ya. Sepertinya enak,” setuju Myungsoo.

Kau meletakkan piring, garpu dan pisau kue itu di atas meja, kemudian kembali ke dapur untuk membuat dua gelas minuman dingin. Setelah itu, kau kembali ke ruang makan dimana Myungsoo dan kue tart itu menunggumu.

“Oke, sebelum memotong kuenya, aku mau kita berdua membuat permohonan dulu,” pintamu. Myungsoo menyanggupi permintaan sederhanamu itu. Lantas, beberapa detik kemudian, “Waktunya memotong kue~~~” serumu riang.

Tangan kananmu yang memegang pisau mulai memotong kue tart berbentuk bundar itu, lalu memindahkannya ke piring kecil yang sudah kau persiapkan. Setelah dua potong kue berada di atas kedua piring, kau memberikan satu piring tersebut kepada lelaki berlesung pipi yang sejak tadi diam memperhatikanmu.

“Selamat hari jadi yang ke-6 bulan~” ucapmu, lalu tersenyum.

Myungsoo menerima kue itu. “Selamat hari jadi yang ke-6 bulan~” balasnya.

Kau dan Myungsoo kemudian menikmati kue tart dengan banyak potongan ceri di atasnya itu sambil sesekali diselipi canda tawa di antara kalian. Waktu yang telah berlalu selama 6 bulan terasa begitu cepat. Kau bahkan masih mengingat setiap detil ketika Myungsoo memintamu menjadi kekasihnya 6 bulan yang lalu.

“Ah, tunggu!” ucap Myungsoo ketika kau hendak menyuapkan sepotong kecil kue tart ke dalam mulutmu. “Ada krim di sudut bibirmu~” Myungsoo menjulurkan tangan kanannya, berniat menghilangkan krim itu dari wajah cantikmu, namun tanpa sengaja ia menyenggol gelas minuman miliknya dan…

“PRAAANG!”

Gelas itu jatuh, lalu pecah.

“A-astaga!” Kau dan Myungsoo terkejut.

“Maafkan aku. Aku tidak sengaja,” sesal Myungsoo. Lelaki itu beranjak dari kursinya, hendak memungut pecahan gelas yang berserakan di sekitarnya, tapi…

“BERHENTI!” cegahmu. Myungsoo mengurungkan niatnya, lantas melihat ke arahmu.

“Ada apa?” tanyanya polos.

“Jangan sentuh pecahan itu. Biar aku yang membersihkannya,” katamu, bergegas beranjak menuju dapur, lalu kembali ke ruang makan dengan membawa sendok sampah dan sapu ijuk.

Kau berjongkok di dekat ‘lokasi kejadian’, memindahkan pecahan-pecahan besar gelas yang ukurannya agak besar ke sendok sampah. Myungsoo ikut berjongkok di dekatmu, tangan kanannya terulur untuk memindahkan sebuah pecahan gelas yang berada di dekatnya, namun…

“SUDAH KUKATAKAN JANGAN MENYENTUH PECAHAN ITU, MYUNGSOO!” bentakmu. Kau menatap lelaki itu dengan perasaan kesal bercampur cemas. “Sebaiknya kau menjauh. Ini terlalu berbahaya untukmu,” katamu pelan.

Myungsoo memperhatikanmu sesaat. Sangat terkejut karena tadi pertama kalinya kau membentak dirinya. Terlintas di pikirannya bahwa kau benar-benar sudah tahu tentang penyakit yang di deritanya, namun… ia juga mengelak pemikiran itu.

Sayangnya, kedua persepsi tersebut seperti bertarung dalam pikirannya. Di satu sisi, Myungsoo khawatir kau sudah mengetahui tentang hemofilia dan bleed disorder-nya, namun di sisi lain, ia juga yakin bahwa kau tidak mungkin mengetahui hal yang telah 6 bulan ini ia sembunyikan darimu.

“Kenapa kau masih di sini, Myungsoo? Kau duduk saja di ruang televisi.” Kau membuyarkan lamunan Myungsoo.

Myungsoo masih menatapmu, lalu berkata lirih, “Kau sudah tahu, ya?”

Kau terdiam. Tidak mungkin kau mengaku bahwa kau memang telah mengetahui tentang penyakit Myungsoo. Kau sudah berjanji pada Sungyeol untuk tidak mengaku.

“Tahu apa?” kau bertanya balik sambil mengalihkan pandanganmu dari tatapan Myungsoo. Menghindari kontak mata dengannya.

“Jangan berpura-pura tidak tahu!” tuduh Myungsoo mantap. “Kau pasti sudah tahu tentang penyakit yang aku derita, kan?” tanyanya, terkesan memaksa kau untuk mengaku.

“Aku tidak tahu apa-apa, Kim Myungsoo.” Kau menoleh ke arah lelaki itu. “Aku tidak tahu kalau kau sakit,” ucapmu dengan suara serak, lalu menundukkan wajahmu. Tidak ingin memperlihatkan air mata yang mulai mengalir di pipimu.

Myungsoo menghela nafas. “Benar, kau berbohong padaku. Kau sudah tahu bahwa aku menderita hemofilia, kan? Kau sudah tahu kalau aku menderita bleed disorder. Karena itu kau menjadi over protektif padaku. Kau menjadi cemas setiap kali aku berdekatan dengan benda-benda yang bisa saja melukaiku. Aku benar, kan? Kau sudah tahu semuanya.”

Kau terdiam.

“Siapa yang mengatakan hal itu padamu? Apakah Sungyeol?” Myungsoo masih menatapmu.

Kau masih terdiam. Tapi, terdengar suara isakan yang berasal darimu.

Myungsoo menghela nafas. “Baik. Kalau kau tidak mau mengaku, tidak apa-apa. Sekarang, kau sudah tahu bahwa aku laki-laki yang mengidap 2 penyakit parah yang kapan saja bisa merenggut nyawaku. Sekarang kau sudah tahu bahwa seumur hidup, aku harus berhati-hati agar tubuhku tidak terluka sedikit pun. Begitu, kan, menurutmu?” tanya Myungsoo memojokkanmu.

Kau lantas memperlihatkan wajah yang basah karena air mata itu kepada Myungsoo. “Ya, aku sudah tahu semuanya, Kim Myungsoo.  Aku sudah tahu tentang penyakit yang selama ini tidak pernah kau katakan padaku! Kenapa kau merahasiakan hal yang penting seperti itu dariku, Myungsoo?” Kau balik memojokkan Myungsoo.

“I-itu karena… itu karena aku tidak mau kau memperlakukan aku seperti apa yang belakangan ini kau lakukan padaku. Aku tahu apa yang aku lakukan. Aku tahu apa yang bisa membahayakan diriku,” balas Myungsoo.

“Apa aku salah jika aku memperlakukanmu seperti itu, hm? Apa aku salah? Aku hanya tidak ingin kau sakit. Aku… aku tidak ingin kau… mati.”

Myungsoo menghela nafas panjang. “Dengar, aku ini manusia. Aku pasti akan mati. Tapi, tolong jangan pernah berpikir bahwa aku akan mati karena penyakitku ini. Aku sudah hidup dengan penyakit ini selama 23 tahun dan kau lihat kan, aku baik-baik saja selama 23 tahun ini.”

“Tapi—”

“Cukup! Kau tidak perlu mencemaskan aku dan penyakitku. Aku yakin Tuhan masih akan memberiku hidup 20 tahun atau bahkan 50 tahun lagi,” ucap Myungsoo lirih. “Karena itu, kau tidak usah cemas. Aku baik-baik saja, mengerti?”

Kau mengangguk pelan. Sepersekian detik kemudian, Myungsoo menarikmu masuk ke dalam pelukannya. Membelai lembut rambutmu dan mengecup puncak kepalamu. “Sudah. Berhentilah menangis. Kau terlihat jelek dengan mata bengkak dan ingus yang keluar dari hidungmu, tahu,” bisik Myungsoo, lalu terkekeh.

Damn you!” Kau memukul pelan dada lelaki itu. Lagi-lagi lelaki itu terkekeh, membuat lesung di pipinya terlihat. Ia semakin memelukmu erat.

“Aku akan hidup lebih lama lagi. Lalu, kita akan menikah dan kau akan melahirkan bayi-bayi yang lucu. Kita akan mempunyai keluarga kecil kita sendiri. Kau harus percaya itu, hm?” bisik Myungsoo lagi.

“Baiklah.”

“Terima kasih. Itu ingin aku dengar darimu.”

Lelaki itu mengeratkan pelukannya beberapa detik sembari membelai pelan rambutmu. Setelah itu, ia membantumu membersihkan pecahan gelas dengan bantuan penjepit yang biasa kau gunakan untuk membalik makanan. Begitu selesai, kau dan lelaki itu kembali menikmati kue tart hari jadi ke-6 bulan kalian.

-THE END \^O^/-

Anditia Nurul ©2014

-Do not repost/reblog without my permission-

-Do not claim this as yours-

-Have been posted in my personal blog with EXO’s Lay as the main character-

-Also posted at High School Fanfiction / Read Fanfiction-

8 thoughts on “I’M FINE

  1. keren ceritanya. jadi flashback -_- dulu mantan aku jg mengidap penyakit kelainan darah, talasemia. awalnya pas tau jg gitu jadi protektif, tapi setelahnya jadi terbiasa.. huwaa daebak deh ff nya (y) terus berkarya thor. ditunggu karya lainnya 🙂

Don't be a silent reader & leave your comment, please!