[Oneshot] Stupid Cupid

stupid-cupid

Stupid Cupid

A fiction by Yoo

Alice (Hello Venus) as Cupid

Lee Hongbin (VIXX) – Min Yeri (OC)

Oneshot | General | Fantasy, Fluff

Also published at Grey Line

© 2014

.

.

“Karena aku adalah cupid!”

.

.

Perkenalkan! Aku Alice, seorang cupid yang bertugas menjodohkan para muda-mudi yang sedang kasmaran. Kalian tahu cupid, ‘kan? Tidak, kami bukan makhluk kerdil mungil yang biasanya terbang dengan sayap kecil di punggung. Dongeng yang diciptakan manusia terlalu mengada-ada. Bagaimana mereka bisa mengibaratkan kami sebagai makhluk kerdil? Oh, yang benar saja!

Maaf, aku terbawa emosi. Ayo kita lanjutkan perkenalan ini~!

Aku terlahir sebagai cupid, tinggal di dimensi lain yang tentu saja berbeda dengan dimensi manusia, kami menyebutnya Storgia. Langit? Tidak, sudah kubilang kami hidup di dimensi lain, bukannya langit. Kau pikir kami ini burung?

Sebagai cupid, sudah menjadi rutinitas tersendiri bagiku menyebar cinta, khususnya mendekati hari Valentine seperti sekarang ini. Hari kasih sayang yang selalu ditunggu-tunggu. Dan setiap momen kasih sayang ini bergulir, pekerjaan kami —para cupid— akan menumpuk dari biasanya. Huft, melelahkan! Kau tahu? Terkadang aku bosan menjadi seorang cupid, tapi bagaimana lagi jika ini sudah menjadi takdir dan tugasku. Walaupun banyak rekan cupid yang bilang kalau aku ini bodoh, setidaknya aku profesional.

Untuk menjadi cupid, bukannya tidak ada pelatihan sebelumnya. Setelah terlahir sebagai cupid, kami semua menerima latihan dan ujian untuk menjadi cupid sejati. Intinya, kami betul-betul dididik sebagai pemanah cinta. Setelah mendapat semua pelatihan yang ada, barulah kami bisa diangkat sebagai cupid utama. Tapi di antara cupid juga ada tingkatan tersendiri, tiga tingkatan. Cupid yang baru biasanya akan masuk ke dalam tingkat ketiga, dimana mereka menjalankan tugasnya dengan tangan kosong dan tanpa bantuan apapun. Ini tahapan terberat, sebagai pemula di tingkat tiga memang diuji seberapa cerdiknya seorang cupid menjodohkan dua manusia hingga menjadi sepasang kekasih. Kau tidak akan bisa membayangkan betapa sulitnya melakukan pekerjaan ini tanpa menggunakan alat bantu apapun.

Seorang cupid bisa diangkat ke tingkat kedua jika berhasil lulus di tingkat sebelumnya. Di tingkat kedua ini, kami diberi alat bantu berupa serbuk cinta. Sedikit merepotkan terkadang, tapi lebih baik dibanding dengan tangan kosong, bukan?

Tingkat paling atas adalah tingkat pertama yang bisa didapat jika kami sudah lulus dari tingkat kedua. Bisa dibilang tingkat pertama ini merupakan tingkat yang menjadi idaman semua cupid. Para cupid yang sudah berhasil masuk ke tingkat ini selalu memiliki aura tersendiri. Sangat keren dan anggun. Dan yang paling menggiurkan adalah —tolong bunyikan genderang! — kami akan mendapat panah cinta pada akhirnya! Oh, aku selalu memimpikan bisa memegang panah sejak terlahir sebagai cupid.

Ngomong-ngomong soal aku sendiri, yah, sampai saat ini aku masih diletakkan di tingkat ketiga. Dibanding dengan cupid seangkatanku yang lain, aku terlambat untuk naik pangkat. Kalau dihitung, kira-kira sudah ada tiga angkatan di bawahku yang menyalipku ke tingkat lebih atas. Ugh, menyebalkan! Tapi tidak apa, aku masih tidak kalah keren dengan cupid pangkat atas lainnya —oh, tolong sekali ini saja bunyikan genderang!

Sebentar, sepertinya sudah waktunya bekerja. Sekian saja perkenalan dariku! Sampai jumpa!

***

February 13th, 2014

Daewon High School

Untuk kesekian kalinya, gadis bernama Min Yeri memutar bola matanya ketika ekor matanya mengerling di sudut pintu ruang kelas. Seorang pemuda berperawakan jangkung tengah dikelilingi para siswi kelas lain yang berlomba-lomba memberikan cokelat. Persis seperti segerombolan semut yang mengerubuti tiang berlumur madu. Lagi-lagi Yeri mendesah, Valentine masih esok hari tapi sekarang gadis-gadis genit itu sudah mengerumuni sahabatnya, Lee Hongbin —pemuda jangkung itu.

Tentu saja gadis itu tidak sadar jika ada sepasang mata yang tak melepaskan pandang darinya. Sosok kasat mata yang duduk di bangku sebelahnya, bangku milik Hongbin, tapi berhubung pemuda itu masih disibukkan dengan serbuan fans di depan kelas jadilah sosok wanita tak terlihat itu menduduki bangkunya.

Siapa lagi kalau bukan Alice, cupid tingkat tiga yang berkali-kali gagal naik pangkat.

Manusia memang tidak bisa melihat sosok cupid dengan penglihatan terbatas mereka. Kecuali cupid itu menampakkan dirinya di hadapan manusia. Ya, cupid bisa menampakkan diri, jika mereka mau dan khususnya jika memang sangat diperlukan. Terutama bagi Alice dan para cupid yang berada di tingkat tiga. Berhubung tidak ada lagi alat bantu yang bisa dipergunakan, entah serbuk cinta atau panah.

“Bocah ini menyukai anak muda itu tapi sama sekali tidak peka dengan perasaannya sendiri.” desah Alice, menangkup wajahnya dengan kedua tangan bersandar di meja. Min Yeri, bukan hanya tidak bisa melihat Alice, juga tidak bisa mendengar suaranya.

Alice sudah mempelajari segala hal tentang kedua targetnya ini sebelum datang ke gedung sekolah dan memulai tugasnya. Lee Hongbin dan Min Yeri, dua sahabat yang sudah saling mengenal sejak masa SMP dan saling menyimpan perasaan lebih-dari-teman. Berbeda dengan Yeri yang masih belum peka terhadap perasaannya sendiri, Hongbin sudah sangat memahami perasaannya pada sahabat perempuannya itu. Pemuda bermarga Lee itu mulai menyukai Yeri sejak hari kelulusan mereka di SMP, kira-kira dua tahun yang lalu —sekarang keduanya sudah duduk di kelas tiga SMA. Masalah klasik memang, tapi kasus ini terkadang bisa menjadi rumit. Membuat seorang manusia menyadari perasaannya sendiri bukanlah perkara mudah, kau tahu?

Dengan senyuman lebar mengukir jelas di wajah tampannya, Lee Hongbin berjalan menuju bangkunya dengan membawa belasan cokelat yang menumpuk di tangan. Mau tak mau, Alice segera menyingkir dari bangku begitu pemuda itu mendekat. Walaupun tidak terlihat, bukan berarti cupid bisa menembus benda padat, termasuk tubuh manusia.

“Bagaimana caranya membawa pulang jika sebanyak ini?” Hongbin meletakkan bingkisan-bingkisan cokelat itu di atas meja. Ia lalu menggeser manik matanya ke arah Yeri yang berpura-pura sibuk dengan buku bacaannya. Di tangannya terulur satu bingkis cokelat. “Kau mau?”

“Tidak, terimakasih.” sahut Yeri tanpa menoleh.

Hongbin mengedik bahu, bergumam dan mulai membuka satu bingkis cokelat. Dengan yakin menjejalkan cokelat batang itu ke mulutnya. “Hm, enak lho! Yakin tidak mau?”

Yeri yang merasa risih lalu menutup bukunya cukup keras, hingga menimbulkan bunyi berdebum. “Sudah kubilang aku tidak mau, Lee Hongbin.” sahutnya ketus. “Makan saja semuanya sampai tubuhmu berlemak.”

“Kau ini kenapa, sih? Sedang datang bulan, ya?” Hongbin segera melempar cengiran tanpa dosa begitu Yeri menatapnya penuh kilatan membunuh. “Bercanda, bercanda.” Sepertinya Yeri memang sedang tidak bisa diajak bercanda. Begitu Hongbin nyengir kuda, gadis itu membuang muka dan kembali menyibukkan diri pada bukunya.

Pemandangan di depannya itu tentu saja membuat Alice harus menahan diri untuk tidak menggigit jarinya karena sebal. Astaga, dua bocah ini betul-betul naïf atau apa. Terutama gadis bernama Min Yeri ini! Jelas-jelas ia cemburu melihat Hongbin yang baru saja dikerumuni para gadis lain, dan sampai sekarang masih tidak ingin mengakui pada dirinya sendiri kalau ia cemburu. Tuhan, bolehkah aku memukul kepala anak ini agar dia cepat sadar? gerutu Alice dalam hati.

Dan bocah laki-laki ini! Mengapa tidak langsung saja mengatakan cinta pada Yeri kalau ia benar-benar menyukainya? Tidakkah ia sadar tingkah laku gadis itu sudah menunjukkan kalau perasaannya pasti terbalas jika saja ia mau mengatakannya!

Tapi bukan Alice namanya jika tidak ada ide yang langsung menyangkut di otak. Ide untuk melakukan sebuah rencana jitu yang ia susun untuk menyatukan kedua bocah di depannya ini.

“Tunggu waktu saja, cepat atau lambat kalian akan segera bersatu.” Alice terkikik sendiri membayangkan rencananya yang pasti akan berhasil dengan mulus.  “Aku memang jenius.”

***

Tidak seperti biasanya, hari ini Hongbin harus pulang sekolah sendiri. Sahabatnya, Min Yeri, tidak pulang bersamanya dan berdalih ada urusan yang harus diselesaikannya dengan Jongdae  —siswa kelas sebelah yang juga merupakan teman Yeri di klub tenis. Jujur saja, begitu gadis itu mengatakan akan keluar dengan Jongdae, Hongbin rasanya ingin menonjok siapapun dan apapun yang ditemuinya. Ia selalu kesal jika Yeri harus berdekatan dengan Jongdae, apalagi fakta kalau keduanya tidak akan semudah itu dipisahkan karena berada di satu klub yang sama. Bukannya apa, hanya saja Hongbin yakin dengan pasti kalau pemuda itu juga menyimpan perasaan khusus pada Yeri. Dan itu membuatnya merasa risih.

“Menyebalkan!” umpatnya, seraya menendang asal hingga mengenai kerikil-kerikil yang berhamburan di jalanan yang ia lewati. Tapi rasa kesalnya tak berlangsung lama, digantikan dengan keterkejutan yang cukup membuat jantungnya hampir melompat keluar begitu menangkap sosok asing muncul di hadapannya tiba-tiba. Sosok yang ternyata adalah seorang perempuan —yang dari wajahnya terlihat lebih tua beberapa tahun darinya— dengan penampilan super norak yang pernah ia lihat. Memang wajahnya cukup cantik, tapi pikiran itu langsung musnah begitu melihat pakaian aneh yang dikenakannya. Gadis itu memakai jaket bling-bling berwarna pink norak dan celana jeansgombrong, ditambah kacamata hitam yang bertengger di kedua daun telinganya.

Hongbin hanya diam dengan dahi berkerut memandangi gadis di depannya itu, sementara gadis aneh itu melepas kacamata hitamnya dan tersenyum lebar. Memamerkan deretan gigi putihnya.

“Halo, Lee Hongbin!”

Bulu kuduk Hongbin makin meremang ketika gadis itu menyebut namanya dengan begitu jelas. Bagaimana ia bisa mengenalnya? “A-anda siapa?”

Gadis itu tidak langsung menjawab, ia masih melempar senyuman misterius sedangkan tangannya dengan lihai menyampirkan kacamata di tengah-tengah tepi kausnya. “Aku Alice. Senang bertemu denganmu, Lee Hongbin.” Tanpa babibu, Alice meraih tangan Hongbin dan mengoyang-goyangkan beberapa kali layaknya orang yang sedang berjabat tangan.

“A-anda siapa?”

Alice menghela napas ketika pemuda itu melontarkan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. “Aku Alice. A-L-I-C-E, kau sudah pintar mengeja, ‘kan?”

“K-kenapa anda tahu namaku?”

Lagi-lagi Alice menunjukkan senyum misteriusnya. “Karena aku mengenalmu.” sahutnya, dengan nada tak kalah misterius. “Kau pikir aku wabah penyakit? Tidak perlu menjauh, aku sama sekali tidak berbahaya, tenang saja.” lanjutnya ketika irisnya menangkap reaksi Hongbin yang mundur beberapa langkah. Kini pemuda itu menghentikan usahanya untuk mundur dan memberanikan diri mendekat. Masih dengan posisi siaga satu, kalau-kalau gadis ini melakukan hal macam-macam padanya.

“Aku tidak akan macam-macam padamu.” sahut Alice enggan, seolah bisa membaca pikiran Hongbin.

Pemuda itu meneguk ludah. Ia mulai menerka-nerka apakah gadis ini adalah seorang dukun?

“Dukun? Ck, dasar bocah.” Hongbin bisa dengan jelas mendengar gumaman gadis yang baru saja memutar bola mata. Kali ini Hongbin tidak bisa menahan rasa ngerinya. Bagaimana bisa gadis ini membaca pikirannya? Ia langsung mundur beberapa langkah dengan gesit dan mengeluarkan kuda-kuda. Siap untuk memberi perlawanan. “S-siapa sebenarnya kau? M-mau apa denganku?!”

Yaya, tenang dulu. Aku sama sekali tidak berbahaya. Astaga, kau pikir aku kriminal atau apa?”

“K-kau mau apa?!” teriak Hongbin, masih dalam posisi kuda-kuda. Teriakannya barusan berhasil membuat beberapa orang sekitar menoleh heran.

“Hoi, hoi, tenanglah dulu! Sudah kubilang aku ini Alice dan kujamin aku bukan seorang dukun, kriminal atau apalah itu.”

Tapi Hongbin tidak langsung percaya. Ia tersaruk mundur begitu Alice berusaha maju mendekatinya.

Ya, tenanglah! Semua orang melihat kita sekarang!” desisnya, menundukkan kepala dan berusaha menutupi wajahnya ketika mulai banyak pasang mata yang melirik ke arah mereka berdua. Alice buru-buru mengeluarkan dua tiket bioskop dari saku jaket pink noraknya dan mengulurkannya pada Hongbin. “Aku hanya ingin memberikanmu ini.”

Lipatan di kening Hongbin makin nampak jelas ketika melihat dua tiket bioskop yang dipegang gadis itu. “Tiket bioskop?” Tanpa sadar, pemuda itu mendekat satu langkah. Jelas saja membuat Alice tersenyum penuh kemenangan.

“Aku hanya ingin memberimu tiket ini. Gratis untukmu!” Alice menambahkan kata ‘gratis’ ketika kedua alis Hongbin terlihat mulai bertaut kembali.

“Gratis? Untukku?”

Alice mengangguk penuh semangat. “Ini tiket nonton untuk besok, spesial hari Valentine! Kuberikan gratis untukmu. Dan jangan lupa ajak teman perempuanmu yang bernama Min Yeri itu, oke?”

“Kau juga tahu tentang Yeri?”

“Tentu saja aku tahu.”

“Bagaimana kau bisa tahu semuanya? Kau ini penguntit, ya?!”

Ya! Kecilkan suaramu, bocah!” Alice kembali berdesis, menyuruh Hongbin untuk diam. Tapi Hongbin yang tidak terima disebut bocah oleh gadis aneh yang baru saja ditemuinya ini malah semakin berani melawan. Rasa ngeri dan takutnya seakan menguap entah kemana.

“Katakan siapa sebenarnya dirimu! Kenapa kau tahu semua tentangku, dan juga soal Yeri? Lalu apa maksudmu memberiku dua tiket bioskop? Kenapa kau menyuruhku mengajak Yeri pergi ke sana? Sebenarnya apa maksud di balik ini semua?”

Pelipis Alice rasanya berkedut parah mendengar kata demi kata desakan yang keluar dari mulut Hongbin. Pemuda ini semakin lama makin kurang ajar. Ia berbicara memakai banmal dan bahkan tidak menyebutnya noona atau panggilan yang lebih sopan. Umurnya lebih muda daripada umurku!gerutu Alice. “Karena aku adalah cupid!” Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir Alice tanpa pikir panjang, dan karena ia mulai sebal dengan tingkah Hongbin. Gadis itu langsung sadar apa yang baru saja ia katakan dan buru-buru membekap mulut. Ia sudah membongkar identitasnya pada seorang manusia! Pada targetnya sendiri! Tamat sudah riwayatnya.

“Kau bicara apa, sih? Cupid? Hahaha, apa kau salah minum obat?” Di luar dugaan, Hongbin malah terbahak terpingkal-pingkal. Beranggapan kalau gadis di depannya ini memang benar-benar aneh dan tidak waras. Gadis ini pasti bukan seorang dukun, penguntit atau kriminal seperti yang tadi ia pikirkan. Mungkin saja gadis yang mengaku bernama Alice ini adalah salah satu pasien sakit jiwa yang baru saja kabur dari rumah sakit.

“Aku bukan pasien rumah sakit jiwa dan aku tidak sedang salah minum obat! Berhenti tertawa atau tamat riwayatmu, Lee Hongbin!!”

Hongbin buru-buru menutup mulut begitu gadis itu tampak mulai mengamuk. “Kau benar-benar menakutkan.” cicitnya.

Alice berusaha mengatur napas dan nada bicaranya, ia juga merapikan rambutnya yang agak berantakan. Menarik napas dalam dan mulai berbicara setenang mungkin, “Dengar, Lee Hongbin, anggap saja aku malaikat yang diturunkan Tuhan untuk membantumu atau terserah kau mau menganggapku apa, aku tidak peduli. Yang jelas aku ingin memberimu ini—“ ia menarik tangan Hongbin lalu menjejalkan dua buah tiket yang sedari tadi dipegangnya ke tangan pemuda itu, yang kini hanya menatap lekat dua kertas tersebut. “—gratis untukmu tapi dengan satu syarat, ajak Yeri pergi bersamamu besok malam. Setelah dari bioskop, kau bisa mengajaknya ke restoran tak jauh dari sana, aku akan memberi alamatnya padamu. Tenang saja, aku akan mengurus semuanya, yang harus kau lakukan hanya mengajaknya ke restoran itu. Setelah menonton bioskop, ingat?”

“Hah?”

“Kau sudah mengerti, bukan?” Mata gadis itu yang mendelik tajam pada Hongbin membuat pemuda jangkung itu langsung mengangguk mengiyakan.

“Tunggu apa lagi? Cepat ajak Yeri!” tambah Alice, kini matanya berkilat penuh semangat.

“Sekarang?”

“Tentu saja! Cepat telepon dia!” sahut Alice gemas.

Sebenarnya, Hongbin masih tidak terlalu paham mengapa Alice begitu bersemangat menyuruhnya mengajak Yeri pergi, er, kencan. Memberi dua tiket bioskop secara cuma-cuma, memberi rekomendasi restoran yang bagus untuk dikunjungi setelah menonton —atau lebih tepatnya memaksa—, gadis itu juga rela mengurus semuanya untuknya. Sedangkan mereka berdua baru pertama kali ini bertemu. Ya, Hongbin yakin benar kalau ia baru melihat gadis itu hari ini. Apa ia benar-benar cupid? Tidak, sangat bodoh jika Hongbin benar-benar mempercayainya. Di zaman super canggih ini mana ada yang namanya cupid!

Hongbin masih ragu-ragu merogoh ponselnya ketika Alice melempar tatapan tunggu-apa-lagi-cepat-telepon-dia. Pemuda itu langsung menghubungi Min Yeri dan begitu suara gadis itu terdengar dari seberang, ia pun membuka suara.

“Yeri-ah, apa kau mau pergi nonton bioskop denganku besok malam?”

***

February 14th, 2014

Daewon High School

“Jadi, nanti malam kau tidak bisa pergi, ya?”

Ada nada kecewa yang terselip dari cara berbicara Jongdae, meski —tentu saja— Yeri tidak akan menyadarinya. Laki-laki itu baru saja mengajaknya jalan nanti malam, berdalih untuk membicarakan turnamen tenis antar sekolah yang akan segera diadakan bulan depan.

“Maaf, aku sudah ada janji dengan Hongbin nanti malam.” ujar Yeri merasa bersalah. “Mungkin kita bisa membicarakan turnamen di lain waktu.”

Mau tak mau, Jongdae mengulum bibir juga. Ia mengangguk singkat dan menjawab, “Tentu.”

Keduanya tidak sadar jika sedari tadi ada seseorang yang mengikuti mereka tepat di belakang punggung. Penguntit yang tidak perlu bersusah payah menyembunyikan diri. Tentu saja karena tidak akan ada yang bisa melihatnya, kecuali jika ia menampakan diri.

Alice dengan setia menguntit Yeri sejak awal masuk tadi. Ia sempat menggerutu sebal karena sepanjang hari pemuda bernama Kim Jongdae ini terus menempel pada Yeri. Bisa saja Jongdae menjadi penghalang atau bahkan perusak rencananya menjodohkan Hongbin dan Yeri. Alice juga sempat terkikik penuh kemenangan saat Yeri menolak ajakan Jongdae tadi dan berujar kalau ia ada janji dengan Hongbin.

“Kau tidak bisa mengacaukan pekerjaanku, Kim Jongdae!” Alice masih terkikik sendiri, sekarang ia malah terlihat seperti nenek sihir ketimbang seorang cupid. Gadis itu sekarang berjingkat-jingkat mendekati Yeri, seakan ia bisa ketahuan menguntit jika mengeluarkan suara. Untuk sesaat, Alice lupa kalau ia sedang dalam wujud kasat mata —membuatnya tampak seperti cupid konyol. Di tangannya, ia menggenggam serbuk cinta yang ia curi diam-diam dari rekan cupidnya —yang tentu saja sudah ada di tingkat dua— dan menaruhnya di kantong plastik kecil. Mengambil sedikit persediaan serbuk milik temannya itu untuk melancarkan tugasnya kali ini. Ia sudah memantrai serbuk curiannya itu —walaupun sebenarnya Alice belum begitu mahir soal mantra— agar Yeri bisa lebih tertarik pada Hongbin dan tidak terus-menerus memandangnya sebagai seorang sahabat. Dan kini, Alice sudah siap untuk menaburkannya di atas kepala Yeri ketika langkahnya terhalang oleh sesuatu-entah-apa di permukaan lantai hingga ia tak sengaja tersandung dan malah membuat serbuk cinta jatuh mengenai Jongdae.

Dasar cupid bodoh!

Alice memekik keras saat sadar rencananya itu gagal dan malah mengenai Jongdae. Gawat! Ini benar-benar di luar strategi yang sudah ia susun.

Kali ini Alice pasti akan dijatuhi hukuman lagi atas kelalaiannya. Dan bayangan itu membuatnya bergidik ngeri.

Alice merutuk dirinya sendiri ketika Jongdae mendadak berhenti melangkah dengan tatapan kosong. Yeri bahkan sempat mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan muka Jongdae yang masih bertampang datar selayaknya orang terhipnotis. Sial! Pasti efeknya sudah mulai bekerja!

Alice semakin ingin menenggelamkan dirinya ke ujung samudera atlantis saat sosok Lee Hongbin dengan sangat tiba-tiba muncul di depan dan berjalan dari arah berlawanan. Apalagi ketika mata Jongdae berhasil menangkap kehadiran Hongbin. Semburat merah pun muncul di wajah pemuda itu dan terus menatap Hongbin yang berjalan mendekat. Sementara Yeri kebingungan dengan sikap Jongdae yang mendadak tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila begitu Hongbin menghampiri mereka.

Lee Hongbin yang tidak tahu apa-apa, malah memasang tampang tak suka saat melihat Yeri bersama Jongdae. Tapi ia segera mengernyit kebingungan kala Jongdae menggelayuti lengan kirinya.

“A-ada apa dengannya?” Kini bulu kuduknya meremang akibat sikap Jongdae yang sangat aneh. Sedangkan Yeri hanya menggeleng kepala, meski setengah hati menahan diri untuk tidak tertawa melihat Jongdae dan Hongbin yang terlihat seperti pasangan homo.

Alice rasanya ingin menjambak rambutnya sendiri dan berteriak frustasi. Tidak! Ia tidak bisa terus membiarkan hal ini terjadi. Ia harus mencari bala bantuan. Berusaha ditepisnya bayangan mengerikan tentang hukuman yang akan ia terima nantinya, toh, sebelum ini ia juga cukup sering menerima sanksi atas kecerobohannya dalam menjalankan tugas. Sekarang yang terpenting adalah mencari temannya tadi untuk meminta tolong memberi Jongdae mantra penangkal.

***

Kasus tadi sudah bisa ditangani dengan baik oleh teman Alice yang ia curi serbuk cintanya itu. Meski sempat mendapat rentetan omelan panjang, pada akhirnya Alice mengaku salah dan meminta maaf atas kelakuannya tadi. Ia hampir menangis terharu saat temannya itu masih memiliki belas kasihan dan memutuskan untuk tidak melaporkannya pada para petinggi cupid. Sekarang, ia bisa fokus menjalani tugasnya untuk menjodohkan Hongbin dan Yeri, targetnya kali ini.

Alice sudah siap dengan semua perlengkapan penyamarannya —celana komprang warna turquoise dan blazer motif bunga-bunga, ditambah penutup kepala warna jingga menyala layaknya seorangahjumma dari desa. Tak lupa kacamata hitam yang setia menutupi wajah putihnya. Ia sengaja memilih wujud yang terlihat mata manusia supaya ia bisa langsung memberi Hongbin kode-kode di saat genting.

Alice memicingkan mata seraya bersembunyi di balik pilar gedung bioskop. Untuk sementara ia tidak boleh terlihat di depan Hongbin, ia akan keluar dari persembunyian jika memang kondisi benar-benar gawat dan berada di luar rencana.

“Ya ampun, tiketnya ketinggalan!” Hongbin terus merogoh saku celananya, berharap tiket nonton yang diberikan Alice padanya kemarin terselip di dalam. Tapi semakin ia meraba sakunya tetap saja hasilnya nihil. Kelihatannya ia memang benar-benar lupa membawa tiket itu.

“Kau ini bagaimana, sih? Filmnya sebentar lagi dimulai.”

“Aku lupa membawanya, Yeri-ah. Pasti tertinggal di kamar.” Hongbin dalam hati merutuki kecerobohannya. Ia memutar otak dan langsung teringat soal restoran yang kemarin ditawarkan Alice padanya —ah, tidak, lebih tepatnya dipaksa. Hongbin buru-buru menarik lengan Yeri dan dengan cengiran lebar khasnya, ia melanjutkan kalimat. “Bagaimana kalau kita pergi ke restoran? Ada seorang noonaer, maksudku temanku yang merekomendasikan restoran itu padaku. Tidak jauh dari sini, kok!”

Lebih baik Hongbin membawa Yeri ke restoran itu sekarang juga. Hanya tempat itulah yang terpikir olehnya saat ini. Lagipula tiket nonton yang kemarin diberikan Alice bukan termasuk genre film yang ia suka. Gadis itu juga sedang tidak ada di sini, jadi Hongbin tidak perlu repot-repot memaksakan diri menonton film yang ia tidak suka.

Pemuda itu tidak menyadari jika Alice sekarang sudah menggerutu sambil menghentak-hentakkan kakinya sebal.

***

“Restorannya sudah penuh.”

Yeri menatap Hongbin yang kini dalam hati menyumpahi Alice yang kemarin berkata akan mengurus semua untuknya. Tapi begitu ia datang ke restoran rekomendasinya, tidak ada tempat satu pun yang tersisa. Harusnya kemarin ia tidak percaya begitu saja pada gadis aneh itu.

Sementara Alice —yang masih berada di tempat persembunyiannya— berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak melempar batok kepala Hongbin dengan sepatu. Seenaknya saja menyalahkannya karena kecerobohan yang ia perbuat. Tentu saja Alice sudah memesan tempat di restoran mahal itu, tepat di jam yang sudah ditentukan —setelah selesai menonton bioskop. Tapi Hongbin tidak sadar kalau ia sendiri yang sudah mengacaukan rencana kencan ini dan malah menuduh Alice berbohong.

Ugh, dasar bocah tidak tau diuntung! umpat Alice.

“Jadi kita akan kemana sekarang?”

Hongbin meneguk ludah, menyembunyikan rasa gugupnya. Sekarang ia benar-benar tidak tahu harus mengajak Yeri kemana. Tidak ada satu pun tempat yang cocok yang terpikir olehnya, jadi ia hanya menjawab, “Kita cari tempat lain saja.” Min Yeri hanya mengangguk, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti Hongbin dan mengikuti kemana laki-laki itu mengajaknya.

Setelah cukup lama berjalan tanpa tahu tujuan pasti —dan memang tidak ada restoran, kafe atau bahkan warung kecil yang mereka temui sepanjang jalan— akhirnya Hongbin memutuskan untuk berhenti di tepi pembatas sungai yang mereka lewati. Pemandangan di sana tidak terlalu buruk. Ada beberapa lampu tiang yang menghiasi sepanjang pembatas sungai dengan cahaya temaramnya. Udara yang berhembus juga cukup menyenangkan.

“Maaf, malam ini jadi kacau seperti ini.” Hongbin meremas tiang pembatas sambil menghela napas panjang.

Yeri tertawa renyah. “Tidak apa. Aku sudah menyangka jadinya akan begini.”

“Apa?”

“Kau ‘kan tidak pernah melakukan apapun dengan baik, Bin-ah.” sahut Yeri setengah meledek. Hongbin merasa mukanya memerah seperti tomat busuk sekarang. Bibirnya memberengut layaknya anak kecil. Ia berkilah jika yang dikatakan Yeri barusan tidaklah benar. Gadis itu masih terus meledeknya dan menertawai Hongbin, menceritakan kembali kecerobohan yang pernah Hongbin lakukan sebelum ini. Seperti kilas balik.

Sementara Hongbin yang makin bersungut sebal akhirnya membuang muka. Namun mendadak tubuhnya membeku ketika tanpa sengaja mendapati sosok familiar tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia memicingkan mata, berusaha melihat dengan teliti —bahkan tidak memedulikan suara tawa Yeri yang masih membahana. Ia seperti mengenal sosok perempuan yang kini mendongakkan kepalanya ke udara dan bersiul-siul asal itu.

Tidak salah lagi! Itu pasti gadis aneh bernama Alice yang kemarin ditemuinya. Astaga, noona itu benar-benar seorang penguntit, pikir Hongbin.

“Bin-ah? Hongbin-ah?”

Seruan Yeri berhasil memecah lamunan Hongbin. “Y-ya?”

“Kau ini kenapa, sih? Kenapa melamun sendiri?”

Cepat-cepat Hongbin menggeleng. Ia tidak mau membuat Yeri curiga. “T-tidak! Siapa juga yang melamun?” Tawanya yang dibuat-buat malah menambah kerutan di kening Yeri.

Hongbin hampir memekik kesal ketika gadis yang diduganya sebagai Alice berseru-seru layaknya orang keterbelakangan mental. “Bunga! Uhuk, bunga! Bunga!” Mau tak mau, Hongbin menoleh ke arahnya. Alice masih terus meneriakan kata bunga dengan dagunya yang mengedik ke suatu arah di seberang jalan. Diikutinya arah pandang Alice dan Hongbin langsung paham saat melihat seorang penjual bunga tak jauh dari tempatnya berada. Ia juga teringat kalimat terakhir dari Alice yang mengatakan, ‘Kau harus menyatakan perasaanmu pada Yeri’ kemarin sebelum menghilang entah kemana. Selain aneh, gadis itu sangat misterius, Hongbin bahkan sempat berpikir apakah Alice seorang hantu.

“Kau mengenal perempuan itu?” Yeri mengernyit memandangi perempuan yang ia maksud. Tidak perlu dijelaskan lagi, Hongbin amat tahu yang dimaksud Yeri pastilah Alice. Gadis itu memang tampak mencurigakan dengan pakaian yang sama anehnya dengan yang kemarin ia kenakan. Apalagi gadis itu masih berteriak layaknya orang gila, memberi kode pada Hongbin untuk segera membeli bunga yang ia tunjukkan.

“Ti-tidak kenal!” elak Hongbin sedikit gelagapan. Dalam hati berharap Alice segera menutup mulutnya dan tidak berisik. Sedangkan Yeri yang masih tidak tahu-menahu hanya mengangguk paham sambil bergumam pelan. “Tunggu sebentar, aku akan segera kembali.” ujar Hongbin dan langsung beranjak menuju penjual bunga yang ada di seberang jalan.

Yeri makin mengernyit heran saat Hongbin kembali dengan membawa setangkai bunga mawar merah. Kerutan di dahinya semakin bertambah ketika pemuda itu memberikan mawar itu padanya. “Untukku?”

Hongbin mengangguk gugup, berkali-kali menggaruk tengkuknya. Ia tidak yakin akan menyatakan perasaannya sekarang. Tapi begitu mengingat kalimat terakhir yang diucapkan Alice kemarin, entah mengapa ia merasa harus mengatakannya saat ini. Entah bagaimana hasilnya nanti. Meski dalam hati berharap hubungan pertemanannya dengan Yeri akan tetap baik walaupun seandainya gadis itu menolaknya.

“Aku, um, sebenarnya..” Hongbin meneguk ludah sebanyak yang ia bisa. Ia terlalu gugup saat ini. Tapi begitu mendengar Alice berteriak menyanyikan lagu entah-apa —bermaksud mendukung— dari kejauhan, keberaniannya muncul kembali. Sekarang bukan saatnya bersikap seperti seorang pengecut. “Yeri-ah, aku.. menyukaimu.”

Gadis itu belum menjawab atau berkomentar apapun. Min Yeri hanya tertegun dalam diam, menatap Hongbin tak percaya dengan mulut setengah menganga. Sedetik kemudian, ia malah tertawa. “Bin-ah, kau bercanda, ‘kan?”

Hongbin mendesah, sedikit sebal dengan reaksi Yeri yang malah menertawainya. “Sudahlah, lupakan saja yang tadi kukatakan.”

“Jadi kau benar-benar bercanda?”

Hongbin menatap Yeri bingung. Ia mendengar nada kecewa yang terselip.

“Kau tidak serius?”

Eh?”

“Kau bilang lupakan saja, jadi kau tidak serius. Iya, ‘kan?”

“Aku serius, tahu! Aku menyukaimu, Min Yeri!”

Hongbin terlalu keras meneriakan kalimat terakhirnya itu. Kini beberapa orang yang di sekitar menatap mereka sambil berbisik-bisik, sebagian tersenyum penuh arti ke arah Hongbin maupun Yeri. Baiklah, sekarang ia terlihat sangat memalukan. Ah, masa bodoh! Ia sudah di tengah jalan dan tidak ada kata mundur. Hongbin kembali memandang Yeri, kali ini benar-benar menatap lekat-lekat ke dalam iris cokelat indah gadis itu. “Aku menyukaimu, Min Yeri. Sejak dulu hingga sekarang, aku terus menyukaimu seperti orang idiot, kau tahu?” Pemuda itu memberanikan diri meraih kedua tangan Yeri. Menggenggamnya lembut. Ia menatap gadis yang ia sukai itu seolah meminta jawaban, meski tidak menyorotkan desakan atau paksaan.

“Aku juga menyukaimu, Bin-ah.”

-FIN-

Banmal1: bahasa informal, biasa dipakai dengan orang yang sudah akrab, misalnya sesama teman.

13 thoughts on “[Oneshot] Stupid Cupid

  1. Keren banget sekalipun Hongbinnya ceroboh + pikunan
    keep writing ^^
    daebak story
    anyway bisa buat sequelnya ga?

  2. wkkk, nggak bisa ngebayangin alice jadi kek gitu
    ya ampun unnie gue yang satu itu bener bener… *spechless
    aahhh, kong disini minta dipukul beneran… tapi ini bagus
    thor, boleh minta sekuel buat klanjutan cerita alice sebagai cupid dong… boleh kan bolej dong *kedip kedip

  3. Ah kenapa hungbin oppa tida sama alice saja-..- thor kapan2 buat lagi ya pemeran utamanya hungbin sama taeyeon dong :v wkwk semangat terus ya thor 😉

Don't be a silent reader & leave your comment, please!