[FF Frelance] The Concubine (Oneshoot)

tumblr_lzm1outit11qa81t2

 

THE CONCUBINE

 

Title : The Concubine

Author : Sora Jang

Cast : Kwon Ji-yong [Bigbang] Jang So-ra [OC]

Genre : Romance, Horror

Length : Oneshoot

            October, 31st  2013, Poly Café, Mapo-gu, Hongdae, 4PM

Kwon Ji-yong kembali menyesap moccacino yang telah dipesannya sepuluh menit yang lalu demi mengusir hawa dingin yang tiba-tiba mengepung tubuhnya, meskipun tubuh kurusrnya itu telah terbungkus rapi dalam balutan mantel tebal warna hitam yang dikenakannya saat ini, namun tetap saja hawa dingin musim gugur tersebut masih mengepungnya. Setengah jam sudah pria itu menghabiskan waktunya untuk duduk di sudut ruangan café, menanti seseorang yang sudah dua minggu tak dilihatnya. Seseorang yang selama dua minggu menghilang tanpa kabar dan membuatnya harus melewatkan dua minggu terburuk selama hidupnya karena terjebak dalam rasa cemas yang mendalam.

Ji-yong tahu, bahwa Jang So-ra, kekasihnya, gadis yang bulan depan akan resmi menjadi istrinya itu adalah tipe gadis keras kepala, yang tidak bisa mengalah begitu saja, yang tidak pernah membutuhkan bantuan orang lain, bahkan perhatian Ji-yong sekalipun selalu tak pernah membuatnya luluh. Ji-yong paham bahwa gadis seperti So-ra akan mampu bertahan dan baik-baik saja dimanapun gadis itu saat ini berada, namun Ji-yong tetap saja tidak pernah bisa berhenti merasa cemas saat gadis itu tiba-tiba menghilang dua minggu yang lalu, meskipun akhirnya pria itu bisa bernafas dengan lega saat malam yang lalu So-ra menghubunginya dengan suara penuh nada gembira, memintanya untuk bertemu sore ini di café tempat mereka biasa bertemu.

Wajah So-ra kini berkelebat dengan amat sangat jelas dalam benak Ji-yong saat pria itu mengalihkan tatapannya ke luar jendela café, menatap hamparan daun kering yang tergeletak begitu saja di atas jalanan beraspal, menutup dengan sempurna setiap incinya. Menatap hamparan dedaunan yang menutupi setiap inci jalanan beraspal itu mengingatkan Ji-yong pada So-ra, pada seberapa cintanya gadis itu pada musim gugur.

Mereka bertemu awal musim semi dua tahun yang lalu di sebuah pameran di National Palace Museum of Korea tempat So-ra bekerja sebagai Kepala Kurator. Kala itu, awalnya Ji-yong tidak berniat sama sekali untuk datang, pria itu bahkan menolak saat ibunya meminta untuk menemaninya. Ji-yong bukan tipe pria yang rela membuang-buang waktunya hanya untuk sekedar mengelilingi sebuah museum sambil mengamati benda yang bahkan tidak pernah membuatnya tertarik sedikitpun. Sejak dulu, saat masih menjadi seorang siswa, Ji-yong selalu tak mampu bersahabat dengan Sejarah. Namun, demi menghindari ocehan panjang ibunya kala itu, Ji-yong pun terpaksa mengantarnya. Dan di sanalah mereka berdua bertemu, tepat saat gadis itu sedang memberikan pidato sambutannya.

Penjelasan mengenai sejarah singkat beberapa koleksi museum yang kala itu terlontar dari mulut So-ra seolah terdengar seumpama cerita petualangan fantasi yang selama ini menjadi hal yang sangat digemari Ji-yong, pun gadis itu menjadi sosok yang menarik di hatinya, hingga niat awalnya yang hanya sekedar mengantar ibunya menguap begitu saja. Kala itu, Ji-yong berhasil membuang-buang waktu berharganya untuk mengelilingi museum tersebut dan mengamati setiap barang aneh yang selama ini tidak pernah membuatnya tertarik.

“Apa kau sedang mengingat pertemuan pertama kita?”

Sebuah bisikan halus bersarang di telinga kiri Ji-yong, membuat pria itu tersadar dari lamunannya dan dengan cepat menoleh ke arah samping. Bukan rasa penasaran yang kini membuat Ji-yong menolehkan kepalannya, pria itu hapal siapa pemilik suara tersebut, tetapi  rasa rindu dan cemas lah yang paling mendominasi, yang menjadi alasan utama mengapa pria itu dengan cepat menolehkan kepalanya. Ji-yong belum mampu membuka suara, saat dengan tiba-tiba So-ra meraup kedua sisi pipinya, dan mengecup singkat bibir Ji-yong, tanpa sedikitpun memberinya celah untuk sekedar terkejut ataupun menutup kedua matanya, menikmati kecupan singkat tersebut.

“Kau belum memesan pancake Ji? Hanya moccacino?” So-ra kini duduk di hadapannya, jarak mereka terhalang oleh meja.

“Aku sengaja menunggumu untuk memilih strawberry atau blueberry. Kau tahu bukan porsi kedua pancake di café ini sangat besar, tidak mungkin aku bisa menghabiskannya sendiri. Jadi hari ini kita cukup memesan satu pancake dan menghabiskannya berdua,” Ji-yong menjelaskan dengan nada santai sambil meredam debar jantungnya yang masih berkerja dengan tak normal akibat ciuman singkat So-ra beberapa saat yang lalu.

“Eiiiiy, bilang saja kau ingin mencoba scene romantis seperti di dalam drama bersamaku bukan? Cih, konyol! Hari ini aku belum sempat sarapan, semalaman aku bekerja di museum, menganalisa beberapa arsip hingga jam dua siang. Aku sangat lapar, jadi pergilah ke counter itu dan pesankan dua Dutch Baby rasa strawberry dan blueberry untukku. Ah, juga dua gelas moccacino, setelah itu aku akan memberitahu kabar gembira untukmu,” So-ra menlontarkan kalimat perintah bernada santainya itu sambil melepas mantel biru yang dikenakannya. Ji-yong hanya mampu terdiam, sebelum akhirnya pria itu berjalan ke arah counter untuk memesan makanan, terlebih dahulu Ji-yong mengacak pelan rambut So-ra, membuat gadis itu berteriak keras sambil membuka penuh kedua mata sipitnya lebar-lebar.

 

October, 31st 2013, So-ra’s Apartment, Gangnam-gu, Seoul, 7PM 

“Kau bilang, kau mendapatkannya dari seorang kakek tua?” Ji-yong berucap dengan nada tak yakin begitu mereka berdua menginjak bagian dapur apartemen milik So-ra. Ji-yong meletakkan kantong berisi sayuran dan daging yang sempat mereka beli beberapa jam lalu di supermarket.

Malam ini So-ra memaksa Ji-yong untuk membantunya memasak, gadis itu ingin merayakan keberhasilannya yang telah menemukan benda peninggalan Selir Jang, Jang Hee-bin. Sebuah pisau dari batu giok berwarna hijau pucat, yang didapatkannya sebagai hadiah atas keberhasilannya menduduki posisi Selir Sukwon, saat memasuki istana untuk pertama kalinya, dari Ibu Suri Jangryeol, istri kedua Raja Injo, nenek tiri Raja Sukjong, yang juga masih kerabat jauh Selir Jang.

Yup!” So-ra dengan cepat mengangguk. Ji-yong masih menatap gadis itu yang kini tampak sedang sibuk mencuci sayuran.

“Apa kau yakin jangdo[1] itu memang milik Selir Jang?” Ji-yong kembali bersuara, melontarkan pertanyaan bernada tak yakin, yang seharusnya tak pernah dia lontarkan. So-ra akan sangat marah dan tersinggung.

Mwo? Apa saat ini kau sedang mempertanyakan kemampuanku Tuan Kwon? Yak memangnya kau pikir aku seorang amatir? Eish, untuk ukuran seorang pria yang tidak tahu sejarah dan hanya sibuk dengan urusan perusahaan sepertimu, tidakkah pertanyaan itu terdengar konyol huh?” So-ra membalikan badannya, kini gadis itu menatap Ji-yong dengan tajam sambil berkacak pinggang.

Ji-yong berdecak sesaat, pria itu kemudian menghampiri So-ra dan membalikan badannya, memberi isyarat untuk kembali melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti, mencuci sayuran.

“Aku hanya penasaran saja. Lagipula aku tidak menyangka bahwa kau harus sampai pergi ke Pyong-an di Utara sana. Bagaimana jika pihak utara menyanderamu So-ra ya? Seharusnya kau memintaku untuk menemanimu,” Ji-yong berucap dengan lembut, kedua tangannya sibuk merapikan rambut panjang milik So-ra, menyanggulnya, untuk mempermudah So-ra.

“Memintamu, yang sangat membenci sejarah, untuk menemaniku ke Pyong-an? Menghabiskan satu minggu di pesisir Uiju? Aku yakin kau akan menolakku Ji,” So-ra mencibir, kini dia beranjak ke arah counter dapur, berniat mengiris sayuran untuk membuat sup dwinjang, Ji-yong mengekor di belakangnya.

“Jadi apa kau yakin So?” Ji-yong masih belum mau menyerah.

“Ji, sebaiknya kau saja yang memasak sup dwinjang, aku rasa aku lebih baik memasak jeyukbokkeum,” So-ra menolak untuk menjawab pertanyaan Ji-yong yang terus terlontar selama beberapa kali itu, gadis itu saat ini sedang fokus pada menu yang ingin dimasaknya.

“So?” Ji-yong membantah penuh denagn nada memohon.

Aish arasseo!” So-ra memutar kedua bola matanya, dia meraih tangan Ji-yong dan mengajaknya berjalan menuju kamar tidurnya. Begitu mereka berdua sampai, So-ra membuka laci meja riasnya, dia menyodorkan sebuah kotak persegi tepat di hadapan Ji-yong, memintanya untuk membuka kotak tersebut.

“Bukalah Ji.”

Ji-yong dengan ragu membuka kotak tersebut, begitu kotak tersebut terbuka sepenuhnya, kedua mata Ji-yong dapat melihat dengan jelas sebuah pisau yang terbuat dari batu giok berwarna hijau pucat terbaring rapi dalam kotak tersebut. Pisau itu dihiasi oleh beberapa ornamen serupa norigae[2].

“Awalnya aku mengira akan menemukannya di pulau Jeju. Kau tahu bukan dulu para tahanan istana sering diasingkan ke pulau Jeju. Setelah Jang Hee-bin meninggal karena hukuman mati yang diterimanya, saudara laki-lakinya, Jang Hee-jae juga mendapat hukuman mati atas tuduhan ikut terlibat dalam kasus pembunuhan Ratu In-hyun bersama Jang Hee-bin, sementara itu, ibu mereka, Nyonya Yoon, diasingkan ke pulau Jeju bersama Jang Hyun, paman Jang Hee-bin,” So-ra mulai melontarkan kuliah sejarahnya pada Ji-yong, yang justru kini mulai selalu terbiasa dan seolah menikmati setiap penjelasan So-ra meskipun dulu hal itu adalah sesuatu yang paling dibencinya.

“Lalu bagaimana kau tahu benda ini berada di Uiju? Pyong-an?” Ji-yong melontarkan rasa penasarannya.

So-ra tak lantas menjawab, gadis itu berjalan kembali ke luar kamar, menuju dapur kembali terfokus pada masakannya. Gadis itu menyalakan kompor.

“Awalnya aku pergi ke pulau Jeju, ke sebuah pedesaan bernama Haengwon-ri. Tidak terlalu jauh dari airport, hanya berjarak dua puluh menit dengan taksi. Aku berhasil bertemu dengan salah seorang kepala desa yang sangat pintar soal sejarah Joseon. Dari Heo seonsaengnim aku akhirnya tahu bahwa sepertinya pisau itu berada di Pyongan, menjadi milik seorang saudagar,” aroma jeyukbokkeum menguar di setiap sudut dapur, menjadi pengiring penjelasan So-ra.

“Saudagar? Bagaimana bisa?” Kening Ji-yong berkerut.

Tanpa menoleh pada Ji-yong hingga tak mampu melihat kerutan di kening Ji-yong, So-ra kembali menjelaskan.

“Kau mungkin tidak tahu, Jang Hyun, paman Jang Hee-bin, adalah seorang saudagar yang dikenal sangat pandai berdagang dan memiliki koneksi yang sangat hebat dengan para pedagang Qing dan Tiongkok. Heo sonsaengnim menjelaskan padaku bahwa tahun 1701, beberapa bulan setelah kematian Jang Hee-bin, seorang saudagar Tiongkok tiba di Joseon dan mencari Jang Hyun, begitu dia mengetahui bahwa saudagar Joseon itu sedang diasingkan ke pulau Jeju, dia pun memutuskan untuk menemui Jang Hyun di tempat pengasingan hingga akhirnya kedua saudagar itu bertemu,” So-ra menghentikan ceritanya sejenak, dia sibuk mengaduk jeyukbokkeum agar bumbunya tercampur dengan rata. Ji-yong masih terdiam menunggu kelengkapan cerita tersebut.

“Saat itu tentu saja Jang Hyuk tidak memiliki harta apapun, semua simpanannya tertinggal di Hanyang, lagipula dia tidak akan mendapatkan hartanya kembali, para petugas polisi kerajaan pasti sudah menyita semua harta miliknya,” So-ra mematikan kompor, ceritanya kembali terpotong.

“Ji, bisakah kau ambilkan piring untuk tempat jeyukbokkeum? Aku rasa ini sudah matang.”

Ji-yong dengan cepat berjalan ke arah rak tempat So-ra biasa menyimpan rapi piring-piring miliknya, dia mengambil sebuah piring dan menyerahkannya pada So-ra dalam hitungan detik. Pria itu tidak ingin cerita So-ra terpotong lebih lama lagi. Ji-yong benci jika harus merasa penasaran.

“Lalu?”

Suara Ji-yong bercampur dengan dentingan spatula dan penggorengan, bercampur sempurna memenuhi ruangan dapur apartemen So-ra.

“Rupanya sebelum Nyonya Yoon diasingkan ke pulau Jeju, dia sempat pergi ke Chwiseondang, bangunan tempat Selir Jang tinggal. Aku rasa Nyonya Yoon mengambil pisau tersebut dan membawanya ke tempat pengasingan,” So-ra kini kembali menghidupkan kompor, kali ini berniat memasak sup dwinjang. Ji-yong mengangguk paham.

“Ji, tidakkah kau berniat membantuku? Aku sudah memasak jeyukbokkeum, sekarang giliranmu memasak sup dwinjang!” So-ra melepas paksa apron yang dikenakannya dan melemparkannya pada Ji-yong.

“Teruskan ceritamu So-ra ya!” Sambil mengenakan apron berwarna hitam tersebut, Ji-yong meminta So-ra untuk kembali melanjutkan cerita tersebut.

“Jang Hyun memberikan pisau tersebut pada saudagar Tiongkok, mungkin sebagai hadiah kecil, dengan harapan saudaagr tersebut bisa membantunya kelak,” kini So-ra bersandar pada counter dapur sambil mengunyah sebuah apel. Ji-yong sibuk dengan dwinjangnya.

“So-ra ya, bukankah itu mengerikan? Seorang wanita bangsawan menyimpan sebilah pisau? Ya tentu saja ukurannya kecil, namun tetap saja itu pisau, benda tajam. Bukankah kau sering berkata bahwa gadis Joseon itu sangat lembut dan anggun? Terlebih lagi gadis bangsawan Joseon,” Ji-yong bertanya disela-sela pekerjaannya mengaduk dwinjang.

“Zaman Joseon dulu, pisau kecil seperti itu termasuk ke dalam perhiasan Ji, para wanita Joseon, terutama kaum bangsawan selalu membawa benda seperti itu. Aku rasa sebagai pelindung, kau mungkin tidak tahu, banyak sekali perampok yang selalu mengincar mereka,” So-ra menjitak kepala Ji-yong, membuat pria tampan itu mengaduh pelan.

“Lalu bagaimana pisau itu bisa berada di tangan seorang kakek tua yang tinggal di Pyong-an? Bukankah seharusnya pisau itu ada di Tiongkok?” Ji-yong mengusap pelan kepalanya yang tadi terasa sakit.

“Seharusnya memang seperti itu, aku sempat berpikir untuk menyerah dan berhenti mencarinya. Tapi saat aku memutuskan untuk kembali ke Seoul satu minggu yang lalu, seseorang menghubungiku dan memberitahu bahwa pisau tersebut berada di Pyong-an, dia bahkan memberikan alamat rumah Tuan Kim, kakek tua itu. Setelah mendapat informasi tersebut aku langsung memutuskan untuk terbang ke Pyong-an. Di sana aku bertemu dengan Tuan Kim, dan berhasil membujuknya untuk menyerahkan pisau itu padaku. Pada museum kami maksudku,” So-ra terkekeh pelan.

Jamkkan, seseorang memberimu informasi mengenai keberadaan pisau tersebut? Bahkan memberimu alamat pemiliknya? Bagaimana bisa? Dari mana orang tersebut mendapatkannya? Siapa dia So-ra ya?” Ji-yong kini dengan hati-hati menuangkan sup tersebut ke dalam mangkuk.

“Jika kau sangat penasaran, tanyakan saja pada orang itu Ji, aku dengar dia dan istrinya akan tiba di Korea besok siang,” So-ra berucap dengan nada enteng sambil membawa mangkuk berisi dwinjang ke ruang makan, meninggalkan Ji-yong yang masih terlihat bingung.

“Dia dan istrinya akan tiba di Korea besok siang?” Ji-yong berguman pelan, dia berjalan menuju ruang makan masih sambil berpikir keras, sementara itu So-ra hanya terkekeh pelan.

“Maksudmu abeonim?” Akhirnya Ji-yong paham, terlebih saat So-ra kembali tertawa begitu mendengar tebakannya.

Tentu saja ayah So-ra, siapa lagi? Pria penggila sejarah yang dulu menghabiskan seluruh waktunya untuk mencintai sejarah, dia bahkan menjabat sebagai Kepala Kurator National Museum of Korea selama sepuluh tahun. Tuan Jang juga tercatat sebagai profesor Sejarah di Universitas Sungkyunkwan. Lima tahun yang lalu dia akhirnya pensiun dan memutuskan untuk menetap di Amerika bersama putera pertamanya, Jang Geun-seok, yang telah menikah dan memiliki seorang putera. Besok siang calon mertuanya tersebut akan tiba di Korea, mempersiapkan semua keperluan pernikahan Ji-yong dan So-ra.

“Jadi, apa yang membuat Tuan Kim akhirnya bisa menjadi pemilik pisau itu? Kau juga, apa yang kau lakukan pada Tuan Kim hingga dia memutuskan untuk memberikan pisau itu padamu?” Di meja makan, di sela-sela suapan mereka, pembicaraan itu tetap berlanjut.

“Tuan Kim bercerita bahwa pisau tersebut adalah benda peninggalan keluarga istrinya yang seorang keturunan Tiongkok. Keluarga istrinya mendapat benda tersebut dari seorang sahabat keluarganya, seorang saudagar Joseon di pulau Jeju. Jang Hyun tentu saja. Ruapanya istri Tuan Kim adalah keturunan saudagar Tiongkok tersebut. Kau mungkin tidak tahu Ming, tapi tempat mereka tinggal saat ini, pedesaan yang berada tak jauh dari sisi pelabuhan Uiju adalah tempat yang selalu dijadikan tempat singgah kapal para pedagang Tiongkok pada masa Joseon dulu,” So-ra menhentikan ucapannya untuk meneguk air putih.

“Tentu saja aku tidak tahu So-ra ya, lagipula untuk apa?” Ji-yong menggerutu pelan. So-ra mengabaikannya.

“Dan bagaimana aku mendapatkan pisau itu? Tentu saja mudah, aku hanya memberitahu Tuan Kim bahwa benda itu milik Jang Hee-bin, dan benda itu seharusnya menjadi milik museum. Setelah aku mengatakannya, Tuan Kim langsung memberikan benda tersebut padaku Ji,” So-ra tersenyum bangga.

“Semudah itu?” Ji-yong mengurungkan niatnya untuk kembali menyeruput sup dwinjang yang tengah berada di sendok miliknya, sendok tersebut kini mengapung di udara.

“Tentu saja. Dengarkan aku Ji, Tuan Kim sudah tidak pernah kembali ke Korea selama empat puluh tahun, dia bahkan sudah resmi menjadi bagian dari Korea Utara, meskipun dia merasa bahwa dia masih tetap bagian dari Negara kita. Menurutmu, jika kau berada diposisi Tuan Kim, apa yang akan kau lakukan jika seseorang datang padamu dan meminta pisau kecilmu untuk kepentingan Negara yang telah kau tinggalkan puluhan tahun?” So-ra bertanya dengan nada santai, menatap Ji-yong yang akhirnya mengangguk pelan, paham pada semua penjelasan So-ra.

“Kapan kau akan menyimpan pisau itu di museum? Kau sudah memberitahu yang lain?” Ji-yong bertanya penasaran, sesuatu yang kuat tiba-tiba menyeruak begitu saja di dalam hatinya. Ji-yong tidak menyukai benda itu.

“Tentu saja aku sudah memberitahu semuanya. Segera setelah appa melihatnya, aku akan menyimpan benda itu di museum. Besok malam kurasa,” So-ra menjawab mantap. Ji-yong mengangguk lega.

“Ya Tuhan, aku lupa menyiapkan kimchi!” So-ra bangkit dari kursi makannya, gadis itu menepuk keningnya pelan.

“Ji, apa kau juga mau kuambilkan kimchi?” So-ra menatap Ji-yong, menunggu jawaban kekasihnya tersebut. Ji-yong menggeleng pelan.

“Aish Ji, cobalah untuk melatih lidahmu menjadi lidah orang Korea! Demi Tuhan, kau itu orang Korea, menghabiskan masa kecil dan remajamu di London bukan beraarti kau harus membuatmu membenci kimchi,” So-ra mulai meracau, mempermasalahkan ketidakmampuan Ji-yong memakan kimchi, sambil berjalan kembali kea rah dapur, untuk menagmbil kimchi dari dalam kulkas.

Telinga Ji-yong nyata mendengar ocehan tersebut, namun kedua matanya kini terfokus pada sebilah pisau yang tersimpan di dalam kotak persegi tersebut, menatapnya dengan tajam. Entah mengapa Ji-yong merasa hal buruk akan terjadi dalam waktu dekat, meski pria itu tidak paham kapan, dan apa yang akan terjadi.

 

November, 1st 2013, Seooreung, Goyang-si, Gyeonggi-do, 11AM.

Ji-yong memarkir mobil Bentley putih miliknya, kini pria itu berjalan ke luar mobil sambil menatap pilar tinggi gate tanpa atap yang menjulang di hadapannya, yang menjadi jalan masuk Seooreung, kompleks lima makam, milik Raja Sukjong beserta Ratu dan Selirnya, kecuali Selir Choi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Dong-yi.

Ji-yong belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya di tempat tersebut, namun hari ini, di tengah udara dingin dia terpaksa harus menyeret So-ra dari tempat tersebut dan menculiknya ke bandara untuk menjemput kedua orang tuanya yang akan tiba di airport jam satu nanti.

Ji-yong melangkahkan kakinya dengan ragu di atas jalan kecil berlapis semen, yang tertutup beberapa helai dedaunan, yang terpisah menjadi dua, dengan tinggi yang tak sama, sebelah kiri lebih tinggi daripada sebelah kanan.  Ji-yong tak tahu harus berjalan ke arah mana untuk menemukan makam Selir Jang, pria itu bahkan tak tahu kenapa jalan kecil itu harus dibuat sedemikian rupa, dia hanya melangkahkan kakinya sekenanya, berharap dapat menemukan makan Selir Jang secepatnya agar dia bisa menemukan So-ra. Saat Ji-yong menghubunginya satu jam yang lalu, So-ra mengatakan bahwa dia sedang berada di makam Selir Jang, entah sedang melakukan apa dan untuk apa.

Seorang bapak-bapak yang sepertinya berusia empat puluh tahun tiba-tiba berjalan menghampiri Ji-yong, orang yang sempat Ji-yong lihat berjalan keluar dari sebuah bagunan kecil tak jauh dari gerbang masuk Seooreung. Orang itu berjalan di atas jalan kecil yang berada di sebelah kanan, jalan kecil yang ukurannya lebih rendah dari jalanan yang saat ini sedang diinjak oleh Ji-yong.

“Tuan, jika anda ingin berkunjung ke arena makam, anda tidak boleh berjalan di shindo[3], para pengunjung harus berjalan di atas eodo[4],” orang tua itu menegur Ji-yong dengan sopan.

Shindo? Eodo?” Ji-yong tak paham.

Shindo, yang sedang Anda pijak, jalan itu tidak boleh diinjak oleh pengunjung. Eodo, yang sedang saya pijak, para pengunjung biasa berjalan di atas eodo. Ini aturan yang harus dipatuhi oleh setiap pengunjung makam,” orang tua itu menjelaskan, membuat Ji-yong dengan cepat turun, menginjak eodo. Orang tua itu tersenyum sejenak, memaklumi ketidak tahuan Ji-yong.

“Maafkan saya, ini pertama kalinya saya berkunjung. Bisakah anda menunjukkan tempat makam Selir Jang berada?” Ji-yong bertanya dengan sedikit canggung, merasa tidak enak atas kejadian beberapa saat yang lalu.

“Maksud Anda daebinmyo[5]?” Orang tua itu memastikan. Ji-yong menganggukan kepalanya, meskipun dia tidak tahu sebutan area pemakaman Selir Jang.

“Apa Anda bisa melihat bukit kecil sebelah sana? Jalan saja lurus ke arah bukit tersebut, disitu tempat daebinmyo berada,” orang tua itu menunjuk sebuah bukit kecil dibagian kiri Seooreung, Ji-yong memicingkan matanya untuk memperjelas tatapannya, matanya dapat melihat sosok kecil So-ra dari kejauhan.

Algesseumnida, kamsahamnida,” begitu mendapat penjelasan dari orang tua tersebut, Ji-yong membungkukan badan sebagai ucapan terima kasih. Dia lalu dengan terburu-buru berjalan ke arah daebinmyo.

“Hari ini kau membuatku malu karena harus menerima teguran dari ahjusshi itu So-ra ya,” setibanya di Daebinmyo Ji-yong menggerutu pelan, membuat So-ra terpaksa harus membuka kedua matanya yang sejak tadi tertutup rapat, entah sedang apa. Gadis itu berdiri di hadapan makam Selir Jang, jaraknya dengan gundukan makam berlapis rumput kering musim gugur itu terhalang oleh honyuseok[6] dan bigak[7], Ji-yong berdiri di sampingnya.

So-ra tertawa tanpa suara, tak ingin bersikap tak sopan di hadapan makam Selir Jang.

“Memangnya apa yang telah kau lakukan Ji?” So-ra masih tertawa tanpa suara.

Ahjusshi itu menegurku karena aku salah menginjak jalan kecil di depan gerbang masuk itu. Dari mana aku tahu kalo para pengunjung harus berjalan di bagian yang lebih rendah? Ini pertama kalinya aku berkunjung,” Ji-yong kembali menggerutu kesal, membuat So-ra semakin tak bisa berhenti tertawa, gadis itu kini bahkan tertawa keras.

“Seharusnya aku tidak tertawa sekeras ini Ji, tapi kau membuatku tak bisa menahan tawaku lagi. Baiklah, nanti setelah kita kembali ke apartemenku, atau ke rumahmu, aku akan menjelaskan semuanya padamu. Semua benda dan bagian makam ini,” So-ra menghentikan tawanya, kini dia menatap Ji-yong sambil tersenyum.

“Pelajaran Sejarah lagi, God!” Ji-yong memutar bola matanya.

“Kau harus mendapatkannya Ji, supaya kau tidak mendapat teguran untuk yang kedua kalinya,” So-ra mencibir.

“Apa yang sedang kau lakukan di sini So-ra ya? Kita harus segera pergi ke airport untuk menjemput orang tuamu. Kita tidak boleh terlambat,” Ji-yong mengingatkan.

“Aku hanya ingin memberitahu Selir Jang, bahwa aku telah berhasil menemukan salah satu barang berharga miliknya. Kau tahu? Terlepas dari seberapa jahat sikapnya, terlepas dari semua kejahatan yang telah diperbuatnya, sosok Selir Jang tetap menjadi seseorang yang aku kagumi,” So-ra berucap pelan sambil menatap lekat bongbun[8], gundukan bukit kecil tempat jasad Selir Jang bersemayam. Ji-yong hanya terdiam, pria itu ikut mengalihkan tatapannya pada gundukan makam tersebut.

“Kau lihat batu di belakang gundukan makam itu Ji?” So-ra menunjuk sebuah batu besar yang berada tepat di belakang makam Selir Jang, Ji-yong ikut mengalihkan pandangannya.

“Pohon pinus tumbuh dari bongkahan batu itu bukan? Orang-orang berkata bahwa energi Selir Jang masih sangat besar hingga pohon pinus itu tetap tumbuh meskipun lewat bongkahan batu. Kau mungkin juga tidak tahu mitos mengenai makam ini,” So-ra melanjutkan ucapannya tentang makam Selir Jang.

“Mitos?” Ji-yong mengerutkan keningnya, pria itu menatap wajah So-ra.

“Jika seorang wanita datang dan berdoa di depan makam Selir Jang, meminta agar mendapatkan orang yang dicintainya, maka wanita itu akan mendapatkan orang tersebut. Mungkin hanya mitos, tapi banyak sekali wanita yang datang dan mencobanya,” So-ra membalas pertanyaan Ji-yong, masih sambil menatap lekat gundukan makam tersebut.

“Jadi, kau datang ke tempat ini untuk melakukan hal yang sama?” Nada suara Ji-yong terdengar menajam.

Mwo? Yak untuk apa aku melakukannya? Aku sudah mendapatkan pria yang aku inginkan!”  So-ra membulatkan kedua matanya, menatap Ji-yong dengan raut kesal bercampur kaget.

Begitu mendengar jawaban So-ra, dengan cepat Ji-yong meraup wajah So-ra, mengecup bibir So-ra singkat.

‘Yak! Apa yang kau lakukan? Ini makam Selir Jang! Kau tidak boleh melakukannya begitu saja Ji! Aish, ayo kita pergi!” So-ra menyeret Ji-yong dari tempat tersebut, tak ingin mendapat masalah lagi.

Saat itu, tepat setelah Ji-yong  dan So-ra berbalik menuruni bukit untuk meninggalkan area Daebinmyo, pohon pinus itu bergoyang dengan kencang, tanpa pernah ada sedikitpun angin berhembus sebelumnya.

 

November, 2nd 2013, National Palace Museum of Korea, Jeongno-gu, Seoul, 6PM   

“Rapat hari ini selesai, kita akan melanjutkan pembahasan ini besok pagi. Terima kasih atas kerjasamanya, kalian boleh pulang. Jika kalian masih ingin berada di museum, seperti biasa, kalian harus melapor terlebih dahulu pada Nona Han,” So-ra menutup rapat sore itu, setelah dua jam yang lalu mereka mengadakan rapat untuk membahas pameran tahunan.

Satu persatu para pekerja National Palace Museum of Korea itu keluar dari ruang rapat, menyisakan So-ra dan Hwang Bo-ra, sekretarisnya.

Eonni, apa kau sudah memikirkan tawaran dari pusat? Tawaran untuk menjadi Kepala National Museum of Korea? Museum itu sangat besar dibandingkan dengan museum tempat kita saat ini bekerja. Kau akan senang sekali jika bekerja di sana. Kau sungguh beruntung eonni, di usiamu yang sangat muda, kau sudah mendapat tawaran tersebut,” Bo-ra, sekretaris So-ra, yang usianya lebih muda dua tahun dari So-ra, dua puluh tiga tahun, berucap dengan nada senang. Meskipun hubungan mereka terlihat biasa-biasa saja saat bekerja, So-ra dan Bo-ra sangat dekat.

So-ra yang sedang merapikan beberapa arsip tersenyum sekilas begitu mendengar ucapan Bo-ra. Mereka berdua berjalan keluar dari ruang rapat.

“Kau benar, akan sangat menyenangkan jika aku bekerja di sana. Bangunannya saja sangat mewah. Tapi aku juga akan mendapat banyak sekali pekerjaan Bo-ra ya. Untuk sementara, aku lebih senang bekerja di tempat ini. Setelah menikah nanti, bukankah tugasku akan semakin berat? Belum lagi jika aku memiliki seorang bayi,” So-ra mengedipkan sebelah matanya.

Aigoo eonni, rupanya kau sudah sangat tidak sabar, sampai memikirkan mengenai seorang bayi,” Bo-ra menggodanya, membuat keduanya terkekeh.

“Sudah, aku harus pergi. Pangeran tampanku sudah menunggu di depan sana,” So-ra menyerahkan tumpukan arsip itu pada Bo-ra, membuat Bo-ra bedecak sebal.

Eonni jamkkanman ….”

Suara teriakan bernada protes yang terlontar dari mulut Bo-ra tenggelam di udara begitu saja, tak berpengaruh sedikitpun pada mobil. Gadis itu berjalan dengan langkah ringan menuju halaman depan museum, tempat dimana mobil Bentley hitam Ji-yong terparkir sempurna.

“Apa kita akan terlambat? Aku harap tidak. Aku dan yang lainnya harus mengadakan rapat untuk membahas pameran tahunan. Aku lelah sekali Ji,” begitu sudah berada di dalam mobil, So-ra dengan sigap menyanggul rambut panjangnya. Ji-yong hanya menatap wajah lelah miliknya.

“Orang tuamu baru saja sampai di rumahku, kita tidak akan terlambat. Lagipula makan malam masih satu jam lagi,” Ji-yong menenangkan.

“Syukurlah,” So-ra berucap sambil menyandarkan tubuh lelahnya di kursi mobil. Gadis itu mulai membuka blazer warna krem yang dikenakannya.

“So, apa yang terjadi padamu?” Ji-yong meraih lengan kiri So-ra, menatap lengan itu dengan kedua mata membulat. So-ra ikut menatap lengannya. Kini mereka dapat melihat dengan jelas beberapa guratan melintang di pergelangan So-ra.

“Apa yang terjadi pada lenganmu So-ra ya? Kenapa banyak sekali guratan luka seperti ini? Apa kau terluka?” Ji-yong menatap So-ra dengan tatapan cemas. Sebaliknya, So-ra menatap Ji-yong dengan tatapan heran.

“Ji, aku tidak ingat bagaimana aku bisa mendapatkan bekas guratan ini. Tapi sepertinya ini hanya tergores sesuatu saat aku bekerja di museum tadi. Karena kami akan mengadakan pameran tahunan, aku dan yang lainnya ikut membantu para petuags kebersihan untuk membersihkan semuanya. Aku rasa aku mendapatkan luka ini saat itu,” So-ra menjawab dengan nada riang, berusaha meyakinkan Ji-yong agar pria itu tak lagi merasa cemas.

“Kau yakin ini tidak apa-apa? Kau tidak ingin kita pergi ke Rumah Sakit? Kita tidak akan terlambat sampai di rumahku So-ra ya,” Ji-yong masih merasa cemas.

“Aku baik-baik saja Ji. Kau tahu? Saat ini aku justru lebih merasa lapar,” So-ra terkekeh. Ji-yong hanya bisa ikut tertawa mendengar jawaban So-ra. Bentley hitam itu pun melaju di atas jalanan kota Seoul.

 

November, 3th 2013, So-ra’s Apartment, Gangnam-gu, Seoul, 10PM 

So-ra menyeret tubuh lelahnya melewati ruang tamu menuju dapur, begitu sampai di dapur bergaya minimalis itu, So-ra langsung berjalan ke tempat lemari es berada. Setelah menghabiskan beberapa jam berkumpul sambil menikmati makan malam di rumah calon mertuanya, So-ra merasa tubuhnya terasa sangat lelah, terlebih lagi gadis itu seharian ini disibukkan dengan segudang pekerjaan di museum.

Lemari es itu terbuka, mengumbarkan hawa dingin ke bagian depan tubuh So-ra, yang justru membuat So-ra merasa lebih segar. Biasanya, saat musim gugur tiba, orang-orang akan lebih memilih untuk menyesap minuman hangat, terlebih lagi saat malam tiba, namun So-ra berbeda, gadis itu kini justru lebih memilih untuk menenggak sebotol cola dingin.

Sembari menenggak minuman bersoda itu, So-ra memejamkan kedua matanya sambil bersandar pada lemari es, menikmati setiap tetes cola yang mengalir di tenggorokannya.

Angin pada musim gugur memang lebih sering berhempus, membuat kulit terasa sakit dengan hawa dingin yang seolah menyayat kulit, namun tak sekencang dan seaneh apa yang kini baru saja dirasakan oleh So-ra. Sedetik lalu, saat So-ra masih memejamkan kedua matanya, angin itu berhembus kencang dan cepat, secepat kilatan cahaya, menyisakan kekacauan di wajah So-ra. Wajah cantiknya kini hampir tertutup sempurna oleh rambut panjangnya.

So-ra dengan sigap menyanggul rambut panjangnya, merapikannya. Mata sipit gadis berparas cantik itu dengan waspada mengamati setiap sudut dapur, mencoba mencerna kejanggalan beberapa detik yang lalu. Tak satu celah pun di dapur tersebut yang bisa So-ra simpulkan menjadi alasan angin kencang tersebut untuk masuk. Semuanya tertutup rapat. Bukan, bahkan tak ada satu jendela pun yang terdapat di dapur. Satu-satunya jendela yang ada di apartemen So-ra hanyalah jendela kamarnya, dan jendela itu tentu saja berjauhan dengan dapur, tak satu penjelasan pun akan terdengar cukup logis untuk menjadi alasan.

Tidak pernah sekalipun So-ra merasa takut pada sesuatu berbau mistis, selama ini ayahnya selalu mengajarkan So-ra untuk tidak pernah takut terhadap hal tersebut. Berkat ajaran ayahnya tersebut, So-ra selalu menjadi gadis pemberani yang tidak pernah takut terhadap apapun, namun entah kenapa saat ini semua keberanian yang selalu dipupuknya kini runtuh sama sekali, tak bersisa. Jantung So-ra berdetak dengan tak normal, gadis itu ketakutan, terlebih lagi saat dengan tiba-tiba kedua matanya menangkap pantulan sosok anggun wanita muda dalam balutan dangui[9] warna merah muda dan chima[10] warna biru berhiaskan geumbak[11] di kaca ruang tamu apartemennya. Sosok wanita itu tersenyum padanya, menatap So-ra tepat di kedua manik bola matanya, yang seolah menguncinya agar So-ra tak mengalihkan sedetikpun tatapannya dari sosok tersebut.

Angin itu kembali lagi, bersamaan dengan menghilangnya sosok wanita tersebut. Rasa dingin yang aneh mulai menjalari tubuh So-ra, merajam hingga ke seluruh persendiannya. Kini rasa takut itu bercampur dengan mendaratnya sebuah tepukan halus di bahu So-ra, seolah sebuah tangan dengan sengaja menggapainya. So-ra secepat kilat berbalik.

Kosong.

Ruang tamu apartemen miliknya kosong. Tak ada sosok lain di dalam ruangan tersebut selain dirinya. So-ra lah satu-satunya sosok yang bernafas di dalam ruangan tersebut.  Tak ada yang lain. Semuanya hanyalah benda mati. Dan fakta tersebut justru semakin membuat lutut So-ra lemas, hingga tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Gadis itu terhempas di atas sofa berwarna krem.

Nafas So-ra memburu, seolah gadis itu baru saja mendaki gunung. Matanya terpejam. Jantungnya berirama menggila. Pikirannya tak fokus. Rasa takut itu telah menelannya dalam suasana yang tak dimengertinya sama sekali.

Dengan susah payah diaturnya kembali irama nafas dan detak jantungnya, mencoba kembali fokus melawan rasa takut tersebut. Tepat saat sedetik kemudian kelegaan itu tercifta, sosok lain menyerangnya hingga akhirnya So-ra hanya mampu menjerit dan tak sadarkan diri. Sosok wanita dalam balutan hanbok putih dengan noda bercak darah itu menampakkan dirinya, dengan tiba-tiba, tepat di depan wajah So-ra, menyeringai sambil berbisik pelan.

Jalhaettda.[12]

“Aaaaarrrrgh!”

Jeritan So-ra kini menyatu bersamaan dengan hembusan angin kencang di setiap sudut apartemen, menyapu setiap benda tanpa sisa.

 

November, 4th 2013, Seoul National University Hospital, Gangnam-gu, 10AM

Ji-yong membuka paksa pintu kamar pasien tempat So-ra dirawat. Kedua orang tua So-ra menatap Ji-yong dengan tatapan sedih. Dengan cepat Ji-yong berjalan ke arah ranjang tempat So-ra terbaring. Wajah gadis keras kepala itu pucat, kedua matanya tertutup rapat, pergelangan tangan kirinya terbalut perban warna putih, nafasnya berirama pelan dan tenang. Ji-yong menatap sosok So-ra dengan tatapan heran, tak mengerti bagaimana bisa gadis itu kini tiba-tiba terbaring lemah. So-ra memang sempat mengeluh bahwa dia merasa amat sangat kelelahan, tapi Ji-yong tidak pernah menyangka bahwa gadis itu sampai harus ditemukan terbaring tak sadarkan diri di ruang tamu apartemenya, terlebih lagi dengan luka bekas sayatan di pergelangan tangannya.

“Ji-yong ah, apa kalian bertengkar?” Nyonya Kim, ibu So-ra bertanya pelan dan ragu, saat Ji-yong perlahan dan penuh kehati-hatian menggenggam lengan So-ra.

Yeobo, apa yang kau katakan? Pertanyaan macam apa itu? Bukankah kau sendiri melihat mereka baik-baik saja tadi malam?” Ayah So-ra, Jang Byun-shik, menegur istrinya dengan cepat. Nada suaranya terdengar tinggi. Istrinya kini menangis pelan.

Ji-yong menghembuskan nafas pelan.

Aniyo eommeoni, kami baik-baik saja. Bahkan beberapa hari ini So-ra terlihat sangat bersemangat setelah berhasil menemukan pisau milik Selir Jang. Tadi malam dia sempat mengeluh kelelahan. Waktu dan tenaganya memang sedang terpusat pada festival museum. Tapi luka di tangannya memang menggangguku. So-ra menjawab tak ingat bagaimana dia bisa mendapatkan luka tersebut,” Ji-yong menjawab pelan sambil tak sedetikpun mengalihkan tatapannya dari wajah So-ra. Tangannya menggenggam erat jemari So-ra yang terasa dingin.

“Dokter mengatakan sepertinya So-ra mengalami sedikit stress akibat pekerjaannya. Kau tahu bukan seberapa kerasnya dia saat bekerja? Mungkin dalam beberapa hari dia kan sadarkan diri,” Jang Byun-shik berucap dengan nada pelan.

“Maksud abeonim, saat ini So-ra tidak sadarkan diri? Dia mengalami koma?” Ji-yong menatap wajah ayah So-ra dengan tatapan tak percaya. Pria paruh baya itu mengangguk pelan. Sementara itu, seiring dengan isakan Nyonya Kim, tubuh Ji-yong kembali terhempas di atas kursi, tak mampu lagi berdiri. Hanya mampu menatap wajah So-ra yang terbaring lemah, pucat, tak bergerak.

So-ra ya, apa hal buruk ini yang sempat meresahkanku saat menatap benda kuno itu? 

 

November, 6th 2013, Seoul National University Hospital, Gangnam-gu, 6PM                   

“Ji-yong akan sampai jam sepuluh nanti, dia masih harus menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Sebaiknya kita semua kembali ke rumah. Bukankah Tuan dan Nyonya sudah empat hari berada di rumah sakit untuk menjaga So-ra? Kalian harus beristirahat di rumah, jangan sampai kalian juga harus terkapar sakit. Mulai sekarang biarkan Ji-yong saja yang menjaga So-ra, mulai besok pekerjaannya tidak akan terlalu padat,” Tuan Kwon, ayah Ji-yong menyarankan, begitu dia dan istrinya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah setelah sejak sore tadi mereka menjenguk So-ra.

Nyonya Kim dan Tuan Jang termenung sejenak, mencerna saran calon besannya tersebut.

“Tidak perlu cemas, para perawat akan menjaga So-ra dengan baik sebelum Ji-yong datang,” Nyonya Han, ibu Ji-yong menenangkan.

Yeobo, sebaiknya kita kembali ke rumah. Kita memang perlu istirahat. Besok siang kita bisa kembali ke rumah sakit,” Tuan Jang akhirnya membuka mulut, sementara itu Nyonya Kim hanya bisa menuruti permintaan suaminya.

 

November, 6th 2013,Kwon’s Residence, Itaewon, Seoul, 7PM

Yeobo, apa sebaiknya kita batalkan saja pernikahan Ji-yong dan So-ra?” Begitu memasuki ruang tamu rumah mereka, Nyonya Han berucap pelan dan ragu. Meski kalimat yang terlontar itu pelan, namun tak menepis fakta bahwa kalimat tersebut berhasil membuat ayunan langkah Tuan Kwon terhenti seketika oleh rasa terjeut, bingung dan marah seketika.

Yeobo! Apa yang sedang kau bicarakan?!” Tuan Kwon membalikkan tubuhnya, kini sepasang suami istri itu saling berhadapan.

Yeobo, bukankah kau dengar sendiri penjelasan dokter tempo hari? So-ra mengalami stress dan depresi. Sudah empat hari dia tak sadarkan diri. Lihat luka sayatan di pergelangan tangannya itu? Dokter yakin kalau itu perbuatannya sendiri, So-ra hanya mencoba menyangkalnya dengan berpura-pura tidak tahu bagaimana bisa dia mendapatkan luka tersebut. Yeobo, apa kau mau memiliki menantu seperti itu? Menantu dengan mental yang terganggu? Aigoo,” Nyonya Han menghempaskan tubuhnya di atas sofa, wanita paruh baya itu memijat keningnya, berharap sakit kepala yang tiba-tiba menyerangnya menghilang seketika.

Yeobo, bukankah dulu kau sendiri yang berkata bahwa So-ra adalah gadis yang tepat untuk menajdi istri putera kita? Ji-yong sangat mencintainya, begitu juga So-ra. Bagaimana bisa kau setega itu pada mereka? Sudah, hentikan semua omong kosong ini. Buang jauh-jauh pikiran konyol itu. Sebaiknya kita berdua istirahat, besok kita masih harus membantu orang tua So-ra,” Tuan Kwon berjalan ke arah tangga, memutuskan untuk segera beristirahat di kamarnya yang berada di lantai atas.

Nyonya Han, sementara itu, masih terduduk lemas di atas sofa, tak ingin beranjak sedikitpun dari tempatnya kini terdiam. Wanita anggun ibu Ji-yong itu memang amat sangat menyukai So-ra, So-ra adalah gadis cerdas dan manis yang berhasil mencuri perhatiannya dari sekian banyak teman dekat Ji-yong. Di mata Nyonya Han, So-ra sangat istimewa, dia yakin So-ra akan mampu menjadi sosok istri sempurna untuk putera satu-satunya tersebut. Namun sejak kejadian beberapa hari yang lalu keyakinan dalam hati Nyonya Han perlahan-lahan mulai menguap, menjadi rasa takut, entah karena alasan apa.

Kepala wanita paruh baya itu semakin terasa sakit dan berat, kedua kakinya tak ingin dia paksa untuk meniti satu persatu anak tangga. Tidak. Dia terlalu lelah dan pusing untuk melakukannya. Kini, yang bisa dilakukannya hanyalah memejamkan kedua matanya. Nyonya Han terlelap di atas sofa ruang tamu.

 

November, 6th 2013, Kwon’s Residence, Itaewon, Seoul, 10PM

Nyonya Han terbangun dari tidurnya, udara dingin yang tiba-tiba mencambuknya berhasil membuat wanita paruh baya itu terjaga. Masih sambil mencoba menajamkan fokus kedua matanya, Nyonya Han mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang kini telah gelap sepenuhnya, sebuah lampu duduk menjadi penerang satu-satunya di ruangan tersebut.

Kedua manik bola mata Nyonya Han menangkap kibaran kain gorden warna emas yang berada di seberang ruangan, menatap jendela yang terbuka, yang menjadi alasan dinginnya ruangan tersebut. Dengan tenaga yang masih belum sepenuhnya terkumpul, Nyonya Han mencoba untuk bangkit, berniat untuk menutup jendela dan segera bergegas ke kamarnya.

Namun, Nyonya Han tak mampu bangkit, tubuhnya seolah menempel pada sofa ruang tamu. Tak peduli seberapa keras usahanya untuk melepaskan diri dari sofa tersebut, Nyonya Han tetap saja tak mampu bangkit, semua usahanya berujung sia-sia.

Beberapa detik kemudian, saat Nyonya Han masih berkutat dalam usahanya untuk membebaskan diri, tubuhnya justru terlontar dari sofa, melayang melintasi ruang tamu hingga akhirnya menghantam kaca jendela yang terbuka, dan berakhir dengan terhempasnya tubuh tersebut di atas tanah berlapis tumpukkan dedaunan kering di taman belakang rumahnya.

Nyonya Han masih belum mampu mencerna semuanya, otaknya masih sibuk mencari teori yang bisa dijadikan alasan untuk kejadian tak logis yang baru saja dialaminya. Tak ada seorang pun di dalam ruang tamu kecuali dirinya. Jadi tak mungkin apa yang baru saja dialaminya adalah ulah tukang sulap sinting yang tak punya pekerjaan, pun tak mungkin Nyonya Han saat ini sedang bermimpi, semua badannya terasa hampir remuk. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, jadi tak mungkin dia sedang bermimpi.

Nafas Nyonya Han belumlah berirama normal saat dengan tiba-tiba sepasang tangan mencengkram kedua kakinya dengan sangat kuat. Tangan tanpa badan itu menyeretnya mundur, membuat tubuh Nyonya Han goyah dan jatuh dengan posisi terlengkup. Nyonya Han ingin menjerit, namun suaranya menolak untuk keluar, seolah wanita itu bisu.

Tubuh Nyonya Han terus terseret di atas tanah berlapiskan dedaunan kering. Hawa dingin kini menjalari tubuh bagian depannya seumpama ribuan jarum yang ditusukkan secara bersamaan di setiap pori-porinya. Darah segar mulai memuncrat dari mulutnya, menjadi semacam cat yang sengaja digunakan untuk mewarnai dedaunan kering warna kuning tersebut, menyisakan polkadot merah bercak darah. Di sudut taman, tepat di ujung tembok, tubuh Nyonya Han tergeletak mengenaskan, wanita itu kini terbatuk-batuk, nafasnya terasa amat sangat berat. Setiap kali dia mencoba untuk menarik nafas, maka jutaan rasa sakit itu menyerangnya secara membabi buta.

Ditengah semua rasa sakit yang mengepungnya, tepat di depan wajahnya yang masih terbaring di atas tumpukan dedaunan kering, kedua mata Nyonya Han dipaksa untuk kembali membulat. Sepasang kaki telanjang berdiri di hadapannya, menyokong tubuh sosok yang Nyonya Han yakini adalah seorang perempuan. Nyonya Han memberanikan diri untuk menengadahkan kepalanya, tiba-tiba merasa begitu sangat penasaran pada sosok tersebut. Untuk kesekian kalinya kedua bola mata Nyonya Han membulat. Sosok gadis itu dikenalnya. Amat sangat dikenalnya.

“Kau…Bagaimana mungkin kau….Apa yang kau lakukan?” Suara bernada pelan dan tersendat-sendat milik Nyonya Han berhembus bersama angin dingin musim gugur. Helai demi helai dedaunan kering bahkan kini perlahan-lahan turun.

Daebi mama[13], sejak awal aku ingin membunuh Daebi mama dengan kedua tanganku, membayar semua perbuatan Daebi mama yang tak pernah sedikitpun membuka hati untukku,” gadis yang dikenal Nyonya Han itu melontarkan kalimat yang tak sedikitpun mampu dipahami oleh logika Nyonya Han.

Daebi mama?? Apa maksudmu? Apa yang sedang kau bicarakan?!” Nyonya Han menatap wajah gadis itu dengan tatapan heran.

Daebi mama sejak dulu selalu membuatku menderita, dan sekarang kau ingin melakukan hal yang sama dengan Daebi mama, Nyonya Han?  Membuat gadis ini menderita? Bahkan membuat puteramu juga menderita?” Suara itu berupa bisikan, seumpama bisikan penuh desisan ular. Dingin, pelan, mengerikan.

“Apa maksudmu?” Nyonya Han putus asa.

“Kau tahu Nyonya Han? Kau membuatku teringat pada Ibu Suri Myeongseong. Jadi kau tidak punya pilihan, kau harus mati malam ini. Harus,” desisan itu kembali terdengar.

Nyonya Han membulatkan kedua matanya sambil menggelengkan kepala secepat mungkin, memohon belas kasih. Tak ingin mati begitu saja.

Sosok gadis yang dikenali oleh Nyonya Han itu kini berjalan mundur dengan senyum seringai dan geraian rambut yang sebagian menutupi wajahnya. Desisan yang keluar dari mulutnya kembali terdengar, seolah gadis itu sedang melafalkan mantra. Nyonya Han berharap saat ini tubuhnya memiliki kekuatan untuk bisa berlari dari tempat tersebut, atau paling tidak Nyonya Han berharap dia bisa berteriak, mengeluarkan suara untuk memanggil nama suaminya, meskipun semua harapannya itu tak satu pun yang benar-benar terwujud, hanya berujung angan kosong.

Tangan sosok gadis yang kenali oleh Nyonya Han itu mengangkat lengannya pelan, dan bersamaan dengan itu tubuh Nyonya Han seketika kembali melayang hingga akhirnya berhenti tepat di hadapan gadis itu. Leher Nyonya Han bersarang dalam cengkraman jemari kanan gadis itu. Tangan itu dingin, kuku-kukunya yang tajam terbenam sempurna di sekitar urat leher Nyonya Han, membuat tubuh wanita paruh baya itu mengejang. Nyonya Han kehabisan oksigen, dia perlu bernafas. Darah segar kembali memuncrat dari mulutnya, membasahi dagu hingga bajunya.

Tawa menggelegar terdengar memenuhi setiap penjuru taman begitu wajah tersiksa Nyonya Han tertangkap oleh kedua bola mata gadis itu. Namun suara itu hanya bisa didengar oleh Nyonya Han, tidak oleh yang lain. Tawa itu semakin membuat Nyonya Han merasakan sekarat dengan amat sangat jelas.

Sebelum semuanya menjadi gelap, Nyonya Han masih bisa mengingat saat dirinya melayang di udara, melewati lantai dua rumahnya, hingga melewati genting rumah dan akhirnya terhempas di atas tumpukan salju setelah sebelumnya kepalanya terlebih dahulu terbentur pada sebongkah batu besar. Nyonya Han terkapar mengenaskan di atas hamparan dedaunan kering. Dingin, kaku, tak bernafas.

 

November, 6th 2013, Seoul National University Hospital, Gangnam-gu, 10.30PM

Ji-yong menepuk pelan bahu perawat yang kini tampak terlelap di samping ranjang tempat sosok So-ra terlelap, membangunkannya. Begitu terbangun dan mendapati sosok Ji-yong yang telah berdiri di sampingnya, perawat itu tampak sedikit terkejut, dengan cepat dia bangkit.

Choesonghamnida, saya sangat kelelahan, jadi saya tertidur,” Perawat tersebut membungkukkan badannya, meminta maaf.

“Tidak apa-apa Suster Hwang. Terima kasih sudah mau menjaga So-ra,” Ji-yong berucap sambil tersenyum.

“Kalau begitu, saya permisi,” Perawat tersebut membungkukkan badannya untuk yang kedua kalinya.

“Silahkan,” Ji-yong menjawab singkat.

Perawat Hwang baru saja ingin membuka pintu saat tiba-tiba Ji-yong memanggil namanya kembali, membuat gerakan tangannya terhenti.

“Suster Hwang, apa So-ra masih belum sadarkan diri?” Ji-yong menatap wajah perawat tersebut dengan penuh harap, berharap bahwa So-ra tersadar dari komanya saat dia sedang berada di kantor. Perawat itu menggelengkan kepalanya pelan, membuat harapan Ji-yong hancur seketika. Setelah melakukannya, perawat tersebut benar-benar menghilang dari ruangan tersebut, menyisakan sosok Ji-yong yang tampak lemah.

Sepeninggal perawat tersebut, Ji-yong menghempaskan tubuh lelahnya di atas kursi di samping ranjang. Ditautkannya jemari miliknya pada jemari lentik milik So-ra, menggenggamnya erat untuk kemudian mengecupnya. Ji-yong memejamkan kedua matanya, membiarkan aliran anak sungai kecil jatuh di kedua sisi pipinya, membentuk sebuah garis basah. Ji-yong menangis, tak mampu lagi membendung kesedihannya. Pertahanannya hancur.

“So-ra ya, kapan kau akan bangun? Tidakkah kau merindukanku? Eoh?” Ji-yong berguman pelan sambil menatap wajah So-ra, pandangan pria itu mengabur oleh airmatanya. Airmata Ji-yong kembali terjatuh.

“Aku merindukanmu Ji. Tentu saja aku merindukanmu,” suara pelan milik So-ra itu nyata terdengar di telinga Ji-yong, terlepas dari fakta bahwa suara itu bernada pelan. Ji-yong mendongakkan kepalanya, menatap wajah So-ra, memastikan bahwa telinganya tak salah mendengar. Dan saat mendapati senyum So-ra terkembang di wajah pucatnya, Ji-yong merasa amat sangat lega. Pria itu bangkit dan memeluk tubuh So-ra seketika.

“So-ra ya, akhirnya kau sadar. Kau membuatku ketakutan,” Ji-yong masih memeluk So-ra, tangan kanannya sibuk mengelus kepala So-ra dengan lembut.

“Maafkan aku Ji, seharusnya aku lebih sering mendengarkan ocehanmu soal kesehatanku,” So-ra berucap sambil tersenyum.

Keurae, kau harus mendengarkanku mulai saat ini,” Ji-yong melepaskan pelukannya, ditatapnya wajah pucat So-ra yang sedang tersenyum menatapnya. Detik berikutnya sebuah kecupan mendarat di bibir pucat So-ra.

 

 November, 7th 2013, Seoul National University Hospital, Gangnam-gu, 8PM

“Dokter, bisakah aku kembali ke rumah hari ini? Aku sudah merasa baik-baik saja. Lagipula di sini sangat membosankan, terlebih lagi bau obat-obatan, aku tidak tahan jika harus selalu menciumnya,” So-ra menatap Dokter Jung dengan tatapan memohon begitu dokter yang juga sahabat ayahnya itu selesai memeriksanya pagi itu.

Dokter Jung tersenyum pelan, hafal dengan kebiasaan So-ra yang selalu tak tahan dengan bau obat-obatan.

“Kau bisa kembali ke rumah besok pagi So-ra ya, tapi tidak hari ini, jadi jangan coba merengek padaku agar memberimu izin pulang,” Dokter Jung membulatkan kedua matanya, berpura-pura bersikap galak.

Saat keduanya, So-ra dan Dokter Jung sama-sama tergelak, seseorang membuka paksa pintu ruang inap So-ra hingga kini terbuka dengan selebar-lebarnya, menimbulkan bunyi kasar yang dengan refleks membuat So-ra serta Dokter Jung ikut menolehkan kepala mereka. Di ujung pintu yang terbuka lebar itu, sosok Ji-yong berdiri dengan wajah kaku, kedua matanya yang tampak memerah ikut menatap So-ra dengan kosong, seolah jiwa Ji-yong kini tak lagi bersemayam dalam tubuhnya hingga apa yang saat ini terlihat di kedua mata So-ra adalah sosok rapuh Ji-yong. Sosok yang tak pernah sekalipun So-ra lihat sebelumnya.

“Ji…” So-ra berucap pelan, gadis itu beranjak dari tempat ia berbaring, berjalan dengan langkah panjang ke arah Ji-yong, membuat keduanya kini hanya berjarak satu lengan. Dokter Jung tanpa terlebih dahulu berpamitan memutuskan untuk segera ke luar dari ruangan tersebut, membiarkan keduanya.

“Ji, apa yang terjadi hah? Kenapa kau diam saja? Katakan sesuatu padaku,” So-ra kini meraup kedua belah pipi Ji-yong, menyejajarkan kedua bola mata mereka berdua.

Saat kedua bola mata mereka bertemu, cairan bening perlahan mulai keluar dari mata Ji-yong, membuat So-ra terkesiap.

“Ji…” Nada suara So-ra kini mulai bergetar, ada raut cemas dan takut dalam suara tersebut. Kedua bola matanya dengan awas tampak mengamati setiap inci wajah Ji-yong, masih berharap mampu menemukan secuil petunjuk yang mampu menjawab semua rasa cemas dalam hatinya.

Eomma Eomma Eomma…” Ji-yong tak mampu merampungkan kalimatnya. Rentetan kata lainnya tertahan di dalam mulutnya yang tiba-tiba menjadi bisu. Kening So-ra berkerut seiiring dengan memerahnya kedua bola matanya. Detik berikutnya kepala Ji-yong sudah terbenam sempurna di dada So-ra.

 

November, 7th 2013, Kwon’s Family Residence, Itaewon, Seoul, 8PM  

Untuk kesekian kalinya Ji-yong dan ayahnya, Tuan Kwon, bersujud, melakukan penghormatan resmi dengan tamu yang datang untuk menyatakan belasungkawa atas kematian Nyonya Han. Jika mampu untuk memilih, Ji-yong dengan senang hati akan memilih untuk melarikan diri dari tempat tersebut, menghilang ke tempat terjauh yang membuatnya tak lagi bisa menemukan jalan untuk kembali pada kenyataan. Berdiri di sisi foto ibunya yang telah terhiasi jajaran bunga krisan putih hanya semakin membuat hatinya teriris, terlebih lagi saat mengetahui fakta bahwa jasad ibunya ditemukan dalam keadaan mengenaskan.

“Tidak ada yang perlu disalahkan atas kematian ibumu Ji-yong ah. Ini semua murni kecelakaan semata, meskipun appa tidak tahu bagaimana bisa ibumu bersikap ceroboh hingga ia bisa terjatuh dari balkon kamar.”

Beberapa jam yang lalu Tuan Kwon melafalkan kalimat tersebut begitu Ji-yong dengan terbata-bata dan terisak mempertanyakan soal kematian ibunya.

“Ji-yong ah, appa rasa appa sebaiknya pergi ke kamar. Kau bisa memanggil appa jika ada tamu yang datang,” Tuan Kwon menepuk bahu Ji-yong, wajah pria paruh baya itu tampak amat sangat lelah, matanya tampak memerah. Sebagai jawaban, Ji-yong hanya mengangguk pelan.

Sepeninggal ayahnya, Ji-yong terduduk di lantai, dilayangkannya tatapan ke sekelililng ruangan. Orang tua So-ra tampak sibuk melayani para tamu yang hadir. Pagi tadi, saat Ji-yong memberitahu So-ra soal kematian ibunya, gadis itu memaksa untuk ikut bersamanya, namun Ji-yong menolak untuk membawa So-ra. Kondisi So-ra memang sudah pulih, namun Ji-yong tidak ingin mengambil resiko, bagaimana pun juga dokter tetap menyarankan agar gadis itu kembali ke rumah besok pagi.

“Tuan Muda…”

Sebuah sapaan bernada ragu dan pelan bersarang di telinga Ji-yong, membuat pria muda itu dengan pelan menengadahkan kepalanya agar mampu menatap sosok pemilik suara tersebut. Ji-yong hafal pemilik suara itu. Suara milik Baek Soo-mi, perempuan muda yang usianya tak terpaut jauh dengan Ji-yong itu telah empat bulan bekerja di rumah keluarga Kwon, menggantikan ibunya yang jatuh sakit.

Keurae Soo-mi ya, apa kau butuh sesuatu? Apa kita kehabisan makanan?” Ji-yong masih terduduk lemah di lantai, Baek Soo-mi kini ikut duduk di hadapannya.

“Tidak Tuan Muda, semuanya baik-baik saja. Hanya saja, ada hal aneh yang mengganggu saya,” Baek Soo-mi masih berbicara dengan nada ragu dan pelan, gadis itu beberapa kali meremas ujung kemeja yang dikenakannya, gugup.

“Apa maksudmu Soo-mi ya? Aku tidak mengerti,” Ji-yong menuntut penjelasan.

“Kematian Nyonya Han, aku melihatnya.”

Suara yang terlontar dari bibir Baek Soo-mi itu masih sama, pelan dan bergetar, penuh dengan ketakutan dan keraguan. Namun telinga Ji-yong masih bisa mendengar semuanya dengan jelas, pun dengan rentetan kalimat pengiring lainnya yang semakin membuat kedua bola mata Ji-yong membulat.

 

November, 6th 2013, Hongdae Flat, Dongkyo-dong, Seoul, 11PM

Baek Soo-mi merapatkan mantel tebal yang membungkus tubuh kurusnya. Setelah menutup pintu flat dan menuruni tangga, gadis itu akhirnya melangkahkan kakinya menyusuri gang kecil menuju sebuah halte di ujung jalan. Bus tersebut nantinya akan membawa Baek Soo-mi ke sebuah coffee shop tempatnya bekerja.

Sebelum memutuskan untuk berangkat, Baek Soo-mi telah mencoba meyakinkan hatinya ratusan kali. Menjadi saksi mata sebuah pembunuhan misterius malam sebelumnya membuat jiwa Baek Soo-mi terguncang dan ketakutan, terlebih lagi apa yang disaksikannya adalah sesuatu yang sulit dicerna oleh logikanya.

Baek Soo-mi tak lagi dapat menyangkal fakta bahwa gadis itu ketakutan, bahwa dirinya merasa dihantui, diawasi setiap saat, entah oleh siapa. Sama seperti saat ini, Baek Soo-mi merasa seseorang membuntutinya. Baek Soo-mi ingin menengokkan kepalanya ke belakang, mencari tahu siapa sosok tersebut, namun lagi-lagi hanya kekosongan yang mampu didapatinya.

Baek Soo-mi mempercepat ritme kakinya, berharap dirinya segera sampai di ujung jalan agar dia bisa terbebas dari gang sempit tersebut, terbebas dari sosok yang dirasa membuntutinya. Namun, semakin cepat ritme kaki Baek Soo-mi berjalan, makan jalanan gang sempit itu semakin terasa panjang dan tak pernah mencapai ujungnya. Baek Soo-mi seolah berjalan di sisi yang sama, seolah menjadi seekor hamster kecil yang berjalan di atas roda mainannya.

Nafas Baek Soo-mi kini memburu, dikepung oleh rasa takut dan lelah secara bersamaan. Peluh membanjiri kening mulusnya, tubuhnya tak lagi merasakan dinginnya angin musim gugur. Baek Soo-mi berjalan dengan cepat sambil menolehkan kepalnya ke arah belakang begitu di dengarnya sebuah suara bisikan asing, namun untuk kesekian kalinya tak ada apapun yang mampu dilihatnya kecuali semilir angin musim gugur yang dingin. Dan, saat akhirnya Baek Soo-mi kembali menolehkan kepalanya ke depan untuk mencari tahu jarak yang kini harus dilaluinya untuk sampai di halte, sosok itu pun muncul, membuat Baek Soo-mi terdiam kaku, terlalu terkejut untuk sekedar mengeluarkan sebuah jeritan sekalipun.

“Kau berani membuka mulut besarmu itu nona muda. Dan kau harus menanggung semuanya.”

Suara itu hanya sebuah desisan pelan, desisan kering namun mampu membuat sekujur tubuh Baek Soo-mi menjadi lemas. Wajah sosok yang kini ada di hadapannya tak terlihat, wajahnya tertutup sempurna oleh rambut hitam panjangnya. Hanya tubuhnya yang terbungkus pakaian rumah sakitlah yang saat ini mampu tertangkap oleh kedua lensa mata Ji-woo.

Baek Soo-mi tetap terdiam kaku meskipun sosok itu kini menghilang dari pandangannya, raib entah kemana. Seiring dengan menghilangnya sosok tersebut, kini leher Baek Soo-mi merasakan sesuatu, seolah dua tangan dingin menyentuh lehernya. Gadis itu membulatkan mata, namun masih tak mampu memverbalkan satu kata pun. Belum lagi gadis itu mampu mencerna semuanya, kini sesuatu yang lain kembali menggerayanginya, helai demi helai rambut hitam muncul dari sela-sela bibirnya, merambat keluar seumpama tumbuhan menjalar. Helai rambut tersebut terus merambat keluar, membelit lehernya dengan kuat, membuat Baek Soo-mi tercekik hingga tak mampu bernafas.

Kerongkongan gadis itu memanas, tak mampu merasakan udara sedikitpun, seolah terbakar oleh api panas. Mata sipitnya membulat penuh, bibirnya membiru. Senada dengan mulutnya yang tak mampu mengeluarkan secuil bunyi, kedua tangan Baek Soo-mi pun tak mampu bergerak, keduanya kaku di samping sisi tubuhnya. Kini tubuh kurusnya tak lagi menjejak di tanah, terangkat beberapa centi di atasnya, membuat gadis itu meronta-ronta kesakitan, tak mampu lagi harus menahan nafas.

Sebelum Baek Soo-mi terjatuh di atas tanah, sosok tanpa wajah itu kembali muncul, menyentuh kerah mantel Baek Soo-mi dengan kasar, Baek Soo-mi tak mampu melawannya, hanya berusahan dengan sisa tenaga yang dimilikinya untuk menarik piyama rumah sakit yang dikenakan sosok tersebut. Menarik piyama tersebut dengan sisa tenaga untuk mencopot kancing putihnya.

Tuan Muda, anda harus menemukan pembunuh kami. Harus.

 

November, 8th 2013, Seoul National University Hospital, Gangnam-gu, 10AM

“Kau baik-baik saja Ji?” So-ra melayangkan tatapan cemas pada Ji-yong yang kini sedang sibuk melipat beberapa pakaian milik So-ra. Pagi ini So-ra akan meninggalkan rumah sakit. So-ra pun saat ini sedang sibuk menyisir rambut panjang miliknya setelah gadis itu selesai mengganti pakaiannya.

“Aku baik-baik saja So-ra ya, hanya sedikit pusing dengan semua hal yang terjadi tiba-tiba belakangan ini,” Ji-yong menjawab pelan, kedua tangannya masih sibuk melipat pakaian.

“Semuanya akan kembali seperti sebelumnya Ji, lagipula aku selalu ada di dekatmu bukan?” So-ra tersenyum lembut pada calon suaminya tersebut, membuat hati Ji-yong justru semakin terusik. Terusik oleh semua perkataan Baek Soo-min tempo hari tentang kematian ibunya dan hubungan So-ra dengan semua itu.

So-ra masih sibuk menyisir rambut panjangnya, pun dengan Ji-yong, kedua tangannya sibuk melipat pakaian milik So-ra sampai akhirnya gerakan tangannya terhenti saat kedua lensa matanya menatap sesuatu di pakaian piyama rumah sakit tersebut. Sebuah bulatan kecil semerah darah tercetak sempurna tepat di samping lubang kancing yang raib entah kemana. Saat itu, hati Ji-yong semakin terusik.

 

November, 8th 2013, Samsung Tower, Jang’s Family Residence, Seoul, 8PM 

“Apa kau sudah makam?” Nyonya Kim masih menggenggam erat tangan kanan Ji-yong saat keduanya melewati ruang tamu apartemen keluarga Jang.

Ne eommeoni, aku sudah makan,” Ji-yong berbohong, tak ingin membuat wanita itu cemas, namun di saat yang sama Ji-yong juga tak mampu menelan secuil makanan pun, terlebih lagi setelah sore tadi dia mendapat kabar dari polisi bahwa sosok Baek Soo-mi ditemukan tewas beberapa jam setelah dia menyelesaikan pekerjaannya di rumah keluarga Ji-yong. Polisi sempat melakukan penyelidikan terhadap Ji-yong, mengajukan beberapa pertanyaan yang mengacu pada kejadian yang terjadi pada Baek Soo-mi sebelum akhirnya gadis itu meninggalkan kediaman keluarga Ji-yong. Dari keterangan pihak polisi, Ji-yong semakin merasa semakin terusik dan putus asa secara bersamaan ketika mereka memberitahu dirinya tentang sebuah kancing warna putih yang ditemukan tergenggam di tangan Baek Soo-mi.

“Kau tidak datang bersama So-ra?” Tuan Jang yang tampak sedang sibuk membaca sesuatu di depan laptopnya bertanya pelan pada Ji-yong, mengalihkan sejenak tatapannya dari benda tersebut.

Yeobo, Ji-yong justru datang kemari untuk mencari So-ra. Dia berkata sejak tadi siang, setelah Ji-yong mengantarkan So-ra ke apartemennya, So-ra tidak bisa dihubungi,” Nyonya Kim menjawab, menjelaskan alasan kunjungan Ji-yong.

“Mungkin So-ra masih berada di museum, tadi sore dia menelepon ingin pergi ke sana untuk menyimpan jangdo Selir Jang,” Tuan Jang mencoba untuk menenangkan calon menantunya, namun kalimat tersebut justru semakin membuat dada Ji-yong berdetak kencang.

Abeonim, maksud abeonim selama ini So-ra belum mengembalikan benda tersebut?” Ji-yong berucap dengan suara sedikit bergetar, membuat kedua orang tua So-ra kebingungan.

“Ji-yong ah, ada apa?” Nyonya Kim menyentuh bahu Ji-yong.

Ji-yong menolak untuk menjawab pertanyaan calon ibu mertuanya, pria itu terdiam dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Sibuk mengulang semua potongan gambar beberapa peristiwa yang dilaluinya selama satu minggu terakhir, sibuk memecahkan semua teka-teki misterius yang tiba-tiba mengepungnya beberapa hari terakhir.

Saat pertama kali jangdo hasil temuan So-ra itu muncul dengan semua keanehan yang terjadi setelahnya, komanya So-ra, kematian ibunya serta kematian Baek Soo-mi, pengakuan Soo-mi tentang sosok So-ra yang dilihatnya saat kematian ibunya bercak darah dan hilangnya kancing piyama rumah sakit So-ra, serta temuan kancing dalam genggaman jasad Baek Soo-mi, semua itu bermuara pada satu kesimpulan paling menakutkan dan tak masuk akal yang pernah Ji-yong simpulkan selama hidupnya.

Abeonim, kapan Selir Jang meninggal? Dimana tempatnya? Bukankah dia mendapat hukuman mati?” Setelah kesimpulan tersebut berkelebat dalam benaknya, secepat kilat Ji-yong bertanya pada Tuan Jang.

“Selir Jang meninggal karena mendapat hukuman mati, dia terpaksa meminum sayak[14] atas perbuatannya yang telah memerintahkan seorang shaman[15] untuk membunuh Ratu Inhyun. Dia meninggal di pelataran Chwiseondang, kediaman resminya selama menjadi seorang selir,” Tuan Jang menjelaskan.

“Dia meninggal tahun 1701, hari kesepuluh, bulan kesepuluh Lunar,” pria paruh baya itu menghentikan ucapannya sesaat, tampak mencoba mengingat sesuatu. Kening Ji-yong berkerut, tak mampu mencerna bulan dan tanggal tersebut. Tuan Jangmasih terdiam, Ji-yong menahan nafas menunggu lontaran kalimat lainnya.

“Jika kita menghitungnya dengan bulan Masehi, Selir Jang meninggal tepat pada tanggal 9 November,” saat menyelesaikan ucapannya, raut ketakutan tergambar di kedua mata Tuan Jang, pria itu saling bertatapan dengan Ji-yong, mereka seolah berbicara lewat tatapan mata.

Kini, setelah Ji-yong mendapatkan jawabannya, dengan cepat pria itu berlari ke arah pintu, hanya satu tujuannya saat ini, National Palace Museum of Korea. Ji-yong harus menemukan So-ra secepatnya.

 

November, 8th 2013, National Palace Museum of Korea, Jongno-gu, 9PM   

Ji-yong memarkir kasar mobilnya di depan gerbang timur Gyeongbokgung, setelah membebaskan diri dari dalam mobil, pria itu dengan cepat berjalan ke arah bangunan utama museum. Ji-yong tahu museum itu sudah tutup sejak pukul enam petang tadi, namun Tuan Jang berhasil menghubungi petugas keamanan museum agar memberi Ji-yong izin untuk bisa memasuki bangunan tersebut dan mencari sosok So-ra.

Begitu Ji-yong tiba di depan pintu masuk, seorang petugas dengan cepat menghampirinya.

“Tuan, Nona So-ra tidak ada di museum ini, sejak sore dia tidak datang ke museum. Saya sudah mencarinya di semua tempat,” petugas keamanan itu berucap cepat, namun Ji-yong mengabaikannya, tak percaya pada ucapan petugas tersebut.

Ji-yong menerobos masuk, pria itu berlari ke semua sudut lantai dasar museum, mencoba menemukan sosok So-ra. Saat tak mendapati So-ra di lantai dasar, Ji-yong berlari meniti anak tangga, meneruskan pencariannya, pun museum café, museum shop, semua tak lepas satu inci pun yang terlewat oleh Ji-yong. Namun hasilnya sama, nihil, sosok So-ra tak bisa ditemukan. Raib.

Ji-yong bersandar pada pintu kaca lantai dua, mengatur nafasnya yang masih belum berirama normal. Pria itu memejamkan kedua matanya sambil berpikir keras, berusaha menebak tempat So-ra saat ini berada. Dan, di tengah-tengah kesibukannya menormalkan irama nafasnya, sebuah nama muncul dalam benaknya. Ji-yong kembali berlari menuruni tangga, berjalan keluar museum tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada petugas keamanan. Pria itu berlari memasuki kompleks Gyeongbokgung yang bisa diaksesnya lewat mueseum, namu pria itu tak berhenti di kompleks tersebut, sebaliknya, dia melewatinya, terus berjalan menuju ke arah timur, tempat Changdeokgung terletak. Tujuan Ji-yong saat ini adalah Chwiseondang, kediaman resmi Selir Jang. Benaknya hanya mampu meraba tempat tersebut, tidak yang lain.

Ji-yong memang tak mampu mengeja hanja, dia tak pernah mempelajarinya sedikitpun, namun Ji-yong tahu dimana letak Chwiseondang berada tanpa harus kesulitan membaca papan nama yang tergantung di setiap bangunan. So-ra pernah menunjukkan bangunan tersebut padanya, meskipun hanya dalam wujud agmbar, namun Ji-yong masih mampu mengingatnya. Pria itu yakin bisa menemukan tempat tersebut.

Setelah melewati beberapa bangunan yang tak mampu Ji-yong hafal namanya, pria itu pun akhirnya menemukan kediaman resmi sang Selir. Ditapakinya jembatan yang menjadi jalan satu-satunya menuju Chwiseondang, kedua mata Ji-yong terpusat pada bangunan tersebut. Dari kejauhan, setitik cahaya lilin berpendar lembut, terhalang oleh dinding-dinding Chwiseondang. Cahaya lilin tersebut bahkan dengan jelas memamerkan sebuah sileut seorang wanita dalam balutan hanbok dan jjeokjin meori[16]. Wanita itu tampak berdiri di balik jendela Chwiseondang, seolah menanti kedatangan Ji-yong.

Ji-yong yakin tak ada seorang pun di dalam kompleks Changdeokgung saat ini, namun entah kenapa Ji-yong merasa istana tersebut seolah benar-benar hidup. Seolah dipenuhi oleh para penghuni istana. Suara mereka terdengar memenuhi kedua telinga Ji-yong, memekakkan, meskipun hanya berupa bisikan semata.

  “Jusang Jeonha napshio![17]

Sebuah suara lantang yang sering Ji-yong dengar dalam beberapa serial sageuk[18] atau film sejarah bersama So-ra berhasil membuatnya dengan cepat menolehkan kepalanya ke arah belakang. Mata Ji-yong kini dibuat terbelalak oleh munculnya iring-iringan rombongan para dayang dan kasim istana yang tampak dipimpin oleh seorang Raja. Raja yang dengan cepat Ji-yong simpulkan sebagai sosok Raja Sukjong, suami Selir Jang, Raja kesembilan belas Joseon.

Ji-yong mencoba mencerna semuanya, dialihkannya tatapannya ke sekeliling. Istana itu kini tak lagi gelap, semuanya menjadi terang, puluhan pejabat pemerintahan, dayang, kasim, dan seisi istana berkumpul di pelataran Chwiseondang. Ji-yong sadar apa yang dilihatnya saat ini adalah potongan kejadian beberapa ratus tahun lalu.

Iring-iringan Raja itu berjalan mendekatinya, jarak mereka kini hanya tinggal satu lengan, membuat Ji-yong terus berjalan mundur, tak tahu harus berlari ke arah mana, hanya mampu berjalan mundur hingga akhirnya terjatuh setelah sebelumnya menabrak sosok seorang wanita cantik dalam balutan hanbok sutera putih. Wanita cantik itu terduduk lemah di atas sebuah tikar persis di depan Chwiseondang, sebuah meja baca dengan sebuah mangkuk putih berisi cairan hitam ikut tergeletak dengan anggun di depan sosok wanita tersebut.

Jang Heebin!    

Wanita cantik itu, Jang Heebin, terduduk lemas, kedua mata indahnya menatap mangkuk berisi racun dengan tatapan yang sulit untuk diterjemahkan dalam barisan kata. Sedih, putus asa, takut, puas, dan pasrah. Semua rasa itu bercampur dalam tatapannya.

“Kenapa kau melakukan perbuatan kotor tersebut Heebin?!”

Suara lantang Raja Sukjong memenuhi setiap sudut Chwiseondang, wajah Raja Joseon itu memerah menahan amarah. Selir yang amat sangat dicintainya tersebut tega melakukan perbuatan keji, membunuh Ratu Inhyun dengan memerintahkan seorang mudang[19] untuk memberikan jampi-jampi.

“Jeonha, bukankah sudah aku katakan sebelumnya, bahwa apapun yang aku lakukan, tak peduli itu baik atau buruk, semua itu aku lakukan karena aku sangat mencintai Jeonha.”

Kini Ji-yong bisa melihat dengan jelas butiran kristal bening perlahan mulai meluncur dari soket mata Jang Heebin, membentuk aliran sungai kecil di kedua belah pipi mulus wanita cantik tersebut.

“Apapun alasanmu, kau harus tetap menerima hukuman, tak peduli seberapa besarnya rasa cintaku padamu Heebin.”

Raja Sukjong membalikkan tubuhnya, dengan cepat dia berjalan meninggalkan Chwiseondang bersama iring-iringannya, tak ingin menjadi saksi mata saat tubuh Jang Heebin menjadi kejang dan memuntahkan darah segarnya. Raja Sukjong tak ingin hidup dengan terus dihantui oleh potongan gambar menakutkan itu.

Seiring dengan terus menjauhnya sosok Raja Sukjong, Ji-yong menyaksikan Selir Jang meraih mangkuk berisi racun itu dengan kedua tangannya yang bergetar. Mangkuk itu terangkat hingga kini berada tepat di depan bibir Selir Jang, siap meluncur sempurna melewati kerongkongan dalam hitungan detik. Ji-yong menajamkan kedua matanya, menunggu. Tepat saat bibir Selir Jang membuka, Ji-yong tersadar bahwa sosok wanita yang ingin menenggap racun itu kini bukan lagi sosok Selir Jang, namun sosok So-ra dalam balutan hanbok sutera putih dan dandanan rambut layaknya wanita Joseon dulu. Ji-yong denagn cepat menepis mangkuk berisi racun tersebut hingga mangkuk itu mendarat sempurna di atas tikar. Cairan hitam racun itu berceceran di atas tikar. Sosok para pejabat pemerintah, dayang, dan kasim raib seketika tanpa jejak, menyisakan kekosongan dan kseunyian dalam istana Changdeokgung.

Ji-yong ingin meraih tubuh So-ra, menyeret dan membawanya pergi dari tempat tersebut namun tubuh Ji-woo telah dengan cepat menjauh darinya, terbang hingga mendarat tepat di dinding Chwiseondang sebelum akhirnya terkapar di atas tanah kering. So-ra meringis kesakitan.

Ji-yong merasakan hal yang sama, akar pepohonan yang tumbuh di pelataran Chwiseondang perlahan mulai merambat, mengikat kedua tangan Ji-yong. Pria itu tiba-tiba baru saja teringat ucapan singkat So-ra kala mereka membahas istana tersebut, bahwa tak hanya sosok Jang Heebin yang mati terbunuh akibat menenggak sayak, namun Pangeran Sado, putera Raja Yeongjo, cucu Sukjong pun meninggal di area istana Changdeokgung. Mungkin tempat tersebut menjadi semacam tempat terkutuk.

So-ra yang masih terduduk lemah di tanah, bersender pada undakkan batu berbentuk tangga yang menjadi jalan untuk menaiki Chwiseondang. Demi melihat apa yang terjadi pada Ji-yong, gadis itu dengan cepat merangkak menghampiri Ji-yong dengan sisa tenaga yang dimilikinya.

“Ji…” Suara So-ra bergetar dan pelan

Jarak mereka kini hanya helaan nafas. Dekat, hampir tak berjarak. Tangan Ji-yong terbebas dari lilitan akar pepohonan, mereka berdua saling berdekapan. Sedetik berlalu, keduanya saling melepas pelukan, dan rasanya tubuh Ji-yong hampir terpental begitu dilihatnya cairan darah menetes dari setiap lubang pori-pori wajah So-ra. Entah untuk yang ke sekian kalinya tubuh So-ra ditarik oleh dua buah tangan tak bertubuh ke dalam kolong bangunan Chwiseondang. Sebelum sosok So-ra menghilang, di sela-sela jeritan panjangnya gadis itu berahsil melemparkan pisau hias milik Selir Jang pada Ji-yong.

Ji-yong ah……..”

“So-ra ya……….”

Ji-yong tak mampu lagi menemukan sosok So-ra. Benak pria itu kacau, tak tahu lagi harus melakukan apa. Dipungutnya pisau tersebut dengan tangan bergetar.

“Hanya ada satu tempat untuk menghancurkan semua kutukan. Taman Korean Folk Museum tempat kedua belas patung binatang yang melambangkan zodiak China terletak.”

Ucapan Tuan Jang masih tedengar amat sangat jelas di kedua telinga Ji-yong.

“Kau tahu Ji, banyak sekali patung yang dibuat pada zaman Joseon. Fungsinya sebagai pelindung, mereka mampu mengusir arwah jahat.”

Rentetan kalimat So-ra pun masih tersimpan dalam benaknya saat gadis itu dengan penuh semangat menjelaskan padanya tentang berbagai patung yang mereka jumpai di beberapa sudut istana saat mereka melakukan kunjungan.

Kini tujuan akhir Ji-yong adalah taman Korean Folk Museum, tempat kedua belas patung binatang itu terdapat. Dan untuk menyelamatkan nyawa So-ra, Ji-yong harus memastikan bahwa tempat tersebut harus menjadi tempat terakhir, sebelum semuanya terlambat. Sebelum jam menunjukkan pukul dua belas malam. Sebelum tanggal sembilan muncul.

Kaki kurus Ji-yong mulai menjejak tanah.

 

November, 8th 2013, Korean Folk Museum, Jongno-gu, Seoul, 11PM

Ji-yong menerobos pintu masuk menuju museum dari dalam Gyeongbokgung, yang letaknya berada di sebelah museum tersebut. Tak pernah merasa familiar dengan tempat tersebut membuat Ji-yong tak tahu harus berjalan ke arah mana untuk menemukan kumpulan kedua belas patung tersebut. Insting dan otaknya tak bisa diajak bekerja sama, tak mampu memberinya sedikit petunjuk maupun keyakinan untuk melangkahkan kakinya kembali, berjalan ke arah manapun.

Ji-yong terpaku. Bingung. Lelah. Sesak.

Pria itu hanya mampu berdiri dan memegang erat jangdo dalam genggaman tangan kanannya.

Tak ingin membuang waktu, Ji-yong berjalan ke arah timur, tak lagi peduli jika arah yang ditujunya salah. Pria itu hanya tak ingin membuang waktu hingga membuatnya terlambat untuk menyelesaikan semuanya dan menyelamatkan So-ra.  Diseretnya terus kedua kakinya, langkah tersebut semakin cepat, berubah menjadi berlari, tak lagi berjalan.

Tak ada taman, hanya ada jejeran beberapa bangunan hanok[20]. Ji-yong kembali melangkahkan kedua kakinya, berlari ke arah lain, tersesat beberapa kali tanpa menemukan taman tempat kedua belas patung tersebut. Waktunya semakin menipis, pria itu kini hanya memiliki waktu selama tiga puluh menit sebelum akhirnya tanggal sembilan itu muncul.

Dipaksakannya lagi untuk melangkah, meski kenyataannya kedua kakinya itu seolah tak lagi merekat di tubuhnya. Saat jutaan rasa lelah itu membuatnya ingin berhenti sejenak, Ji-yong menatap sosok patung yang membentuk lingkaran, terdapat di sebuah taman, tak jauh dari tempatnya kini berdiri. Ji-yong mengutuk dirinya pelan, merasa sangat begitu ceroboh dan tolol. Sejak awal, seharusnya dia menuju ke arah barat, kumpulan patung itu berdiri tegak tak jauh dari bangunan utama museum.

Bibir Ji-yong tertarik pelan, melukis sebuah lengkungan yang tak pernah muncul sejak kematian ibunya tempo hari. Pria itu merasa bahagia karena akhirnya dia bisa mengakhiri semuanya dalam hitungan detik ke depan.

Untuk entah yang keberapa kalinya, Ji-yong berjalan ke area taman tempat kedua belas patung itu berdiri tegak. Diamatinya patung tersebut satu persatu, saat ini Ji-yong berdiri tepat di depan sosok patung ular. Kedua belas patung tersebut berdiri dengan posisi yang sama, menghadap area museum dalam balutan pakaian kebesaran mereka sambil memegang erat sebuah pedang, seumpama sekumpulan penjaga suci museum.

Hanya perlu beberapa langkah lagi serta sekali tancapan pada sebuah tabung hitam di dalam lingkaran kedua belas patung untuk mengakhiri semuanya. Ji-yong bahkan tak lagi perlu terburu-buru. Pria itu menghela nafasnya terlebih dahulu, sebelum melangkahkan kakinya ke dalam lingkaran kedua belas patung tersebut. Begitu tubuhnya berada dalam lingkaran, angin kencang musim dingin berhembus dengan amat sangat kencang, merontokan helai daun, menerbangkannya hingga beberapa helai dedaunan tersebut mendarat tak jauh dari sosok Ji-yong. Angin itu menolak untuk berhenti, tetap berhembus, bahkan semakin kencang.

“Ji…..”

Ji-yong menghentikan gerakan tangannya yang beberapa saat lalu hendak menancapkan jangdo giok di atas batu hitam. Ji-yong menatap ke arah suara itu berasal, dilihatnya So-ra berdiri di seberangnya, sosok Selir Jang berdiri di belakang So-ra, lengan kirinya mengamit leher So-ra, sedang tangan kanannya menodongkan sebilah pisau kecil tepat di urat leher So-ra. Darah segar perlahan mengucur.

“Pikirkan baik-baik, atau kau bisa menjadi saksi mata kematian calon isterimu hingga kau nantinya akan selalu dihantui oleh penyesalan seumur hidup,” ancaman Selir Jang terdengar di antara hembusan angin kencang.

Andwae Ji, cepat tancapkan jando itu. Hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkanku. Percayalah!” So-ra berteriak keras, berusaha meyakinkan Ji-yong.

Ji-yong terdiam sejenak, merasa kembali resah dan bingung.

Ditengah pertempuran batinnya, sekumpulan pasir terbang ke arahnya, mengepung tubuh Ji-yong hingga pria itu terangkat ke udara, berputar mengikuti arah putaran pasir tersebut. Di dalam gulungan pasir tersebut, sosok lain muncul, sosok tanpa wajah, hanya berupa tangan dengan kuku-kuku panjang yang menghitam. Lengan tanpa tubuh itu mencekik leher Ji-yong, membuat pria itu kesulitan bernafas. Tubuhnya masih berputar  dalam balutan pasir tersebut.

Ji-yong tak ingin menyerah, ditahannya rasa sakit tersebut, dengan kekuatan yang tersisa, ditancapkannya jangdo milik Selir Jang pada tangan tanpa tubuh tersebut. Seiring dengan memuncratnya darah, pusaran pasir itu berhenti, menghempaskan tubuh Ji-yong tepat di atas batu hitam dalam lingkaran kedua belas patung.

Tubuh Ji-yong terasa remuk, tulangnya terasa patah. Darah segar mengalir perlahan dari mulutnya, kedua matanya terus berusaha membuka. Ji-yong lelah, tak lagi memiliki tenaga.

“Ji…..”

Jeritan So-ra menyadarkannya, membuat jari Ji-yong bergerak.

Gerakan itu pelan, gerakan yang hanya berasal dari sisa tenaga yang dimilikinya.

Jangdo itu terangkat, tak tinggi, hanya sebuah ancang-ancang rendah agar Ji-yong mampu menancapkannya dengan benar dan hanya dalam satu kali tancapan.

Triiiiiing….

Saat jangdo itu tertancap, seiring dengan bunyi tersebut, angin semakin berhembus dengan kencang. Dari kedua matanya yang tampak setengah terpejam, Ji-yong dapat melihat dengan jelas dedaunan kering yang beberapa saat lalu tergeletak di jalanan kini berkumpul dan terbang ke arah sosok Selir Jang, membungkusnya, untuk selanjutnya terbang ke langit dan tak terlihat lagi, hanya menyisakan lengkingan panjang bernada memilukan.

Ji-yong memejamkan kedua matanya sejenak, menghirup pelan udara dingin musim gugur. Saat kedua matanya kembali terbuka, didapatinya sosok So-ra telah berdiri di sampingnya.      

Hi, are you okay?

So-ra mengusap lembut wajah Ji-yong yang sebagian ternodai oleh luka. Kedua mata So-ra berair.

I hate History. I do hate it.Ji-yong menjawab pelan sambil menatap So-ra, jemari tangannya yang masih bergetar ikut mengusap airmata So-ra yang turun perlahan. So-ra hanya mampu tergelak begitu mendengar jawaban Ji-yong.

I love you Ji, I do love you.”

Belum sempat Ji-yong menjawab kalimat So-ra, gadis itu sudah terlebih dahulu menghujaninya dengan sebuah ciuman hangat di bibirnya, membuat Ji-yong tak mampu berkata sepatah katapun. Membuat Ji-yong tak mampu melakukan apapun selain membalas ciuman tersebut.

Diiringi hembusan semilir angin musim gugur, di kelilingi kedua belas patung hewan zodiak China, di taman pelataran Korean Folk Museum, Ji-yong dan So-ra menikmat ciuman panjang mereka. 

  

         

 

 

 

 

     

 

 

 

 

 

 

 

      


[1] Pisau hias, kebanyakan dikenakan oleh para wanita bangsawan pada masa Joseon sebagai hiasan di dada mereka, berfungsi sebagai perhiasan dan simbol status.

[2] Norigae adalah perhiasan yang biasa digunakan oleh para wanita bangsawan Joseon. Norigae biasanya terbuat dari kain atau sutera yang dianyam dalam beberapa bentuk. Permata dan batu giok juga sering menjadi penghias dalam norigae. Noriage diikatkan pada bagian atas hanbok atau dikenal dengan nama jeogori.

[3] Jalan kecil menuju arena makam, memiliki ukuran yang lebih tinggi, biasa disebut The Path of God.

[4] Jalan kecil menuju arena makam, memiliki ukuran yang lebih rendah, biasa disebut The Path of King.

[5] Area makan Jang Hee-bin.

[6] Batu berbentuk meja, digunakan sebagai tempat memanggil arwah, berada di depan makam.

[7] Batu monument, bertuliskan nama Raja, Ratu, atau Selir pada bagian depan. Sedangkan bagian belakang bertuliskan keberhasilan yang telah mereka capai.

[8] Tempat jasad Raja, Ratu atau Selir bersemayam, disebut juga Neungchin atau Neungsang.

[9] Atasan hanbok serupa jeogori, dikenakan oleh para wanita istana: Ratu, Puteri, Selir.

[10] Rok habok.

[11] Sulaman warna emas yang terdapat pada chima, dikenakan oleh para wanita istana (Ratu, Puteri, Selir) bersama dengan dangui.

[12] Kau sudah melakukan hal yang baik.

[13] Yang Mulia Ibu Suri, panggilan hormat yang dialamatkan pada Ibu Suri.

[14] Racun: Hukuman mati yang diberikan oleh Raja. Hukuman ini mengacu pada nama racun yang diberikan.

[15] Dukun.

[16] Gaya rambut yang biasa dipakai oleh para Ratu, Puteri, atau perempuan istana yang sudah menikah. Style rambut ini serupa dengan sanggul.

[17] Yang Mulia telah tiba!

[18] Drama sejarah/ drama kerajaan.

[19] Dukun

[20] Rumah tradisional Korea.

8 thoughts on “[FF Frelance] The Concubine (Oneshoot)

    • Cerita di FF ini isinya fiktif kok, cuma kalo soal adanya pisau yang dikasih sama Ibu Suri Jangryeol ke Selir Jang, itu memang fakta, coba kamu nonton drama Jang Ok-jung Live For Love.

      Kalo ada yang mau dibahas atau ditanyakan, kamu bisa tanya langsung…

      Sebelumnya, terima kasih sudah mau baca…

      • ah.. iya aku baru selesai nonton…
        tapi di situ jang ok jung nya nggak sejahat di Dong Yi..
        dia hanya terhimpit…
        aku suka dramanya, membuatku jadi berpikir ternyata sejahat-jahatnya orang, dia pasti punya sebab, entah itu karena penekanan.. atau emang udah cita-cita.
        Jahat emang bukan kesalahan, tapi bagian dari suatu pendewasaan diri yang gagal…
        gomawo^^

      • Drama itu diibuat memang dengan tujuan untuk menonjolkan sisi manusiawi Jang Hee-bin, makanya dia gak digambarin sejahat di Dong-yi. Dong-yi dibuat untuk menonjolkan sosok Dongyi, makanya dia di situ super baik, beda dengan di Jang Ok-jung…

        Sebenarnya kita juga gak tahu kan seperti apa sebenarnya sosok asli mereka 🙂

        Disini menurut aku uniknya dunia drama itu. Sipat seseorang bisa dibuat berbeda tergantung poin apa yang ingin pencerita tonjolkan…

  1. ff nya menarik brgt ceritanya baru kali ini baca yg misteri……sempet penasaran apa yg terjadi sma nyonya han dan soo min….keren critanya…..

Don't be a silent reader & leave your comment, please!